cover
Contact Name
Ilham
Contact Email
Ilham.fishaholic@gmail.com
Phone
+6221-64700928
Journal Mail Official
jra.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
Gedung Balibang KP II, Lantai 2 Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
Location
Kab. jembrana,
Bali
INDONESIA
Jurnal Riset Akuakultur
ISSN : 19076754     EISSN : 25026534     DOI : http://doi.org/10.15578/JRA
Core Subject : Agriculture, Social,
Jurnal Riset Akuakultur as source of information in the form of the results of research and scientific review (review) in the field of various aquaculture disciplines include genetics and reproduction, biotechnology, nutrition and feed, fish health and the environment, and land resources in aquaculture
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)" : 10 Documents clear
PEMANFAATAN PROBIOTIK KOMERSIAL PADA PEMBESARAN IKAN LELE (Clarias gariepinus) Raden Roro Sri Pudji Sinarni Dewi; Evi Tahapari
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (67.821 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.275-281

Abstract

Ikan lele Afrika (Clarias gariepinus) merupakan spesies asli Afrika yang telah diintroduksikan dan dibudidayakan secara komersial di Indonesia. Upaya peningkatan efisiensi produksi ikan lele terus ditingkatkan guna meningkatkan keuntungan. Salah satu upaya untuk meningkatkan efektivitas budidaya ikan lele adalah melalui penggunaan probiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemanfaatan probiotik pada pembesaran ikan lele. Perlakuan yang diberikan berupa pemberian pakan hasil fermentasi probiotik dan pakan tanpa fermentasi (kontrol) dengan tiga ulangan. Pengujian dilakukan pada kolam terpal berukuran 3 m3 dengan padat tebar yang digunakan yaitu 500 ekor/wadah dan dipelihara selama 35 hari. Berdasarkan hasil pengujian, pemberian probiotik pada pakan dengan cara fermentasi mampu meningkatkan bobot dan biomassa panen secara signifikan (P<0,1). Bobot akhir ikan lele yang diberi pakan hasil fermentasi probiotik mencapai 76,9 ± 0,2 g; sedangkan kontrol 74,2 ± 0,2 g. Biomassa akhir ikan lele yang diberi pakan hasil fermentasi probiotik mencapai 37,91 ± 0,29 kg; sedangkan kontrol 34,65 ± 1,70 kg. Pemberian pakan yang difermentasi probiotik mampu meningkatkan retensi protein sebesar 1,02%; retensi karbohidrat sebesar 10,26%; dan retensi lemak sebesar 7,22%. Selain itu, penggunaan probiotik mampu menekan biaya produksi sebesar Rp 561,00/kg dan meningkatkan keuntungan sebesar 5%.African catfish (Clarias gariepinus) is a native African species that has been introduced and cultivated commercially in Indonesia. Efforts to increase the efficiency of catfish production were conducted in order to increase profit. One effort to increase the effectiveness of catfish farming is through the use of probiotics. This study was aimed to evaluate the use of probiotics in catfish farming. The treatments were fermented feed by probiotic and non fermented feed (control) and repeated three times. The experiment was conducted on a 3 m3 tarpaulin pond, with a density 500 fishes/pond, and reared for 35 days. Based on the results, the fermented feed by probiotic could increase the weight and biomass of harvested fish significantly. The weight of catfish fed with fermented feed reached 76.9 ± 0.2 g while the control was 74.2 ± 0.2 g. The final biomass of catfish fed with fermented feed reached 37.91 ± 0.29 kg while the control was 34.65 ± 1.70 kg. Feeding fermented feed by probiotic Gut Bio Aero increased the protein retention by 1.02%, carbohydrate retention by 10.26%, and lipid retention by 7.22%. The application of probiotic could reduce production cost by 561 IDR/kg and increased profit by 5%.
BUDIDAYA RUMPUT LAUT Sargassum sp. DENGAN METODE KANTONG PADA BEBERAPA TINGKAT KEDALAMAN DI DUA WILAYAH PERAIRAN BERBEDA Muslimin Muslimin; Wiwin Kusuma Perdana Sari
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (586.364 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.221-230

