cover
Contact Name
nurbaedah
Contact Email
mizanjurnalilmuhukum@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
mizanjurnalilmuhukum@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota kediri,
Jawa timur
INDONESIA
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 23017295     EISSN : 26572494     DOI : -
Core Subject : Religion, Social,
Jurnal MIZAN terbit 2 (dua) kali dalam setahun pada bulan Juni dan Desember dimaksudkan sebagai sarana publikasi karya ilmiah para pakar, peneliti dan ahli dalam bidang yang terkait dengan masalah ilmu hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 220 Documents
BATAS MINIMAL PEMIDANAAN DITINJAU DARI PRESPEKTIF ASAS PEMIDANAAN DAN KEMERDEKAAN, KEBEBASAN HAKIM (Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Studi Kasus di Pengadilan Negeri Blitar) BENHARD M.L.TORUAN; EDI SUWITO
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i1.916

Abstract

Penelitian ini bertujuan penelitian sebagai berikut: untuk mengetahui penerapan batasminimum pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaaan narkotika, Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memahami persoalan dengan tetap berada atau bersandarkan pada lapangan atau kajian ilmu hukum. Dalam rangka mewujudkan masyarakat dan cita-cita hukum bangsa dan negara Indonesia adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, untuk membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang merata secara materiil maupun spirituil, maka kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia harus ditingkatkan, yang merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional, Cita-cita hukum itu adalah “Pancasila”. Negara Indonesia dalam mencapai cita-cita hukumnya, sesuai pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Problematik Yuridis Tindak Pidana Pemalsuan Surat (Telaah Kasus atas Laporan Polisi Nomor : LP/263/X/2015/Polres Kediri Kota) Nanang Sugianto
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.671

Abstract

Polri merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana (criminal justice system) tidak terlepas dari institusi komponen sistem peradilan pidana lainya yang masing-masing mempunyai fungsi berbeda tetapi saling terkait. Masih adanya terdakwa terbukti sebaliknya di sidang pengadilan dalam penegakan hukum melalui Sistem Peradilan Pidana akibat dari perbedaan penafsiran atas fakta materiel dalam proses penyidikan menjadi perhatian mendalam bagi Polri yang mempunyai tugas pokok salah satunya adalah memberikan pelayanan penegakan hukum guna terwujudnya tujuan hukum dalam memberikan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan penerapan unsur-unsur tindak pidana dan pernyataan kesimpulan hasil penyidikan tindak pidana pemalsuan surat yang penyelesaianya melalui pembuktian sidang pengadilan dalam system peradilan pidana. Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan kasus dengan menggunakan analisis yuridis dan teori kebenaran koherensi untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan kasus telah menelaah penerapan fakta materiel hasil penyidikan tidak sesuai diterapkan dengan unsur-unsur perkara pidana memberikan keterangan palsu atau membuat surat palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 ayat (1) atau pasal 263 ayat (1) KUHP dan menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam pasal 266 ayat (2) atau pasal 263 ayat (2) KUHP dan kesimpulan yang dinyatakan oleh penyidik tidak sesuai dengan sistem proposisinya kesimpulan hasil penyidikan. Dalam hal ini penyidik memaksakan penyelesaian perkara sampai pembuktian dalam sidang pengadilan dan ternyata terbukti sebaliknya. Kata kunci : Problematik Yuridis; Tindak Pidana Pemalsuan Surat; Penyelesaian penyidikan melalui sidang Pengadilan.
TRANSFORMASI ORGANISASI ADVOKAT INDONESIA DARI SINGLE BAR MENJADI MULTI BAR (IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 101/PPU -VII/2009 DAN SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG No. 73/KMA/HK.01/IX/2015) IMAM GHOZALI; MAHFUDZ FAHRAZI
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i1.921

