cover
Contact Name
Muhammad Virsyah Jayadilaga
Contact Email
pusbangdatin@gmail.com
Phone
+628122115449
Journal Mail Official
pusbangdatin@gmail.com
Editorial Address
Jalan H.R. Rasuna Said Kavling 4-5, Jakarta Selatan 12940
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Jurnal Penelitian Hukum De Jure
ISSN : 25798561     EISSN : 14105632     DOI : 10.30641
Core Subject : Education, Social,
The De Jure Legal Research Journal, known as Jurnal Penelitian Hukum De Jure, is a legal publication issued three times a year in March, July, and November. It is published by the Law Policy Strategy Agency of the Ministry of Law of the Republic of Indonesia, in collaboration with the Indonesian Legal Researcher Association (IPHI). This association was legalized under the Decree of the Minister of Law and Human Rights Number AHU-13.AHA.01.07 in 2013, dated January 28, 2013. The journal serves as a platform for communication and a means to publish diverse and relevant legal issues primarily for Indonesian legal researchers and the broader legal community. In 2024, the management of the De Jure Legal Research Journal will include various stakeholders, as outlined in the Decree of the Head of the Law and Human Rights Policy Agency Number PPH-18.LT.04.03 for 2024, dated February 20, 2024, which establishes a publishing team for the journal. According to the Decree of the Director-General of Higher Education, Research, and Technology of the Ministry of Higher Education, Science, and Technology of the Republic of Indonesia, Number PPH-18.LT.04.03 for 2024, which is based on the Accreditation Results of Scientific Journals for Period 2 of 2024, the De Jure Legal Research Journal has achieved a Scientific Journal Accreditation Rank of 2 (Sinta-2). This reaccreditation is valid for Volume 23, Number 1, of the year 2023, through Volume 27, Number 4, of the year 2027.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 327 Documents
Hukum Harta Bersama Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata Evi Djuniarti
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 17, No 4 (2017): Edisi Desember
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (544.883 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2017.V17.445-461

Abstract

Harta perkawinan merupakan masalah yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri, utamanya apabila mereka bercerai, sehingga Hukum Harta Perkawinan itu sudah memainkan peranan yang penting dalam kehidupan keluarga bahkan sewaktu perkawinan masih berjalan mulus. Akan sulit dimengerti bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya harta kekayaan. Mengingat begitu pentingnya harta benda keluarga dalam sebuah perkawinan maka penelitian ini ingin mengerahui bagaimana harta benda bersama ditinjau dari perspektif undang-pundang perkawinan dan KUH Perdata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, atau studi kepustakaan yakni suatu penelitian yang dilakukan atau didasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang seharusnya. Penelitian ini menemukan bahwa. Menurut ketentuan undang-undang perkawinan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Secara yuridis formal dapat dipahami pengertian harta bersama adalah harta benda suami-istri yang didapatkan selama perkawinan. Sedang kan mneueut KUHPerdata berdasarkan Asas maritale macht, maka dalam Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata ditentukan bahwa, “Suami sendiri harus mengurus (beheren) sendiri harta kekayaan perkawinan, tanpa campur tangan istri, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membeban. Kesimpulan dari penelitian yaitu harta benda punyak hak masing-masing tidak bisa untuk dimiliki, tidak bisa digabung. Semua harta benda yang diperoleh dari pembawaan para pihak sebelum perkawinan dapat digunakan bersama utnuk kepentingan bersama dalam rumah tangga.
Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-XII/2014 terhadap Pemberantasan Money Laundering Perbandingan Indonesia dengan Tiga Negara Lain Ajie Ramdan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 17, No 4 (2017): Edisi Desember
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (666.806 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2017.V17.335-349