Abstract

Optimalisasi produksi rumput laut memerlukan teknologi budidaya yang tepat. Rumput laut Sargassum sp. mudah mengalami kerontokan talus. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya kajian penerapan metode kantong untuk budidaya rumput laut Sargassum sp. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons pertumbuhan rumput laut Sargassum sp. yang dibudidayakan dengan metode kantong pada beberapa tingkat kedalaman. Penelitian dilakukan di dua lokasi berbeda yakni perairan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo dan perairan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Provinsi Sulawesi Utara pada bulan Maret-Mei 2016. Desain penelitian menggunakan RAL faktorial yang terdiri atas faktor wadah kantong (tanpa kantong, wadah kantong dengan ukuran mata jaring 1,5; 0,75; dan 0,25 inci) dan kedalaman (permukaan 0; 50; 100; 150; dan 200 cm) masing-masing diulang lima kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor wadah kantong dan kedalaman, serta interaksi keduanya berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut Sargassum sp. pada taraf uji 5% (P<0,05) di kedua lokasi penelitian. Pertumbuhan terbaik diperoleh dari perlakuan K0D0 (tanpa kantong dan di permukaan air) sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada perlakuan K3D4 (kantong meshsize 0,25 inci pada kedalaman 200 cm). Bobot tertinggi di lokasi-I mencapai 235,8 g dan terendah 19,2 g; sedangkan di lokasi-II tertinggi 208,4 g dan terendah 42,2 g. Penggunaan kantong rumput laut kurang efektif dalam memacu pertumbuhan rumput laut Sargassum sp. Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya, karenanya budidaya Sargassum sp. perlu memperhatikan faktor kedalaman perairan yang berkorelasi dengan intensitas cahaya matahari.Optimization of seaweed production requires an appropriate cultivation technology. The thallus of Sargassum sp. is easy to break. This was the underlying reason to study the application of bag method in cultivating Sargassum sp. The research aimed to find out the growth response of Sargassum sp. cultivated using bag method at various depth levels. The research was conducted in two different locations, namely Pohuwato Regency Gorontalo and North Bolaang Mongondow Regency North Sulawesi from March to May 2016. The experiment was carried out using the factorial design, consisting of bag factor (without bag; mesh size bag of 1.5; 0.75; and 0.25 inches) and depth factor (surface 0; 50; 100; 150; and 200 cm) with five replications. Results of the research showed that both parameters (bag and the depth factor) and their interaction have affected the growth of Sargassum sp. at 5% confidence level (P<0.05) in both locations. The highest growth response was found in K0D0 treatment (without bag on the water surface) whereas the lowest growth was showed by K3D4 treatment (mesh size bag of 0.25 inches at 200 cm depth). The highest weight at location-I was 235.8 g and the lowest weight was 19.2 g. In location-II, the highest weight was 208.4 g and the lowest was 42.2 g. The use of bags was ineffective in boosting the growth of cultured Sargassum sp. The growth of seaweed is strongly influenced by the intensity of light. Therefore, it is recommended that the cultivation of Sargassum sp. should consider the relationship between the water depth factor and the intensity of sunlight
INFEKSI PENYAKIT IKAN BANGGAI CARDINAL (Pterapogon kauderni) DALAM RANTAI PERDAGANGAN Devita Tetra Adriany; Isti Koesharyani
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.626 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.283-294

Abstract

Banggai cardinal (Pterapogon kauderni) merupakan ikan hias endemik dari perairan Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah dan mulai dieksploitasi sejak tahun 1980. Ikan hias ini banyak diekspor ke berbagai negara. Namun, dengan banyaknya kasus infeksi penyakit seperti bakteri dan virus Banggai Cardinal Iridovirus (BCIV), sehingga permintaan ikan hias asal Indonesia ini menurun. Tujuan penelitian ini adalah untuk menelusuri dan menginventarisasi alur kejadian infeksi penyakit pada rantai perdagangan ikan hias Banggai Cardinal mulai dari hasil tangkapan nelayan, pengumpul, dan eksportir. Analisis dilakukan dengan mengambil sampel ikan masing-masing 15 ekor dari setiap rantai perdagangan. Pengamatan yang dilakukan meliputi pemeriksaan parasit, jamur, bakteri, dan analisis virus BCIV. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sampel ikan dari semua rantai perdagangan nelayan penangkap, pengumpul, dan eksportir tidak ditemukan infeksi parasit dan jamur. Sementara, pada infeksi bakteri diperoleh tujuh jenis bakteri yang terdapat di semua rantai perdagangan dan Vibrio alginolyticus merupakan bakteri dominan yang diperoleh dan bersifat patogen. Infeksi virus BCIV terdapat di tingkat pengumpul di Luwuk dengan prevalensi 86,67% dan di tingkat eksportir di Bali dan Manado masing-masing dengan prevalensi 20% dan 50%. Berdasarkan hasil tersebut diharapkan pelaku usaha ikan hias dapat mencegah terjadinya infeksi penyakit tersebut agar dapat bersaing dalam pemasaran dengan menghasilkan produk ikan hias Indonesia yang mempunyai kualitas terbaik di dunia.Banggai cardinal fish is an ornamental fish endemic to the Banggai Islands, Central Sulawesi. It has been exploited since 1980’s. Banggai Cardinal fish has been export to various countries. However, with many cases of infectious diseases such as bacteria and virus Banggai Cardinal Iridovirus (BCIV), the demand for Banggai Cardinal from Indonesia is declining. The purpose of this study is to trace and inventorize the flow of disease infections in the trade chain of ornamental fish from fisherman, to collectors, and exporters. The analysis was done by taking samples of 15 fish from each trade chain. Observations included examination of parasites, fungi, bacteria, and BCIV analysis. The results showed that no parasite and fungus infecting the fish in all trades chains. Seven bacteria species have been indentified from the fish samples from all trades chains and Vibrio alginolyticus was the common pathogenic bacteria species infecting the fish. Infection of BCIV was found in one of collectors’ warehouse in Luwuk with the prevalence of 86.67% and at the exporters in Bali and Manado with the prevalence rate of 20% and 50% respectively. Based on the present results, we suggest that exporters must exercise a rigorous prevention program of the disease in order to be able to compete in the ornamental fish world market.
EVALUASI KUALITAS WARNA IKAN KLOWN Amphiprion percula Lacepède 1802 TANGKAPAN ALAM DAN HASIL BUDIDAYA Sukarman Sukarman; Dewi Apri Astuti; Nur Bambang Priyo Utomo
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (189.316 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.231-239