Abstract

Pasal 28 ayat 1 UU Advokat memandatkan model organisasi advokat single bar yang pembentukannya selalu mengalami kegagalan, karena perselisihan di kalangan pengurus organisasi advokat, khususnya PERADI dan KAI. Uji materi Pasal 28 ayat 1 UU Advokat menghasilkan Putusan MK No.101/PPU-VII/2009 yang menyatakan bahwa pengambilan sumpah advokat adalah kewajiban Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat. Putusan MK tersebut kemudian ditegaskan melalui Surat KMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015 yang menginstruksikan kepada Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah calon advokat yang memenuhi syarat, baik yang diajukan PERADI maupun non PERADI hingga tebentuk Undang-Undang Advokat yang baru. Secara otomatis telah terjadi transformasi organisasi advokat dari sistem wadah tunggal (single bar) menjadi wadah jamak (multi bar). Implikasi yuridis Surat KMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015 adalah perubahan prosedur pendaftaran hingga pengajuan penyumpahan calon advokat yang dulu terakumulasi pada PERADI, kini diserahkan pula kepada organisasi-organisasi advokat yang lain, sehingga setiap organisasi advokat dituntut mampu menyelenggarakan pendidikan, sertifikasi, ujian profesi, dan magang calon advokat. Surat KMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015 meniscayakan amandemen Undang-Undang Advokat, karena beberapa pasal dalam UU Advokat sudah tidak relevan lagi diterapkan dalam model multi bar association, khususnya tentang kewenangan organisasi advokat dalam proses rekrutmen dan penyumpahan calon advokat serta pengawasan kode etik. Persaingan di antara organisasi advokat akan lebih bebas, sehingga perlu dibentuk Dewan Kehormatan untuk mengawasi pesaingan antar organisasi advokat agar tidak menjurus pada komersialisasi dan perlu juga dibentuk Komisi Advokat untuk membuat konsensus bersama dengan Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian sebagai mediator ketika terjadi permasalahan lintas penegak hukum
Diskresi Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) Terhadap Tindak Pidana Yang Diselesaikan Di Luar Pengadilan (Studi Pada Polres Tulungagung) Didik Riyanto
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.681

Abstract

Diskresi merupakan suatu kebijaksanaan berupa tindakan yang dilakukan oleh penyidik menurut penilaiannya sendiri sebagai jalan keluar terhadap suatu perkara yang dianggap ringan, tidak efektif serta menimbulkan dampak buruk dari Sistem Peradilan Pidana. Diskresi dilakukan oleh penyidik pada dasarnya lebih mengutamakan pencapaian tujuan sasarannya (doelmatigheid) daripada legalitas hukum yang berlaku (rechtsmatigheid). Permasalahan yang diangkat oleh penulis, adalah 1) Apakah peraturan perundang-undangan yang ada sudah cukup komprehensif bagi tindakan diskresi penyidik Kepolisian di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)?, 2) Bagaimana pelaksanaan atau pola-pola kebijaksanaan yang dilakukan penyidik Kepolisian Resor Tulungagung di dalam menggunakan wewenang diskresi?, dan 3) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi, mendorong dan menghambat seorang penyidik pada Polres Jtulungagung selaku aparat penegak hukum dalam melakukan diskresi penyidikan pada Sat Reskrim Polres Jepara.? Adapun tujuan dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi tindakan diskresi Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), 2) mengetahui pelaksanaan dari wewenang diskresi yang dimiliki oleh Polisi, 3) mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong dan menjadi penghambat petugas penyidik untuk melakukan diskresi Kepolisian pada saat penyidikan di Sat Reskrim Polres Tulungagung. Metode penelitian yang digunakan adalah sosiologis yuridis (juridical sociological). Hasil dalam penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan diskresi pada saat penyidikan di Sat Reskrim Polres Tulungagung diilhami dari Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, ketentuan hukum tidak tertulis yang masih diakui keberadaannya dan doktrin para ahli hukum serta yurisprudensi yang berguna sebagai petimbangan dalam pelaksanaan tindakan diskresi oleh penyidik. Pelaksanaan diskresi oleh penyidik diberikan secara utuh kepada para penyidik menurut penilaiannya sendiri dengan bertanggungjawab dan tetap mempertimbangkan atas kepentingan umum dan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia (human right). Selain itu dalam pelaksanaan tindakan diskresi oleh penyidik terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor pendorong internal terdiri atas subtansi peraturan perundang-undangan, instruksi dari pihak atasan, penyidik sebagai penegak hukum, situasi dalam penyidikan. Faktor pendorong eksternal adalah dukungan dari masyarakat. Disamping itu terdapat faktor penghambat dalam diskresi, diantaranya adalah masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia, kendala finansial, oknum aparat, pengetahuan penyidik, partisipasi para pihak. Berdasarkan penelitian tersebut disarankan bagi penyidik selaku aparat Kepolisian yakni tindakan diskresi menurut penilaiannya sendiri secara kontektstual mempunyai makna yang sangat luas akan tetapi tindakan tersebut dilakukan tidak serta merta secara asal-asalan akan tetapi tetap patuh pada batas-batas yang telah ditentukan perundangan-undangan pada Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bagi masyarakat hendaknya dalam pelaksanaan tindakan diskresi oleh penyidik harus dilakukan langkah pengawasan yang baik, supaya tidak ada bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam pelaksanaan diskresi oleh Penyidik, sehingga diskresi yang dilakukan oleh penyidik tetap suatu bentuk efektifitas dan efisiensi perkara pada Sistem Peradilan Pidana yang bertujuan pada pencapaian keadilan
PARADIGMA MEDIA TERHADAP PERILAKU MENYIMPANG ANAK ( AnalisisUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ) EKO YULIASTUTI; NURBAEDAH NURBAEDAH
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i1.917