Abstract

Money laundering adalah upaya untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Apakah tindak pidana tersebut dapat berdiri sendiri atau tindak pidana yang bergantung pada tindak pidana yang lain? Artikel ini mengkaji pembuktian kejahatan money laundering dengan kajian yuridis normatif dan menganalisa Putusan MK No. 77/PUU-XII/2011 dengan menggunakan studi komparatif kejahatan money laundering di Negara Indonesia, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Putusan MK tersebut memperkuat dasar hukum bagi penegak hukum untuk menegakan hukum pidana dalam hal memberantas money laundering. Kesimpulannya kejahatan money laundering tidak dapat berdiri sendiri. Perbandingan kejahatan money laundering Indonesia, Belanda, Inggris dan Amerika menyimpulkan bahwa Kejahatan money laundering bukan merupakan tindak pidana asal. Demi terciptanya Equality Before The Law seharusnya Pemerintah dan DPR merevisi UU No. 8 Tahun 2010. Dalam praktik pemberantasan kejahatan money laundering di Indonesia seharusnya penegak hukum memperhatikan asas presumption of innocent.
Keberadaan Hakim Komisaris dan Transparansi dalam Proses Penyidikan (the existence of judge commissioner And the transparency of the process of investigation) Muhaimin Muhaimin
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 16, No 2 (2016): Edisi Juni
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (716.484 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2016.V16.215-230

Abstract

Criminal Procedure Code in the document asserted that the defendant-formation-convict defendant as a “Seeker of Justice”, then the suspect-defendant-convict get the attention and protection of the law by setting the portion of his or her rights are quite large. Criminal Procedure Code can be considered as an oriented arrangement of substance abusers. Over ± 30 years KUHAP rights owned by the perpetrator, especially during the last 10 years, little by little reduced by the law governing criminal procedure in the legislation spread outside the Penal Code. The arrangement does not mean deprivation of the rights of the suspect-defendant-convict who had been there before, but the reduction of quality in the implementation or fulfillment of their legal rights in such a way that essentially contrary to the philosophy underlying the establishment of legal norms in the Code of Criminal Procedure or the laws in the context of political conflict granting legal protection to suspects, accused-convict. Therefore, there should be firmness in the draft Law on Criminal Procedure that the formation of the new Code of Criminal Procedure did not reduce or remove the least the rights of suspects, defendants, and convicts who have been published in the Code of Criminal Procedure, on the contrary the Draft Law on the Law of Criminal Procedure in fact strengthen it with more concrete legal instruments and easy to apply.Keywords: Judge Commisioner, Supervision, InspectionABSTRAKDokumen KUHAP menegaskan bahwa terdakwa-narapidana sebagai “Pencari Keadilan”, maka tersangka-terdakwa-narapidana mendapatkan porsi perhatian dan perlindungan hukum dengan menetapkan bagian hak yang cukup besar. KUHAP dapat dianggap sebagai suatu pengaturan untuk pelaku substansi. Selama ± 30 tahun hak KUHAP yang dimiliki oleh pelaku, terutama selama 10 tahun terakhir, sedikit demi sedikit dikurangi dengan hukum yang mengatur acara pidana dalam perundang-undangan yang tersebar di luar KUHP. Pengaturan ini tidaklah berarti perampasan hak-hak tersangka-terdakwa-narapidana yang sudah ada sebelumnya, tapi pengurangan kualitas dalam penerapan atau pemenuhan hak-hak hukum mereka sedemikian rupa yang pada dasarnya bertentangan dengan filosofi yang mendasari pembentukan norma hukum dalam KUHAP atau hukum dalam konteks konflik politik pemberian perlindungan hukum untuk tersangka-terdakwa-narapidana. Oleh karena itu, harus ada ketegasan dalam draft UU Acara Pidana bahwa pembentukan Kode baru Acara Pidana tidak mengurangi atau menghapus setidaknya hak-hak tersangka, terdakwa, dan narapidana yang telah diterbitkan dalam KUHAP, Sebaliknya, RUU tentang Hukum Acara Pidana, pada kenyataannya, memperkuatnya dengan instrumen hukum yang lebih konkret dan mudah diterapkan.Kata Kunci: Hakim Komisaris; Pengawasan; Pemeriksaan
IMPLIKASI HUKUM PEMBERIAN KREDIT BANK MENJADI TINDAK PIDANA KORUPSI (Legal Implications of Bank Loans Turn into Corruption) Henry Donald Lbn. Toruan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 16, No 1 (2016): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (679.148 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2016.V16.41-60

