Sertifikasi halal di Indonesia merupakan kebutuhan penting untuk menjamin kepastian hukum bagi konsumen muslim dan memberikan kepastianusaha bagi pelaku bisnis. Namun, sistem sebelumnya sering menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Badan Penyelenggara Jaminan ProdukHalal (BPJPH), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 yang bertujuan menyederhanakan prosedur, mengurangi beban administratif, dan menyinkronkan pembagian kewenangan antar lembaga. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, berdasarkan analisis regulasi, literatur akademik, serta hasilpenelitian terdahulu. Hasil kajian menunjukkan bahwa PP Nomor 42 Tahun 2024 menegaskan BPJPH sebagai otoritas utama sertifikasi, MUIsebagai pemberi fatwa halal, serta LPH sebagai pelaksana teknis pemeriksaan. Rekonstruksi kewenangan ini diharapkan memperkuat kepastianhukum, meminimalisasi konflik kelembagaan, dan meningkatkan efektivitas pelayanan publik. Dengan demikian, regulasi baru ini berpotensi menjadiinstrumen penting dalam mewujudkan sistem sertifikasi halal yang sederhana, akuntabel, dan konsisten di Indonesia.
Copyrights © 2025