Abstract

Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungan yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai,dan praktik yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama khususnya, dalam disiplin intelektual. Media merupakan bagian dari keberadaan dan kemajuan peradapan di era globalisasi. Media berkembang sesuai kebutuhan yang diperlukan saat ini, dengan perkembangan yang pesat dapat mempengaruhi pola perkembangan anak-anak remaja. Paradigma Media, berdampak terjadinya perbuatan yang mengarah ketindakan kriminalisasi. Perbuatan kriminal meliputi pelanggaran pidana (strafbaarheid) baik yang berbentuk pelanggaran (overtreding) maupun yang berwujud kejahatan (misdrijf), tetapi juga perbuatan-perbuatan yang menyimpang (wangedrag). Pesatnya kemajuan teknologi memungkinkan semakin banyak tindakan kriminal yang sangat berpengaruh akan psikologis seorang anak remaja. Walter Lunden mengemukakan beberapa gejala yang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang sebagai berikut : Gelombang urbasanisasi dari desa kekota-kota jumlahnya cukup besar dan sukar dicegah. Terjadi konflik antar norma adat pedesaan tradisional dengan norma-norma baru yang timbul dalam proses pergeseran sosial. Memudarnya pola-pola kepribadian individu yang terkait pada pola kontrol sosial tradisional, sehingga anggota masyarakat terutama anak-anak remaja menghadapai“samar-polah” untuk menentukan perilakunya. Pencegahan tindak pidana anak merupakan bagian utama pencegahan kejahatan dalam masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan sosial dan secara hukum bermanfaat dan dengan menerapkan orientasi kemanusiaan terhadap masyarakat maupun pandangan hidup kaum muda dan anak-anak dapat mengembangkan sikap-sikap “non-criminogenic.” Keberhasilan pencegahan dilakukannya tindak pidana oleh anak memerlukan upaya-upaya seluruh masyarakatguna menjamin perkembangan ke arah proses dewasa secara harmonis dengan menghormati dan mengembangkan kepribadian mereka sejak masa kanak-kanak, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Dalam mencari jati dirinya remaja tidak jarang membuat masalah sosial seperti kenakalan remaja. Kenakalan remaja dilihat dari aspek konsep, penyebab dan juga peran orang tua dalam menanggulanginya. Temuan studi pustaka menunjukkan bahwa : Kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Ada 6 ciri-ciri anak yang melakukan kenakalan remaja, yaitu : Ngebut Pornografi, Pengusakan barang orang lain, Geng Berpakaian sembarangan Menganggu orang lain Kenakalan remaja dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu: a.Keluarga b.Pergaulan c.Pendidikan d.Waktu luang Langkah konkrit yang dapat dilakukan oleh orang tua guna mencegah dan menangani masalah, yaitu : a.Kasih sayang b.Kebebasan c.Pergaulan anak d.Pengawasan pada media e.Bimbinga f.Pembelajaran agama g.Dukungan pada hobi h. Orang tua sebagai teman berkeluh kesah
Efektivitas Peruntukkan Dana Desa Basuki Rahmadi
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.673