Abstract

The credit of bank has the potential of misusing or abusing by parties whose not responsible for getting profit or benefit, unlawfully. The parties can be internal or external persons such as bank officers, board members of bank, commissioners, stakeholders and bank customers. Misuses in bank loaning can be a criminal offense of banking if the board of members or officers do not obey the rule of the banking concerning the principles of prudential and appraisal, carefully. Lately, in practice, it can be a criminal offense or criminal act. It is a question, do a sentence of corruption criminal act into jail to the board of members and bank consumer is right measures? ?. Is criminal punishment against customers effective in handling bad debts ? Criminalization of corruption to them by engaging the Act of Corruption Criminal Act against to the Act of Banking that has ruled board of members in article 50 with imprisonment. It can be double standards in a completion of bad credit that funded by state finances and privates. Therefore, the Corruption Act may not be used in the settlement of bad loans to private banks. The settlement of bad loans based on The Act of  Mortgage Right which guarantee the land rights of the debtor as debt repayment. The law should be bound up to avoid uncertain of law. Keywords: credit loan, corruption and completin of bad debts. ABSTRAK Pemberian kredit bank berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untukmendapatkan keuntungan secara melanggar hukum. Pihak-pihak yang dimaksud adalah mereka yang dalam prakteknya bersentuhan dengan bank baik yang meliputi pihak internal maupun pihak eksternal bank, misalnya pegawai bank, anggota direksi bank, anggota dewan komisaris bank, pemegang saham bank dan nasabah bank. Bentuk penyimpangan dalam pemberian kredit dapat menjadi tindak pidana perbankan, apabila direksi bank atau pegawai di dalam pemberian kredit tidak mengindahkan ketentuan perbankan mengenai prinsip kehatian-hatian dan asas-asas perkreditan serta tidak melakukan penilaian yang seksama mengenai nasabah. Namun prakteknya akhir-akhir ini, penyimpangan pemberian kredit pada bank yang dibiayai dari keuangan negara, yang seharusnya merupakan tindak pidana perbankan berubah menjadi tindak pidana korupsi. Menjadi pertanyaan, apakah penjatuhan hukum tindak pidana korupsi terhadap direksi dan nasabah bank merupakan  langkah tepat?. Apakah penjatuhan pidana terhadap nasabah cukup efektif dalam menanggulangi kredit macet?. Penjatuhan pidana korupsi pada direksi bank dengan menggunakan UU Tipikor bertentangan dengan UU Perbankan yang telah mengatur perbuatan hukum direksi dalam Pasal 50 UU Perbankan dengan ancaman penjara. Demikian juga penjatuhan pidana korupsi pada nasabah bank akan menimbulkan standar ganda dalam penyelesaian kredit macet pada bank yang dibiayai dari keuangan negara dengan bank swasta. Sebab, UU Tipikor tidak mungkin digunakan dalam penyelesaian kredit macet pada bank swasta. Pada hal sebelum adanya UU Tipikor, penyelesaian kredit macet dilakukan berdasarkan UU Hak Tanggungan dimana jaminan hak atas tanah debitur dijadikan sebagai jaminan dalam pelunasan hutangnya. Seharusnya hukum atau undang-undang harus diberlakukan mengikat secara umum tidak dipilah-pilah agar terjadi kepastian hukum. Kata kunci: Pemberian kredit, korupsi dan penyelesaian kredit macet.
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM UPAYA PENARIKAN ASSET (Criminal Act of Money Laundering in order to Withdraw Asset) Hibnu, Budiyono Nugroho, Pranoto
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 16, No 1 (2016): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2752.05 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2016.V16.1-14