Abstract

Kualitas warna ikan klown hasil budidaya lebih rendah dibandingkan tangkapan alam, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun belum ada data ilmiah sebagai dasar untuk melakukan perbaikan. Tujuan penelitian adalah menganalisis dan mengevaluasi kualitas warna ikan klown (Amphiprion percula) hasil tangkapan alam dibandingkan dengan hasil budidaya. Kualitas warna diukur pada dua zona: zona-I kulit berwarna oranye antara insang dengan band warna putih pada tengah badan dan zona-II adalah bagian kulit warna oranye antara band putih tengah badan dengan band warna putih pada pangkal ekor, dengan parameter nilai L* (lightness), a* (redness), b* (yellowness), C (chroma), H (Hue). Analisis total karotenoid (TC) dilakukan pada kulit kedua zona, sirip pektoral, sirip dorsal, sirip kaudal, dan serum darah. Analisis kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan pada kulit dan sirip untuk mengonfirmasi jenis karotenoid dalam kulit dan sirip. Data kualitas warna dianalisis menggunakan t-test, hubungan kualitas warna dengan TC dianalisis dengan regresi sederhana, dan analisis deskriptif untuk hasil KLT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas warna ikan klown tangkapan alam lebih baik dibanding budidaya, didukung oleh tingginya total karotenoid pada kulit zona-I, kulit zona-II, sirip pektoral, sirip dorsal, sirip kaudal, dan serum darah berturut-turut 51,64; 51,24; 136,40; 124,37; 194,18 mg/kg; dan 2,2 mg/mL; pada ikan hasil budidaya berurut-turut 2,5; 3,5; 8,45; 10,01; 23,43 mg/kg; dan 0,8 mg/mL. Hasil KLT menunjukkan bahwa jenis karotenoid pada kulit dan sirip ikan klown adalah astaxanthin, serta satu jenis karotenoid diduga zeaxanthin. Berdasarkan hasil penelitian, maka perlu ditambahkan pigmen karotenoid, dan prekursor pigmen lainnya melalui pakan untuk ikan klown budidaya.The color quality of cultured clownfish is not as good as the wild one. However, it’s influenced by several factors. However, but there is not enough scientific data to be used as the basis for improvement. The purpose of this study was to analyze and evaluate the color quality difference between cultured and wild clown fish Amphiprion percula. Color qualities were measured in two zones: an orange-colored at zone-I was measured between gills and white band at the center of the body and an orange-colored at zone-II was measured between the center of white band and white band near the caudal peduncle. Parameters analyzed were L* (lightness), a* (redness), b* (yellowness), C (Chroma), H (Hue). Total carotenoid (TC) was analyzed on both zones-I and II, pectoral-fins, dorsal-fin, caudal-fin, and blood serum. Thin layer chromatography (TLC) was used to analyze the type of carotenoids in the skin and fin tissues. Color quality data was analyzed by T-test. Simple linier regression and descriptive analyses were used to analyzed the other parameters. The results showed that the color quality of wild clown fish was better than that of the cultured clown fish, indicated by high TC content in skin of zone-I, skin of zone-II, pectoral-fin, dorsal-fin, caudal-fin, and blood serum (51.64, 51.24, 136.40, 124.37, 194.18 mg/kg, and 2.2 mg/mL, respectively); and in cultured fish 2.5, 3.5, 8.45, 10.01, 23.43 mg/kg, and 0.8 mg/mL, respectively. TLC test results showed that carotenoid type in skin and fin of clownfish were astaxanthin, and one type of carotenoid was suspected as zeaxanthin. Based on the results of the study, it is necessary to add carotenoid pigments, especially astaxanthin or other precursor the feed to improve the color quality of cultured clown fish.
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI ABALON Haliotis squamata Reeve (1846) TURUNAN KETIGA Gusti Ngurah Permana; Fitriyah Khusnul Khotimah; Bambang Susanto; Ibnu Rusdi; Haryanti Haryanti
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.433 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.197-202

