Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepastian hukum putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pelaksanaan Pemilu 2024, ditinjau dari peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical approach). Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa meskipun putusan DKPP bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 458 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dalam praktiknya, putusan ini masih dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ketidakpastian hukum ini menimbulkan implikasi terhadap integritas penyelenggaraan pemilu, khususnya terkait netralitas dan profesionalitas KPU. Mengacu pada teori kepastian hukum Lon Fuller, putusan DKPP idealnya harus memenuhi prinsip-prinsip kepastian hukum, termasuk konsistensi dalam penerapan hukum dan keberlakuan aturan yang jelas serta tidak bertentangan. Namun, dengan adanya celah hukum yang memungkinkan putusan DKPP dibatalkan melalui jalur PTUN, efektivitas putusan DKPP sebagai instrumen penegakan kode etik menjadi lemah. Oleh karena itu, revisi terhadap Pasal 458 Ayat (13) UU No. 7 Tahun 2017 diperlukan guna memperkuat kedudukan putusan DKPP agar benar-benar memiliki kepastian hukum.[Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepastian hukum putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pelaksanaan Pemilu 2024, ditinjau dari peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical approach). Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa meskipun putusan DKPP bersifat final dan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 458 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, dalam praktiknya, putusan ini masih dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ketidakpastian hukum ini menimbulkan implikasi terhadap integritas penyelenggaraan pemilu, khususnya terkait netralitas dan profesionalitas KPU. Mengacu pada teori kepastian hukum Lon Fuller, putusan DKPP idealnya harus memenuhi prinsip-prinsip kepastian hukum, termasuk konsistensi dalam penerapan hukum dan keberlakuan aturan yang jelas serta tidak bertentangan. Namun, dengan adanya celah hukum yang memungkinkan putusan DKPP dibatalkan melalui jalur PTUN, efektivitas putusan DKPP sebagai instrumen penegakan kode etik menjadi lemah. Oleh karena itu, revisi terhadap Pasal 458 Ayat (13) UU No. 7 Tahun 2017 diperlukan guna memperkuat kedudukan putusan DKPP agar benar-benar memiliki kepastian hukum.]
Copyrights © 2025