Kasus Ronald Tannur telah menyoroti tantangan dalam sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya terkait dengan prinsip keadilan substantif dan independensi peradilan. Keputusan vonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Surabaya atas tuduhan pembunuhan dan penganiayaan berdasarkan Pasal 338 dan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menunjukkan kelemahan dalam proses pembuktian serta terdapat dugaan intervensi eksternal dan suap yang melibatkan hakim. Penelitian ini menggunakan metode normatif empiris dan pendekatan kualitatif yang mengkaji peraturan perundang-undangan serta dokumen-dokumen sekunder lainnya untuk mengevaluasi efektivitas peraturan hukum yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan hakim yang kontroversial untuk memutus bebas terdakwa Ronald Tannur memperlihatkan kelemahan peradilan di Indonesia dan tanggung jawab pidana dapat dikaitkan dengan pemenuhan unsur perbuatan melawan hukum dan keterpenuhan aspek subjektif serta objektif yang diatur dalam KUHP. Keputusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan lima tahun penjara menegaskan pentingnya penegakkan keadilan substantif, namun kasus ini juga mencerminkan kelemahan sistem peradilan terhadap intervensi eksternal yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Reformasi sistem peradilan dan penguatan pengawasan terhadap integritas hakim direkomendasikan untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.
                        
                        
                        
                        
                            
                                Copyrights © 2025