Abstract

Dalam rangka meningkatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa, pemerintahan Presiden Joko Widodo membuat terobosan melalui program menyalurkan Dana Desa. “Tahun 2015 Alokasi Dana Desa sebesar Rp. Rp. 20,7 Triliun, tahun 2016 Alokasi Dana Desa sebesar Rp. Rp. 46,9 Triliun, tahun 2017 Alokasi Dana Desa dinaikkan menjadi Rp. 81,1 Triliun, sehingga masyarakat Desa sudah bisa mengelola Dana Desa lebih dari Rp. 1 Miliar per Desa. Untuk mengetahui kebijakan yang diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang efektivitas peruntukkan Dana Desa, serta untuk mengetahui kontrol terhadap Dana Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. Metode pendekatan kajian yuridis normatif yang diperoleh melalui kepustakaan menitikberatkan pada data primer, data sekunder, dan data non hukum, dilakukan dengan cara identifikasi, pemeriksaan, seleksi, dan penyusunan data bersifat deskriptif analisis dengan cara pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Hasil yang ditemukan adanya efektivitas peruntukkan Dana Desa serta adanya kontrol terhadap Dana Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa tertuang dalam Kebijakan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018. Kebijakan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk bagi pemerintahan Daerah, pemerintahan Desa maupun masyarakat Desa dalam penggunaan Dana Desa secara tepat guna dan tepat sasaran. Kontrol terhadap Dana Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa sudah dilakukan oleh Kementerian Desa melalui pola pengawasan dan pengendalian yang melibatkan berbagai unsur antara lain Mou soal pengawasan Dana Desa antara Kapolri, Mendes, dan Mendagri dan Terbentuknya Satgas Dana Desa. Kebijakan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 sudah memberikan arah yang cukup jelas mengenai “Efektivitas Peruntukkan Dana Desa”. Kepala Desa masih kurang mentaati dan kurang mematuhi Kebijakan Peraturan Menteri Desa, terbukti masih banyak ditemukan kasus penyimpangan dan penyelewengan Dana Desa. Kementerian Desa sudah melakukan kontrol melalui pengawasan dan pengendalian terhadap Dana Desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. Kontrol merupakan bentuk pengawasan dan pengendalian dalam rangka menjaga dan melindungi Dana Desa.
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENERAPAN HUKUM PASAL 112 AYAT ( 1 ) DAN AYAT ( 2 ) UNDANG – UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA KAITANNYA DENGAN PENERAPAN HUKUM PASAL 127 AYAT ( 1 ) HURUF A, AYAT ( 2 ), DAN AYAT ( 3 ) UNDANG – UNDANG NOMOR 35 TAHUN 20 ASROPI ASROPI; SHOLAHUDDIN FATHURRAHMAN
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i1.922