Abstract

ABSTRACTCriminal Act of Money Laundering (TPPU) is a new criminal act, so its regulation still found constraints that lead pros and cons in neighborhood law enforcer themselves. Could corruption criminal act investigators of police and attorney reveal Criminal Act of Money Laundering (TPPU) that occured in central java and how the model of it that could take back assets of criminal in corruption cases. Until now, the high prosecutor of central java had investigated one case in Criminal Act of Money Laundering (TPPU).It usedempirical juridical and qualitatif discriptive analytical method and contain analytical. It could be found a model that eliminate existing constraints, so it was hoped to seize criminal`s assets of money laundering back.Keywords: money laundering, constraints, modelABSTRAKSebagai tindak pidana yang masih cukup baru didalam pengaturannya TPPU masih menemukan kendala yang menimbulkan pro dan kontra dilingkungan penegak hukum sendiri. Apakah penyidik Tipikor Kepolisian dan Kejaksaan mampu mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Tipikor yang terjadi di Jawa Tengah dan bagaimanakah model penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mampu merampas asset-asset pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam perkara korupsi tersebut. Hingga saat ini penyidikan terhadap TPPU korupsi di Jawa Tengah baru dilakukan terhadap satu kasus dan penyidikan dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan metode analisis diskriptif kualitatif dan analisis isi . Dapat ditemukan model yang mampu mengeliminir kendala yang ada sehingga diharapkan dapat merampas asset-asser pelaku TPPU.Kata Kunci: Pencucian uang, kendala, model
IMPLEMENTASI PEMBINAAN KEPRIBADIAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Implementation Of Personality Development In The Correctional Institutions) Moch Ridwan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 16, No 3 (2016): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (789.152 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2016.V16.323-336

Abstract

Karya tulis ini menyoroti masalah implementasi pembinaan kepribadian Narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan. Sejak tahun 1990-an, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.) masih menghadapi kompleksitas hambatan dalam implementasi Pemasyarakatan. Hal ini membuka cara lain dalam usaha memadukan sistem, pola dan program pelaksanaan pembinaan kepribadian terhadap Narapidana dengan wacana baru dalam pemidanaan yang lebih berkualitas. Populasi penelitian ini adalah Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, menggunakan metode survey dengan deskriptif, sedangkan pengambilan sampelnya dengan sample enumeration (judgement sample). Stagnansi pembinaan yang terjadi diantaranya diakibatkan karena model pembinaan saat ini belum direvisi dan dirancang sesuai dengan kekhususan kejahatan yang menjadi perhatian nasional dan internasional. Rekomendasi penelitian ini adalah perlunya diterbitkan Peraturan Pemerintah, untuk mengembangkan pembinaan di Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan dengan standar pembinaan pemasyarakatan yang dapat memuat: standar isi, standar proses, standar Pembina dan Pembimbing Pemasyarakatan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan; dan standar penilaian.AbstractThis writing highlights implementation of personality development in the correctional institutions. Since the 1990s, Directorate General of Correctional (the Ministry of Law And Human Rights)has still faced the complexity of problems in its implementation. This has opened another way to integrate system, pattern and implementation program of personality development to convicts with new discourse in criminalization more qualified. The population of this research is the technical units of correctional. Collecting data by survey method and it is an analysis descriptive, whereas its sample is judgment sampling. Right now, stagnancy of development caused by its model has not revised and designed accordance with a certain of crime that become a concern, nationally and internationally.Recommendation of this research is important to issue government regulation to promote development of convicts in technical units of correctional with standard that consists of contents standard, process standard, standard of coach and Probation Officer, standard of infrastructure, management standards, financing standards, and assessment standards
ASPEK HUKUM PEMBERIAN REMISI KEPADA NARAPIDANA KORUPSI (Legal Aspect of Remissions To Corruptors) Mosgan Situmorang
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 16, No 4 (2016): Edisi Desember
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (490.552 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2016.V16.375-394

