Sistem Administrasi Negara Indonesia berada pada titik persimpangan kritis, menghadapi krisis relevansi dan kepercayaan publik yang menuntut transformasi fundamental. Penelitian ini menganalisis bahwa reformasi parsial tidak lagi memadai untuk menjawab kompleksitas tantangan yang ada. Berbagai kekuatan dinamis—termasuk desentralisasi politik melalui otonomi daerah, imperatif ekonomi untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, serta disrupsi teknologi digital—secara kolektif mendorong kebutuhan akan perubahan paradigma. Analisis mendalam terhadap patologi internal birokrasi, seperti budaya kerja feodalistik dan rendahnya kualitas sumber daya manusia, menunjukkan adanya siklus negatif yang menghambat kemajuan. Di sisi lain, dinamika eksternal menciptakan sebuah tensi strategis antara dorongan sentralisasi demi efisiensi ekonomi dan mandat desentralisasi untuk responsivitas demokrasi. Sebagai respons, penelitian ini mengusulkan kerangka kerja Rekonseptualisasi (mengubah filosofi dari 'mengatur' menjadi 'melayani'), Reposisi (menggeser peran dari penyedia monopoli menjadi fasilitator dan katalisator), dan Revitalisasi (menanamkan kapabilitas baru). Revitalisasi ini diartikulasikan melalui adopsi konsep Dynamic Governance, yang menekankan pada pengembangan kapabilitas adaptif sebagai kunci untuk membangun aparatur negara yang antisipatif, resilien, dan berpusat pada warga negara, yang pada akhirnya mampu menyelenggarakan pelayanan publik berkualitas tinggi di tengah ketidakpastian. Untuk mengawasi pelayanan publik maka peran ombudsman sangat diperlukan. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah pendekatan normatif.
Copyrights © 2025