Abstract

Secara garis besar, Tesis ini menceritakan tentang isi dari rumusan perbuatan pidana pasal 112 ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) Undang – Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan isi dari rumusan perbuatan pidana pasal 127 ayat ( 1 ) huruf a Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana di antara kedua pasal ini terdapat tumpang tindih dalam hal rumusan perbuatan pidananya, karena cakupan dari pasal 112 tersebut terlalu luas sehingga isi dari pasal 127 tersebut dapat masuk dalam pengaturan pasal 112.Pasal 112 Undang – Undang Narkotika pada intinya mengatur tentang larangan seseorang untuk memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman secara tanpa hak atau melawan hukum, sedangkan pasal 127 mengatur tentang Penyalah Guna narkotika golongan I bagi diri sendiri yaitu perbuatan seseorang yang menggunakan narkotika bagi diri sendiri secara tanpa hak atau melawan hukum.Definisi tentang Penyalah Guna tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa seseorang dilarang menggunakan narkotika apabila tidak ada ijin dari negara untuk menggunakannya.Namun, kita harus memahami bahwa sebelum orang menggunakan narkotika tersebut, tentunya ada perbuatan yang mendahuluinya, apakah dia memiliki, atau dia menyimpan, atau dia menguasai, atau dia menyediakan barang tersebut dan di antara perbuatan yang disebutkan tadi yaitu memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan, semuanya diatur dalam pasal 112.Itulah mengapa Penulis katakan bahwa pengaturan dua pasal tersebut tumpang tindih karena satu perbuatan dapat dikenakan ketentuan pidana dari dua pasal tersebut, bahkan dua pasal tersebut memiliki ancaman pidana yang berbeda karena untuk pasal 112 aayat ( 1 ) misalnya, memiliki ancaman pidana penjara minimal 4 ( empat ) tahun dan maksimal 12 ( dua belas ) tahun dan denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 ( delapan ratus juta Rupiah ) dan paling banyak 8.000.000.000,00 ( delapan milyar Rupiah ), sedangkan pasal 127 ayat ( 1 ) huruf a memiliki ancaman pidana penjara maksimal 4 ( empat ) tahun dan apabila di persidangan Terdakwa terbukti sebagai Pecandu narkotika, maka kepadanya dapat diberikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang mana lamanya menjalani masa rehabilitasi tersebut dihitung sebagai masa menjalani tahanan.Dua pasal ketentuan pidana dalam Undang – Undang Narkotika tersebut tentunya tidak sesuai dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan, khususnya mengenai asas pembentukan peraturan perundang – undangan yang baik yaitu asas kejelasan rumusan dan materi muatannya tidak sesuai dengan asas ketertiban dan kepastian hukum.
Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower) Terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Rendi Yun Trisna Putra
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.682

Abstract

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dibahas ihwal pentingnya melindungi saksi dan korban. Pengaturan perlindungan demikian hanya kita temukan dalam Undang-undang nomor 31 tahun 2014 atau yang berkaitan dengan upaya pengungkapan tindak pidana tertentu, seperti pelanggaran ham berat, kekerasan dalam rumah tangga atau korupsi. Peraturan perundang-undangan tersebutlah yang memperkenalkan pranata hukum tersebut ke dalam sistem peradilan di Indonesia. Tulisan ini akan menelaah secara ringkas tempat dan kedudukan pranata hukum perlindungan saksi dan saksi korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Fokus kajian akan diberikan pada ratio legis perlunya perlindungan terhadap saksi dan korban. Tulisan ini akan dimulai dengan paparan tentang pentingnya kesaksian (dari saksi maupun saksi korban) dalam pengungkapan kebenaran dan bila perlu upaya menjatuhkan pidana. Ini yang menurut penulis adalah makna dari penempatan reaksi pidana sebagai ultimum remedium. Rumusan masalah dalam penelian ini adalah: Bagaimanakah penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower)? Hambatan-hambatan apa yang dihadapi dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam upaya pemberian perlindungan hukum Terhadap Saksi Pengungkap Fakta (Whistle Blower)? Rumusan masalah tersebut dikaji secara mendalam dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang didasarkan pada hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dengan cara mengklasifikasikan dua sumber data yakni data primer dan data sekunder berupa undang-undang atau Peraturan lainnya yang masih ada hubungannya dengan masalah yang diteliti pada penulisan tesis sebagai pijakan teoriserta buku-buku/bahan-bahan lain yang masih memiliki keterkaitan dengan judul penelitian ini sebagai bahan sumber sekundernya. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah 75 : Pertama, Upaya perlindungan hukum terhadap saksi pengungkap fakta (whistleblower) hingga saat ini belum mendapatkan payung hukum baik itu dari Undang-Undang Nomer 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban atau dari peraturan lain yang secara spesifik mengatur tentang jenis-jenis tindakan yang dilarang, bertentang dan yang membahayakan kepentingan publik. Peraturan tentang tindakan yang dimaksud masih menyebar dalam sejumlah undang-undang dan peraturan yang ada. Beberapa undang-undang inilah yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi seorang whistleblower guna menentukan tindakan yang memiliki kehendak untuk diungkap masuk dalam kategori dilarang, bertentangan pula dan membahayakan kepentingan publik. Kedua, Sementara itu hambatan yang dialami dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap whistleblower dalam proses peradilan pidana adalah; capacity building Lembaga Perlindungan Saksi yang terbentuk dari tahun 2006 paca diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2006 belum mempunyai kekuatan hukum yang penuh dalam memberikan perlindungan hukum bagi seorang saksi pengungkap fakta (whistleblower) dan kerjasama antara lembaga perlindungan saksi dan korban dengan lembaga-lembaga yang terkait belum terjalin dengan baik sehingga perlindungan saksi belum terlaksana secara kompreherensif
Kajian Yuridis Pelaksanaan Pasal 7 UURI Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Program Pendidikan Dokter Layanan Primer Arifatur Rachmawati
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v8i2.668

