Studi ini mengkaji masalah Kekerasan terhadap Anak (KTA) yang dilakukan oleh orang tua sebagai bentuk disfungsi sosial yang serius, karena tidak hanya melanggar hak dasar anak untuk tumbuh kembang secara optimal, tetapi juga merusak masa depan anak sebagai subjek hukum yang harus dilindungi. Fokus penelitian diarahkan pada kerangka hukum positif yang mengatur perlindungan anak, terutama Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU PA) beserta perubahannya, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar pemberian sanksi pidana. Dengan menggunakan metode kajian hukum normatif yang bertumpu pada analisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan doktrin, penelitian ini menyoroti dilema antara orientasi sanksi pidana yang bersifat menghukum (retributif) dengan kebutuhan mendesak untuk memulihkan kondisi fisik, psikis, dan sosial korban anak melalui pendekatan keadilan restoratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun UU PA telah menyediakan ancaman sanksi yang berat terhadap pelaku, budaya hukum yang masih menempatkan pengasuhan dan pendisiplinan anak sebagai otoritas penuh orang tua menjadi hambatan utama penegakan hukum dan pelaporan kasus. Kesenjangan ini menuntut pergeseran paradigma aparat penegak hukum dan hakim untuk memprioritaskan pemulihan komprehensif terhadap korban anak, antara lain melalui penetapan kewajiban pelaku mengikuti program rehabilitasi pengasuhan, konseling keluarga, dan pengawasan sosial yang berkelanjutan, bukan sekadar menjatuhkan pidana penjara. Selain itu, penelitian ini menawarkan rekomendasi konkret mengenai penguatan regulasi, sosialisasi, dan mekanisme koordinasi lintas lembaga agar prinsip kepentingan terbaik bagi anak benar-benar terimplementasi dalam praktik peradilan pidana. This study examines the issue of Child Abuse (Kekerasan terhadap Anak/KTA) committed by parents as a form of serious social dysfunction, which not only violates the fundamental rights of children to optimal growth and development but also damages their future as legal subjects that must be protected. The research focuses on the positive legal framework governing child protection, in particular Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection (UU PA) and its amendments, as well as the Indonesian Criminal Code (KUHP) as the basis for criminal sanctions. Employing a normative legal research method that relies on the analysis of legislation, court decisions, and legal doctrines, this study highlights the tension between penal sanctions oriented toward punishment (retributive justice) and the urgent need to restore the physical, psychological, and social conditions of child victims through a restorative justice approach. The findings indicate that, although the Child Protection Law provides for severe penalties, the prevailing legal culture that still regards child rearing and discipline as the absolute authority of parents constitutes a major obstacle to law enforcement and case reporting. This gap requires a paradigm shift among law enforcement officers and judges to prioritize comprehensive recovery for child victims, including by imposing obligations on perpetrators to participate in parenting rehabilitation programs, family counseling, and continuous social supervision, rather than relying solely on imprisonment. The study further formulates recommendations for strengthening regulations, public awareness, and inter-agency coordination so that the best interests of the child are genuinely realized in criminal justice practice.
Copyrights © 2025