Di era digital, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian semakin meningkat akibat rendahnya literasi digital dan etika berbahasa dalam komunikasi daring. Hoaks sering kali menggunakan bahasa provokatif dan manipulatif untuk memengaruhi opini publik, sementara ujaran kebencian memperkeruh ruang diskusi dengan memperkuat polarisasi sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran etika berbahasa dalam menangkal hoaks dan ujaran kebencian di media digital melalui pendekatan analisis wacana kritis. Data dikumpulkan dari berbagai unggahan media sosial yang mengandung unsur hoaks dan ujaran kebencian, kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi pola kebahasaan yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hoaks umumnya menggunakan kalimat emosional, istilah ilmiah yang disalahgunakan, serta struktur naratif yang meyakinkan, sedangkan ujaran kebencian cenderung bersifat menggeneralisasi, menyudutkan kelompok tertentu, dan berisi pemaknaan negatif yang berulang. Selain itu, strategi komunikasi berbasis etika—seperti penggunaan bahasa santun, berbasis fakta, dan tidak provokatif—terbukti efektif dalam mengurangi penyebaran hoaks serta menciptakan lingkungan diskusi yang lebih sehat. Penelitian ini berkontribusi pada pengembangan literasi digital dengan menekankan pentingnya kesadaran berbahasa dalam komunikasi daring. Implikasi praktisnya mencakup penerapan kebijakan dan program edukasi literasi digital yang lebih menitikberatkan pada aspek etika komunikasi. Penelitian lebih lanjut dapat mengeksplorasi peran algoritma media sosial dalam memperkuat atau menekan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2024