Abstract

Pengamatan pertumbuhan dan reproduksi abalon Haliotis squamata dilakukan di hatcheri Balai Besar Riset Budidaya Laut dan Penyuluhan Perikanan (BBRBLPP) Gondol, Bali. Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh informasi tentang keragaan pertumbuhan dan performansi reproduksi abalon turunan ketiga. Induk H. squamata turunan kedua hasil seleksi yang digunakan untuk menghasilkan benih turunan ketiga mempunyai ukuran panjang cangkang 6,5-7,0 cm. Benih dipelihara dalam bak beton berukuran 2,5 m x 1,2 m x 1,0 m yang diberikan feeding plate sebagai substrat penempelan dan dilengkapi dengan sistem aerasi dan sistem air mengalir. Pakan yang diberikan pada awal pemeliharaan adalah diatom jenis Nitzschia sp. dan Melosira sp. yang telah ditumbuhkan terlebih dahulu pada feeding plate sebelum penebaran benih. Benih F-3 dipelihara sampai menjadi calon induk untuk diamati perkembangan reproduksinya. Pengambilan sampel pertumbuhan dilakukan setiap 10 hari. Pengamatan reproduksi dilakukan pada saat abalon mulai tumbuh gonad sampai matang gonad stadia-III. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan abalon sangat dipengaruhi ketersediaan pakan pada plate terutama pada hari ke-50. Proporsi jantan-betina abalon F-3 (3,3:1) meningkat dibandingkan dengan F-0 dari alam (2,5:1) menunjukkan ketidakseimbangan jumlah individu yang dapat disebabkan oleh tekanan seleksi. Abalon turunan ketiga pada umur 16 bulan mulai matang gonad dan dapat digunakan sebagai induk untuk pemijahan.Observation on the growth and reproduction development of Haliotis squamata had been undertaken in the hatchery of the Institute for Mariculture Research and Development (IMRAD) Gondol, Bali. The research was aimed to study of the growth and reproduction performance of filial-3 abalone in supporting seed production in hatchery. Larvae were obtained from natural spawning of filial-2 abalone broodstock with the length shell of 6.5-7.0 cm in the hatchery. Larvae were reared in 2.5 m x 1.2 m x 1.0 m concrete tank with aeration and water circulation system. Larval samples were taken every 10 days. Larvae were fed with diatom Nitzschia sp. and Melosira sp. Diatom were grown in the feeding plate before the stocking of abalone larvae. Gonadal development of F-3 abalone was observed from the beginning of the study until the mature gonad of stage-III. The result showed that the abalone growth was greatly influenced by the availability of feed in the plate especially at day 50. Abalone F-3 of sixteen months old reached maturity stage earlier compared to the control. The proportion of male-female of F-3 generation (3.3:1) was higher compared to F-0 (2.5:1), indicated the imbalance in the number of individuals that could be caused by selection pressures. These results suggest that sixteen months old abalones could be used as broodstocks for seed production in hatchery.
KETAHANAN IKAN TAMBAKAN (Helostoma temminkii) TERHADAP BEBERAPA PARAMETER KUALITAS AIR DALAM LINGKUNGAN BUDIDAYA Otong Zenal Arifin; Vitas Atmadi Prakoso; Brata Pantjara
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (153 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.241-251