Abstract

Remisi adalah salah satu hak narapidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 TentangPemasyarakatan. Remisi diberikan setidaknya dua kali dalam setahun yaitu pada peringatan hari kemerdekaansetiap tanggal 17 Agustus dan pada hari besar keagamaan. Pada dasarnya setiap warga binaan pemasyarakatantermasuk anak pidana berhak mendapat remisi asal memenuhi syarat-syarat tertetu yang diatur dalam perturanperundang-undangan. Pada tahun 2012 pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang bernuansapengetatan pemberian remisi terhadap narapidana tertentu, dimana salah satunya adalah terhadap narapidanakorupsi. Pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana korupsi saat ini menimbulkan pro dan kontra.Hal ini muncul setelah adanya keinginan Menteri Hukum dan Ham untuk merevisi peraturan pemerintahNomor 99/2012. Hal ini banyak ditentang terutama oleh penegak hukum dan masyarakat penggiat anti korupsi.Akan tetapi sebagian anggota DPR justru mendukung keinginan Menteri Hukum dan Ham tersebut. Untukmengetahui lebih lanjut mengenai pemberian remisi ini maka diadakan penelitian dengan judul seperti diatas. Permasalah yang akan diteliti adalah mengenai pola pemidanaan dan hubungannya dengan pemberianremisi, prosedur pemberian remisi, pengawasan dan aspek positif daan negatif pemberian remisi. Metodeyang digunakan adalah normatif empiris. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat perbedanpola pemidanaan dan pola pembinaan narapidana, pengetatan pemberian remisi dengan mensyaratkan adanyasurat keterangan Justice Collaborator berpotensi menghilangkan hak narapidana korupsi, pengawasan belumdilaksanakan sebagaimana mestinya, aspek positif pemberian remisi terhadap narapidana korupsi dapatAbstractRemission is one of convict rights ruled in the Law Number 12 Year 1995 concerning Correctional. It is given,at least twice a year that is in independence day of Indonesia on 17 August and in religious holidays. Basically,all convicts including criminal child have right to remission during meet certain requirements as ruled inlegislation. In 2012, government issued regulation that have a tight remission to a certain convict such ascorruptor. Obviously, it became pros and cons. It came up from the Minister of Law and Human Rights to reviseGovernment Regulation Number 99/2012. Its policy made arguing from many parties especially law enforcersand anti-corruption activists. But, some legislative members (DPR) precisely, supported the Minister` will. Thisresearch is intended to know further information of this remission. The focus of this research is about patternof criminalization and its correlation with remission, procedure of remission, supervision and positive andnegative aspects. It is a empirical normative method. It concludes that there are differences between patternof criminalization and pattern of convict instilling, a tight remission with a letter from justice collaboratorhave potential to delete corruptor rights, supervision carried out improperly, positive aspect of remission tocorruptor can lessen budget, while negative aspect can be abused. It suggests that Government RegulationNumber 99/2012 must be revised.
KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA TERHADAP RELOKASI PEDAGANG KAKI LIMA PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM (Policy of DKI Jakarta Provincial Government For Relocation of Street Vendors In Perspective Law And Rights) Oksimana Darmawan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 16, No 4 (2016): Edisi Desember
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (434.996 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2016.V16.477-491

Abstract

Dampak negatif keberadaan PKL adalah pemakaian fasilitas ruang publik. Namun PKL berhak untuk memenuhikebutuhan ekonominya, sehingga PKL perlu ditata atau direlokasi. Permasalahan penelitian, yaitu, pertamabagaimana kebijakan pemerintah provinsi dalam perspektif hukum dan HAM; kedua, kendala yang ditemuidalam melakukan relokasi PKL khususnya PKL KS Tubun. Metode penelitian adalah deskriptif kualitatifdengan mengambil sampel PKL KS Tubun Jakarta Barat. Kesimpulan penelitian adalah kebijakan PemerintahProvinsi DKI Jakarta melalui Pergub No. 10 Tahun 2015 hanya mengatur PKL yang mengajukan permohonanTDU, sebaliknya PKL yang tidak mengajukan permohonan TDU tidak berhak direlokasi. Dalam perspektifhukum, struktur hukum dinilai pasif, subtansi tidak responsif, dan perilaku pihak pemerintah kurang progresif.Dalam perspektif HAM, pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap PKL liar. Kendala relokasi PKL KSTubun adalah kondisi tempat relokasi yang tidak layak pakai. Disarankan untuk merevisi subtansi Pergub No.10 Tahun 2015, dan dan Gubernur sebagai pemegang saham tertinggi di PD Pasar Jaya Slipi diharapkan untukmenfasilitasi melalui kebijakan dalam pengawasan dan bantuan pembiayaan modalAbstractBasically, the problem of street vendors because they use facilities of public space. But, on another side,they have rights to satisfy their economic needs. This research examines, firstly; how provincial governmentpolicy and efforts of city government in a relocation of street vendors (PKL); secondly, obstacles faced torelocate street vendors. The research method is qualitative descriptive by taking samples of street vendorsat KS Tubun , West Jakarta. One of finding fact shows that illegal street vendors do not write a letter to(Suku Dinas) Department of Small, Medium Enterprises Loans (KUMKM), so it is categorized as illegal streetvendors, because unregistered. Whereas, one of this research recommendation is necessary to revise GovernorRegulation of DKI Jakarta Number 10, Year 2015 so that the Office and (Suku Dinas) Department of Small,Medium Enterprises Loans (KUMKM) actively step in judging or doing analytical study in order to empowerillegal street vendors become street vendor management.
Relevansi Penentuan Kriteria Desa/Kelurahan Sadar Hukum terhadap Kesadaran Hukum Masyarakat Nevey Varida Ariani
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 17, No 1 (2017): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (481.968 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2017.V17.29-47

