Memasuki abad modern, tepatnya akhir abad 19 dan awal abad 20 M, studi terhadap al-Qur`ân mengalami perkembangan yang cukup signifikan, seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia.Perkembangan studi tersebut pada akhirnya melahirkan metode-metode baru dalam penafsiran al-Qur`ân. Adapun metode-metode tersebut seperti metode fungsional dengan paradigma petunjuk al-Qur`ân (hidâ`i) yang diprakarsai oleh trio reformis Islam, Jamâluddin al-Afghâni, Muhammad Abduh, dan Rasyîd Ridho yang dikembangkan dalam tafsir al-Manar, metode literasi yang dibangun atas paradigma kesusastraan al-Qur`ân (al-Minhaj al-adabi al-ijtimâ`iy) yang diprakarsai oleh Amîn al-Khûli dan diterapkan oleh Bint al-Syâti‟ dalam Al-Tafsîr al-Bayâni li al-Qur`ân al-Karîm, dan Ahmad Muhammad Khalafullah lewat Al-Fann al-Qashashi fî al-Qur`ân al-Karîm, teori kesatuan tema al-Qur`ân (nazariyyât al-wahdat al-maudû`iyyah li al-Qur`ân al-Karîm) yang ditawarkan oleh Sa‟id Hawwa melalui Al-Asâs fî Al-Tafsîr dan teori hermeneutika yang diusung dan digunakan oleh Fazlurrahman dengan double movement-nya, dan Izzat Darwaza dengan tartîb al-suwar hasba al-nuzûl-nya. Usaha-usaha tersebut dilakukan untuk menggali dan mengkaji ulang ajaran Islam, membela agama Islam dari penjajahan orang-orang barat,-baik dari sisi pemikiran maupun pemerintahan-menghilangkan paham ortodoks dalam Islam, ta‟assub pada aliran atau madzab, dan membangkitkan semangat jihad dikalangan umat Islam agar giat melakukan pembaharuan serta membebaskan mereka dari penjajahan.
Copyrights © 2018