Abstract

Ikan tambakan (Helostoma temminkii) adalah satu dari beberapa jenis spesies ikan air tawar yang ekonomis di Indonesia. Komoditas ini cukup digemari di beberapa wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Oleh karena itu, prospek pengembangan budidaya ikan tambakan merupakan hal yang penting. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui respons ketahanan ikan tambakan terhadap paparan beberapa parameter kualitas air. Seluruh kegiatan pengujian dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan, Bogor. Ikan yang digunakan pada percobaan ini adalah ikan tambakan generasi kedua hasil domestikasi (panjang standar: 7,5 ± 0,28 cm; bobot: 15,2 ± 2,11 g). Uji toleransi yang dilakukan meliputi ketahanan terhadap salinitas, pH, suhu, dan oksigen terlarut. Jumlah ikan yang diuji untuk masing-masing parameter kualitas air yaitu 30 ekor pada perlakuan salinitas, pH, dan suhu, serta 40 ekor untuk pengujian toleransi terhadap oksigen terlarut dengan tiga kali ulangan pada masing-masing perlakuan. Berdasarkan data penelitian, ikan tambakan dapat bertahan hidup dan beraktivitas secara normal pada kisaran salinitas £ 10 ppt, pH 5-9, suhu 20-35oC, dan kandungan oksigen terlarut > 3 mg/L. Kisaran nilai pada parameter kualitas air di luar batas toleransi dapat berpengaruh negatif pada pertumbuhan dan sintasan ikan tambakan.Kissing gouramy (Helostoma temminkii) is one of valued freshwater fish in Indonesia. This species is quite popular in some areas of Java, Sumatra, and Kalimantan. Therefore, the development of aquaculture for this species is essential. This paper was intended to determine the response of fish resistance to the exposure of several water quality parameters. All of the experiments were carried out at the Institute for Freshwater Aquaculture Research and Fisheries Extension, Bogor. The experimental fish used in the experiment were domesticated kissing gouramy (2nd generation) with standard length of 7.5 ± 0.28 cm and total weight of 15.2 ± 2.11 g. The tests, on the resistance to salinity, pH, temperature, and dissolved oxygen. For each treatment, 30 fish were challenged with salinity, pH, and temperature treatments, and 40 fish for oxygen tolerance treatment. All treatments were conducted with three replications. Based on the results, kissing gouramy could survive and behave normally in the range of £ 10 ppt salinity, pH 5-9, temperature 20-35°C, and dissolved oxygen content of more than 3 mg/L. The range of values on water quality parameters which exceeded the tolerance limit could result in the negative effect on the growth and survival of kissing gouramy.
EVALUASI VARIASI FENOTIPE DAN GENOTIPE POPULASI IKAN TAMBAKAN DARI JAWA BARAT, KALIMANTAN TENGAH, DAN JAMBI DENGAN TRUSS MORFOMETRIK DAN RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) Anang Hari Kristanto; Jojo Subagja; Wahyulia Cahyanti; Otong Zenal Arifin
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (143.197 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.203-211

Abstract

Ikan tambakan (Helostoma temminckii) digemari sebagai ikan konsumsi, di daerah Sumatera dan Kalimantan. Dalam rangka pengembangan budidayanya melalui program domestikasi, informasi terkait variasi fenotipe dan genotipe induk asal perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik fenotipe dan genotipe ikan tambakan dari Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Jambi. Penelitian dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan (BRPBATPP), Bogor. Data diperoleh melalui pengukuran jarak bagian tubuh berdasarkan metode truss morphometric dan analisis DNA menggunakan metode RAPD. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai polimorfisme (81,25%) dan heterozigositas (0,3544) tertinggi terdapat pada populasi ikan tambakan asal Kalimantan Tengah. Jarak genetik tertinggi antara populasi Jambi dengan Kalimantan Tengah sebesar 0,1452; sedangkan jarak genetik terendah adalah 0,1044 yaitu antara populasi Jambi dengan Jawa Barat. Berdasarkan uji karakter morfometrik diketahui terdapat 13 karakter yang berbeda nyata yaitu A1, A2, A4, A5, B3, C1, C3, C4, C5, D3, D4, D5, dan D6. Populasi Jambi dengan Jawa Barat memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dibanding dengan populasi Kalimantan Tengah.Kissing gouramy (Helostoma temminckii) is a favored fish for consumption in Sumatra and Kalimantan area. Currently, information related to phenotypic variation and genotypes of the original broodstocks of kissing gouramy is limited to develop the fish’s culture technology through a domestication program. Therefore, the study was conducted to determine the characteristics of phenotype, and genotype of original kissing gouramy broodstocks. The research was conducted at the Institute for Freshwater Aquaculture Research and Development, Bogor. Data collection was carried out by measuring the body length using truss morphometric method and DNA analysis using the RAPD method. The results showed that the highest polymorphism (81.25%) and heterozygosity (0.3544) were found in the Central Kalimantan fish population. The highest genetic distance between Jambi and Central Kalimantan populations was 0.1452, while the lowest genetic distance was 0.1044 between Jambi and West Java population. Based on the trust morphometric measurement, it was identified 13 different characters on A1, A2, A4, A5, B3, C1, C3, C4, C5, D3, D4, D5, and D6. The Jambi and West Java populations are genetically close to each other while the Central Kalimantan population is relatively separated from the two.
DAYA ADAPTASI TIGA SPESIES IKAN PATIN PADA LINGKUNGAN YANG BERBEDA Evi Tahapari; Jadmiko Darmawan; Raden Roro Sri Pudji Sinarni Dewi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.511 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.253-261

