Abstract: The rapid advancement of digital technology has had a significant impact on education, yet not all institutions respond in the same way. This study aims to examine the resilience of Pondok Pesantren Hidayatul Islam, a Salafi Islamic boarding school, in facing digital transformation through the perspective of Rational Choice Theory. The research employed a qualitative case study approach with in-depth interviews, observations, and documentation. Informants included the pesantren’s leader, teachers, students, non-students, parents, and local community members.The findings reveal that the pesantren consistently upholds traditional educational practices, such as the sorogan method, reliance on classical Islamic texts kitab kuning, the use of an independent curriculum, and strict limitations on digital technology. These policies are considered rational strategies to preserve religious values, ethical learning, and the continuity of scholarly transmission sanad. However, the consequences include low digital literacy among students, decreasing public interest, and concerns regarding graduates’ readiness for modern job markets. The study concludes that resistance to digitalization is not a total rejection of progress but a selective adaptation aimed at safeguarding the identity of Salafi education while ensuring its relevance in the modern era.Abstrak: Kemajuan teknologi digital membawa pengaruh besar bagi dunia pendidikan, namun tidak semua lembaga merespons secara seragam. Penelitian ini bertujuan mengkaji resiliensi Pondok Pesantren Hidayatul Islam sebagai pesantren salafi dalam menghadapi arus digitalisasi melalui perspektif Teori Pilihan Rasional. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Informan terdiri dari pengasuh pesantren, guru, santri, masyarakat non-santri, wali santri, serta warga sekitar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pesantren tetap mempertahankan pola pendidikan tradisional dengan metode sorogan, kitab kuning sebagai rujukan utama, kurikulum mandiri, serta pembatasan penggunaan teknologi. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah rasional untuk menjaga nilai agama, adab, dan kesinambungan sanad keilmuan. Meski demikian, konsekuensi yang muncul antara lain rendahnya literasi digital santri, penurunan minat sebagian masyarakat, dan kekhawatiran terkait kesiapan lulusan di dunia kerja modern. Penelitian menyimpulkan bahwa resistensi terhadap digitalisasi bukanlah bentuk penolakan mutlak, melainkan strategi selektif guna menjaga identitas pendidikan salaf sekaligus mempertahankan relevansinya di era modern
Copyrights © 2025