Abstract

Tujuan penelitian mengkaji pelaksanaan pasal 7 UURI No 20 Tahun 2013 tentang program pendidikan DLP. Metode Penelitian adalah Normatif. Pelaksanaan DLP menjadi Polemik karena mengesahkannya tanpa ada PPNya. DLP merupakan implementasi program pemerintah, tercermin dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN yang diwujudkan dalam JKN. Pasal 8 ayat 1 UU No 20 Tahun 2013 menyatakan bahwa Program Pendidikan Dokter yang terakreditasi A penyelenggara DLP .salah satunya UNPAD. UURI No 20 pasal 7 ayat (9) tertulis “ Ketentuan lebih lanjut mengenai program DLP sebagaimana dimaksud pada ayat(5) huruf b dan program Intersip dimaksud pada ayat 7 dan ayat 8 diatur dalam peraturan pemerintah, UUD 1945 pasal 5 ayat (2) :“Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU sebagaiman mestinya “ sebagai dasar hukum Presiden menetapkan PP. Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 tentang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan. Menyusunan peraturan perundang-undangan diperlukan asas-asas Hukum, Teori Stuffen Bow Karya Hans Kelsen yang membahas Jenjang Norma Hukum, L.Prakke en C.A.J.M. asas legalitas berkait erat dengan suatu wewenang untuk bertidak,.Philipus M.Hadjon keabsahan tindakan pemerintah didasarkan pada aspek kewenangan yang (atribusi, delegasi,mandat),aspek prosedur dan aspek substansi Kesimpulannya Program Pendidikan DLP belum bisa dilaksanakan menunggu PPNya, tetapi karena permohon Judicial Review PDUI ditolak MK ,keputusan MK bersifat Final dan mengikat maka DLP harus tetap dijalankan. Dan sebaiknya pemerintah segera merampungkan rancangan PPNya
PERLINDUNGAN HUKUM WANITA PEKERJA SEKS (WPS) PASCA PENUTUPAN LOKALISASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 HANJAR MAKHMUCIK; NETTY ENDRWATI
MIZAN, Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2018): Mizan: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Islam Kadiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32503/mizan.v7i1.918

Abstract

Perlindungan hukum Wanita Pekerja Seks (WPS) wajib dilakukan oleh semua pihak secara universal. Wanita pekerja seks mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 dan secara khusus di atur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial serta peraturan perundang-undangan lainnya. Perlindungan Hukum wanita pekerja seks seringkali terabaikan karena faktor politik, sosial dan budaya. Sehingga seringkali keberadaan wanita pekerja seks di anggap sebagai penyakit masyarakat yang kerap menerima stigma dan didiskriminasi. Penanganan wanita pekerja seks harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan baik melalui rehabilitasi sosial hingga pemulihan fungsi sosialnya tanpa menghilangkan haknya sebagai manusia dan warga negara.

Page 3 of 22 | Total Record : 220