Abstract

 Penampilan fenotipe suatu organisme ditentukan oleh faktor genotipe dan faktor lingkungan tempat organisme tersebut hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari daya adaptasi tiga spesies ikan patin yang dipelihara di lokasi berbeda. Ikan patin siam, patin jambal, dan patin pasupati dengan rataan bobot 20 g dipelihara di tiga lokasi yang berbeda, yaitu: kolam air tenang, tambak, dan keramba jaring apung. Pemeliharaan ikan dilakukan selama empat bulan. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan berupa pelet komersial dengan kadar protein 30%–32%. Jumlah pakan yang diberikan pada bulan kesatu sampai keempat secara berturut-turut adalah sebanyak 5%, 4%, dan 3% dari biomassa ikan per hari. Pakan diberikan dengan frekuensi tiga kali sehari. Hasil penelitian menunjukkan adanya interaksi yang signifikan antara genotipe ikan patin dengan lingkungan ekosistem yang berbeda dan daya adaptasi yang spesifik dari ketiga spesies ikan patin. Ketiga spesies ikan patin memiliki pertumbuhan sama bila dipelihara di kolam air tenang. Ikan patin jambal tumbuh dengan baik (P<0,05) jika dipelihara di keramba jaring apung (KJA) dan tambak, masing-masing dengan laju pertumbuhan spesifik (LPS) 2,51±0,15%/hari, dan LPS 2,39±0,04%/hari. Pertumbuhan ikan patin siam dan pasupati adalah sama pada ketiga lokasi penelitian (P>0,05). Ketiga spesies ikan patin mempunyai daya adaptasi lingkungan yang sempit sehingga budidayanya akan optimal jika dilakukan di lokasi tertentu saja.The phenotypic appearance of an organism is determined by genotypes and environmental factors in which the organism lives. This study aims to study the adaptability of three species of pangasiids reared in three different environments. Three species of catfish (Siamese pangasiid, jambal pangasiid, and pasupati) with an average weight of 20 gwere kept in stagnant water pond, brackishwater pond, and floating net cage). Fishes were reared for four months. During the rearing, fish were fed by commercial pellets with 30%-32% protein content. The amount of feed given in the first month to the fourth month was 5%, 4%, and 3% of the biomass per day. Feed was given three times a day. The results showed the significant interaction between pangasiid genotype and environment, and specific adaptability on three species of pangasiid. Jambal pangasiid grew better in floating net cage (SGR 2.51±0.15%/day). Pasupati pangasiid grew better in stagnant water pond (SGR 2.05±0.03%/day). Siamese pangasiid grew better in stagnant water pond (SGR 2.02±0.05%/day) and brackishwater pond (SGR 2.31±0.09%/day). The three species of catfish have a narrow environmental adaptability so that the cultured will be optimal if done in a particular location. 
FORMULASI DAN APLIKASI PAKAN BUATAN BERBASIS RUMPUT LAUT UNTUK PENDEDERAN BENIH TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) I Nyoman Adiasmara Giri; Sari Budi Moria Sembiring; Muhammad Marzuqi; Retno Andamari
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (692.769 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.263-273