Abstract

Desa/kelurahan merupakan miniatur dari Negara, bagian dari organisasi  terkecil dalam pemerintahan menunjukkan potret kehidupan termasuk kesadaran akan hukum di masyarakat. Peraturan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Nomor : PHN.HN.03.05-73 Tahun 2008 tentang Pembentukan dan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum dan Desa/Kelurahan Sadar Hukum, sejak Tahun 1986 sampai sekarang baru 4,57% dari total desa/kelurahan sadar hukum kurang efektif dan perlu dilakukan revisi berdasarkan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya merupakan ceremonial belaka. Adapun permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: Apakah ketentuan kriteria Desa/Kelurahan sadar hukum masih releven dengan perkembangan saat ini dan kebijakan apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menciptakan kesadaran hukum masyarakat? Berdasarkan hasil Penelitian ini dapat disimpulkan permasalahan sebagai berikut : Diperlukan 7(tujuh) kriteria sebagai berikut : Angka kriminalitas rendah termasuk semua jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP termasuk konflik sosial, Rendahnya kasus narkoba; Tingginya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan kelestarian lingkungan; Kekerasan dalam rumah tangga, Korupsi, Tingkat Pendidikan Masyarakat Minimal SMA, Kriteria lain yang ditetapkan daerah, Dengan perkembangan dalam masyarakat Pencantuman Usia Pernikahan dibawah umur, dan PBB sudah tidak relevan lagi. Revisi terhadap Peraturan Kepala BPHN menjadi Peraturan Menteri atau Peraturan Presiden dan Perlu ada program terpadu untuk menentukan program yang berkelanjuatan dan dievaluasi setiap tahunnya dalam hal sinergi antar kementerian sehingga diharapkan progam itu fokus dan tidak tumpang tindih. 
Restorative Justice dalam Peradilan Anak Berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Susana Andi Meyrina
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 17, No 1 (2017): Edisi Maret
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (428.725 KB) | DOI: 10.30641/dejure.2017.V17.92-107

Abstract

Konsep Restorative Justice sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Restorative Justice  dimaknai sebagai suatu proses dimana semua pihak yang terkait dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi terhadap pihak korban dan pelaku hukum, tetap mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak. Apabila proses hukum berlanjut kepada proses pelaporan ke Kepolisian maka  dasarnya pelaksanaan hukum melalui upaya diversi yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan menggunakan otoritas diskresi. Diskresi adalah adalah pengalihan dari proses pengadilan pidana secara formal ke proses non formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Pendekatan ini dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini berdasarkan perubahan Undang-undang No.11 Tahun 2011 pengganti Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan Anak hanya melindungi anak sebagai korban dan tidak bagi pelaku, sebagai pelaku dikategorikan anak masih dibawah umur, posisinya tidak di samakan dengan pelaku orang dewasa.

Page 3 of 33 | Total Record : 327