Abstract

Teripang merupakan salah satu komoditas perikanan penting dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi di Asia. Teknologi pembenihan teripang sudah mulai dikembangkan dan telah mampu memproduksi benih secara massal untuk budidaya. Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan budidaya teripang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi beberapa formula pakan berbasis rumput laut untuk pendederan teripang pasir. Empat pakan percobaan diformulasi menggunakan kombinasi beberapa jenis bahan baku, khususnya rumput laut. Pakan dibuat dalam bentuk pelet dengan kandungan protein 14% dan lemak 4,5%. Kontrol adalah pakan berupa bentos segar. Benih teripang pasir yang digunakan berukuran bobot 2,0 ± 0,6 g dengan panjang 2,8 ± 0,5 cm. Benih teripang dipelihara dalam bak persegi berkapasitas 150 L dengan kepadatan 50 ekor per bak. Benih teripang diberi pakan percobaan sekali dalam sehari pada sore hari. Percobaan dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap terdiri atas lima perlakuan pakan dan empat ulangan. Percobaan berlangsung selama 120 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa benih teripang pasir yang diberi pakan buatan menghasilkan pertumbuhan (pertambahan bobot 341,3%-386,8%) dan sintasan (92,5%-97,5%) lebih tinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan yang diberi pakan bentos (kontrol), yaitu masing-masing 126,9% dan 75,0% untuk pertambahan bobot dan sintasan. Namun pertumbuhan benih teripang pada semua perlakuan pakan buatan tidak berbeda nyata (P>0,05). Kandungan protein teripang yang diberi pakan buatan (22,3%-24,4%) lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan yang diberi pakan kontrol (18,4%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa benih teripang pasir dapat memanfaatkan pakan buatan dengan baik dan pakan berbasis tepung Sargassum sp. dapat diaplikasikan pada pemeliharaan benih teripang pasir.Sea cucumber is one of the important fishery commodities and has high economic value in Asia. Technology for seed production of sea cucumber has been developed and able to produce juveniles for supporting sea cucumber farming. Feed is an important factor that largely determines the success of sea cucumber farming. Therefore, this research aimed to evaluate several feed formulas based on seaweed powder for good growth performance of sea cucumber juveniles. Four experimental feeds were prepared by using a combination of several different raw materials, especially for the seaweed. The experimental feeds were prepared in pelleted form with protein and lipid content of 14% and 4.5%, respectively. Fresh benthos was used as the control feed. Juveniles of sea cucumber from hatchery with average weight of 2.0 ± 0.6 g and total length of 2.8 ± 0.5 cm were distributed into 20 of 150 L polycarbonate tanks, with a density of 50 juveniles per tank. Sea cucumber were fed the experimental feeds once a day in the afternoon for 120 days. The experiment was designed with Completely Randomized Design, with five dietary treatments and four replications. Results of the experiment showed that juvenile sea cucumber fed the artificial feeds produced significantly higher (P<0.05) growth (weight gain 341.3%-386.8%) and survival (92.5%-97.5%) than that of the control which were 126.9% and 75.0% for weight gain and survival, respectively. However, growth of juveniles among the artificial feed treatments was not significantly different (P>0.05). Protein content of sea cucumber fed the artificial feeds was significantly higher (22.3%-24.4%) (P<0.05) than that of the control (18.4%). Results of this study indicated that juveniles of sea cucumber could utilize artificial feed properly and Sargassum sp. based diet could be applied for nursery of sea cucumber juveniles.
PERTUMBUHAN IKAN LALAWAK (Barbonymus balleroides) GENERASI PERTAMA HASIL DOMESTIKASI Vitas Atmadi Prakoso; Fera Permata Putri; Irin Iriana Kusmini
Jurnal Riset Akuakultur Vol 12, No 3 (2017): (September 2017)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (122.898 KB) | DOI: 10.15578/jra.12.3.2017.213-219

Abstract

Ikan lalawak (Barbonymus balleroides) merupakan komoditas potensial untuk dikembangkan sebagai ikan budidaya, namun masih sedikit upaya yang dilakukan untuk mengembangkannya. Sementara itu, kelestarian ikan ini mulai terganggu akibat tingginya tingkat penangkapan di alam. Saat ini, proses domestikasi yang dilakukan telah menghasilkan generasi pertama (G-1). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola pertumbuhan ikan lalawak generasi pertama hasil domestikasi untuk mendukung proses domestikasi. Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan lalawak generasi pertama hasil domestikasi, dilakukan pemeliharaan benih hasil pemijahan induk G-0. Benih G-1 dipelihara di kolam beton (2 m x 5 m x 1 m; tinggi air: 0,5 m) yang berarus tenang dengan padat tebar 15 ekor/m2. Selama pemeliharaan, ikan diberi pakan komersial dengan kadar protein 34%. Pakan diberikan 3% dari bobot biomassa dengan frekuensi pemberian pakan dua kali sehari selama 90 hari masa pemeliharaan. Sampling dilakukan tiap 30 hari dengan mengambil secara acak 30% total biomassa ikan untuk diukur panjang dan bobotnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan lalawak generasi pertama selama 90 hari mengalami kenaikan bobot sebesar 352,54%; pertambahan panjang sebesar 65,68%; SGR bobot 1,60 ± 0,103%; SGR panjang 0,54 ± 0,036%; rata-rata pertambahan bobot dan panjang harian masing-masing sebesar 0,02 ± 0,001 g/hari dan 0,006 ± 0,0004 cm/hari; rasio konversi pakan sebesar 1,59 ± 0,431; dan sintasan 99,78 ± 0,314%. Dari analisis data hubungan panjang-bobot ikan, diperoleh nilai b>3 dengan faktor kondisi 0,99 ± 0,10.Barb fish (Barbonymus balleroides) is a potential commodity to be developed for aquaculture. However, little effort has been made to develop its culture. Meanwhile, the sustainability of these fish is under intense pressure due to the high rate of capture in its natural habitat. Recently, the domestication process of this species has resulted the first fish generation (G-1). This study was aimed to study the growth patterns of the first generation of domesticated barb fish to support the domestication process. In order to determine the growth pattern of the first generation of domesticated barb, growth performance test of seed produced by the broodstock (G-0) was conducted. The fish were reared in concrete ponds (2 m x 5 m x 1 m, water level: 0.5 m) with low current and with stocking density of 15 fish/m2. During the test, the fish were fed with commercial pellets with a protein content of 34%. Feed was given 3% of biomass, twice per day during 90 days of the rearing period. Data sampling was conducted every 30 days by taking randomly 30% of sample and measuring their length and weight. The results showed that the first-generation barb experienced weight increased of 352.54%; length growth of 65.68%; SGR of weight 1.60 ± 0.103%; SGR of length 0.54 ± 0.036%; mean of daily weight and length gain of 0.02 ± 0.001 g/day and 0.006 ± 0.0004 cm/day, respectively; feed conversion rate of 1.59 ± 0.431 and survival rate of 99.78 ± 0.314% during the 90 days of rearing period. The length-weight relationship of fish was obtained with the value of b>3 and condition factor of 0.99 ± 0.10. 

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2017 2018


Filter By Issues
All Issue Vol 20, No 2 (2025): Juni (2025) Vol 20, No 1 (2025): Maret (2025) Vol 19, No 4 (2024): Desember (2024) Vol 19, No 3 (2024): September (2024) Vol 19, No 2 (2024): Juni (2024) Vol 19, No 1 (2024): (Maret 2024) Vol 18, No 4 (2023): (Desember, 2023) Vol 18, No 3 (2023): (September, 2023) Vol 18, No 2 (2023): (Juni, 2023) Vol 18, No 1 (2023): (Maret 2023) Vol 17, No 4 (2022): (Desember 2022) Vol 17, No 3 (2022): (September) 2022 Vol 17, No 2 (2022): (Juni) 2022 Vol 17, No 1 (2022): (Maret, 2022) Vol 16, No 4 (2021): (Desember, 2021) Vol 16, No 3 (2021): (September, 2021) Vol 16, No 2 (2021): (Juni, 2021) Vol 16, No 1 (2021): (Maret, 2021) Vol 15, No 4 (2020): (Desember, 2020) Vol 15, No 3 (2020): (September, 2020) Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020) Vol 15, No 1 (2020): (Maret, 2020) Vol 14, No 4 (2019): (Desember, 2019) Vol 14, No 3 (2019): (September, 2019) Vol 14, No 2 (2019): (Juni, 2019) Vol 14, No 1 (2019): (Maret, 2019) Vol 13, No 4 (2018): (Desember 2018) Vol 13, No 3 (2018): (September 2018) Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018) Vol 13, No 1 (2018): (Maret 2018) Vol 12, No 3 (2017): (September 2017) Vol 12, No 4 (2017): (Desember 2017) Vol 12, No 2 (2017): (Juni 2017) Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017) Vol 11, No 3 (2016): (September 2016) Vol 11, No 4 (2016): (Desember 2016) Vol 11, No 2 (2016): (Juni 2016) Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016) Vol 8, No 3 (2013): (Desember 2013) Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010) Vol 5, No 2 (2010): (Agustus 2010) Vol 5, No 1 (2010): (April 2010) Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007) Vol 2, No 1 (2007): (April 2007) Vol 1, No 1 (2006): (April 2006) Vol 10, No 4 (2015): (Desember 2015) Vol 10, No 3 (2015): (September 2015) Vol 10, No 2 (2015): (Juni 2015) Vol 10, No 1 (2015): (Maret 2015) Vol 9, No 3 (2014): (Desember 2014) Vol 9, No 2 (2014): (Agustus 2014) Vol 9, No 1 (2014): (April 2014) Vol 8, No 2 (2013): (Agustus 2013) Vol 8, No 1 (2013): (April 2013) Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012) Vol 7, No 2 (2012): (Agustus 2012) Vol 7, No 1 (2012): (April 2012) Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011) Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011) Vol 6, No 1 (2011): (April 2011) Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009) Vol 4, No 2 (2009): (Agustus 2009) Vol 4, No 1 (2009): (April 2009) Vol 3, No 3 (2008): (Desember 2008) Vol 3, No 2 (2008): (Agustus 2008) Vol 3, No 1 (2008): (April 2008) Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007) Vol 1, No 3 (2006): (Desember 2006) Vol 1, No 2 (2006): (Agustus 2006) More Issue