cover
Contact Name
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry
Contact Email
wayang.nusantara@isi.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
endahbudiarti30@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry
ISSN : 23564776     EISSN : 23564784     DOI : -
Core Subject : Art,
Wayang Nusantara adalah jumal ilmiah pewayangan yang diterbitkan oleh Jurusan Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjuk:an, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Terbit pertama kali bulan September 2014 dengan frekuensi terbit dua kali setahun pada bulan Maret dan September.
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022" : 5 Documents clear
Struktur Naratif Lakon Thothok Kerot Ki Harjito Mudho Darsono Aziz, Abdul; Budiarti, Endah; Soeseno, B. Djoko
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.11316

Abstract

AbstractThis paper aims to find the narrative structure of Thothok Kerot performance by Ki Harjito Mudho Darsono. The findings are similar to performance outlines. The research data were audio-visual recordings of Thothok Kerot performance by Ki Harjito Mudho Darsono. Structural method of Becker’s model has been used. In particular, Becker’s narrative structure simplified by Kasidi has been used in the analysis. It has been stated that the structure of a play is built hierarchically from three main parts according to the performance segmentation. Each shadow puppet performance is divided into three scenes, each scene has the same internal structure as a segment of one whole shadow puppet performance. The results show that the narrative structure of Thothok Kerot performance by Ki Harjito Mudho Darsono influences Surakarta style of shadow puppet performances.AbstrakTulisan ini bertujuan menemukan struktur naratif lakon Thothok Kerot Ki Harjito Mudho Darsono. Temuan itu dapat disetarakan dengan balungan lakon. Data penelitian berupa rekaman audio visual lakon Thothok Kerot Ki Harjito Mudho Darsono. Konsep struktur naratif Becker yang direduksi Kasidi digunakan dalam analisis. Konsep tersebut mengatakan bahwa stuktur lakon dibangun secara hirarkis dari tiga unit pokok sesuai dengan pembabakan lakon. Setiap lakon wayang dibagi ke dalam tiga babak, masing-masing babak memiliki stuktur internal yang sama sebagai suatu kesatuan lakon wayang secara menyeluruh. Metode yang digunakan adalah metode struktural model Becker. Hasil yang didapat yaitu struktur naratif lakon Thothok Kerot Ki Harjito Mudho Darsono terpengaruh pakeliran wayang kulit gaya Surakarta.
Lakon Brajadenta Brajamusthi: Sebuah Respon terhadap Lakon Brajadenta Mbalela Saputra, Sumantri Adi; Kiswantoro, Aneng
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.10798

Abstract

AbstrackThis research aims to portray the origins of Raden Brajadenta and Raden Brajamusthi, as well as their death by Raden Gathutkaca. For the purpose, initial observations were made by watching shadow puppet performances and studying its literature. In addition, interviews with notable masters of Yogyakarta-style puppetry were conducted for more story references. The asma kinarya japa approach was used as a concept for compiling a new story adaptation. Asma kinarya japa is an approach used to track down the etymology of characters’ names in a shadow puppet performances. Microcosmical and macrocosmical context-based interpretation of meanings were derived. Afterwads, the Brajadenta Brajamusthi puppet performance with story adaptation was composed. The puppet master’s ideas were expressed in themes, main ideas, characterizations, settings, and plots of the story. The results indicate that the Braja sometimes originate from the magical power of Aji Gandawastra belonged to Prabu Pandhu which was given to Prabu Tremboko. The theme conveyed in the Brajadenta Brajamusthi performance is life perfection. This work conveys the idea that Brajadenta and Brajamusti originating from Aji Gandawastra with the wind aspect in themselves, ultimately, achieve life perfection by uniting with the ruler of the wind in Raden Gathutkaca.AbstrakTujuan penciptaan karya ini untuk memaparkan asal-usul Raden Brajadenta dan Raden Brajamusthi, serta peristiwa kematian mereka oleh Raden Gathutkaca. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan observasi awal melalui pengamatan terhadap pertunjukan wayang kulit dan studi pustaka. Selanjutnya dilakukan wawancara dengan tokoh pedalangan gaya Yogyakarta untuk menambah referensi cerita. Pendekatan asma kinarya japa digunakan sebagai konsep menyusun sanggit baru. Asma kinarya japa merupakan pendekatan yang digunakan untuk menelusuri arti nama-nama tokoh dalam sebuah lakon wayang berdasarkan etimologi. Kemudian dari arti tersebut ditafsirkan maknanya atas dasar konteks, baik konteks mikrokosmos maupun makrokosmos. Langkah terakhir ialah penyusunan lakon Brajadenta Brajamusthi menggunakan teori sanggit lakon. Gagasan pengkarya dituangkan dalam tema, gagasan pokok, penokohan, setting, dan alur. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis, didapat asumsi bahwa kadang Braja berasal dari daya kesaktian Aji Gandawastra milik Prabu Pandhu yang diberikan kepada Prabu Tremboko. Tema yang akan disampaikan dalam lakon Brajadenta Brajamusthi ialah kesempurnaan hidup. Jadi karya ini menyampaikan sebuah pemikiran bahwa Brajadenta dan Brajamusti yang berasal dari Aji Gandawastra dengan aspek angin dalam diri mereka, pada akhirnya mencapai kesempurnaan hidup dengan cara bersatu dengan penguasa angin yang ada dalam diri Raden Gathutkaca.
Majalah Cempala (1996-1999): Wacana Keadiluhungan dan Jejak Kekerasan Budaya Orde Baru dalam Tradisi Pedalangan Hariyanto, Hariyanto
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.11598

Abstract

AbstractThis article aims to investigate the hegemonic strategy of the authoritarian regime of New Order in doing cultural violence by exploiting the discourse of Virtue in the world of puppetry. The materials observed were from Cempala magazine published by the Indonesian Puppetry Association (PEPADI) from 1996 to 1999. The focus of the study were metaphors which were used in the articles in forms of puppetry narratives and idioms. The data obtained were compared with Wijaya Herlambang’s reading of literary works and films in Post-1965 Cultural Violence, and Pierre Bourdieu’s thoughts on symbolic violence. The results show that cultural violence has been done by the New Order by using the discourse of Virtue in the puppetry tradition through the standardization of puppetry styles. Cultural violence has been done by an extension of the authority of the puppetry organization through producing narratives as efforts to legitimize power.AbstrakTulisan ini bertujuan melacak strategi hegemoni rezim otoriter Orde Baru dalam melakukan kekerasan budaya melalui eksploitasi wacana keadiluhungan dalam dunia seni pedalangan. Bahan pengamatan adalah majalah Cempala yang diterbitkan oleh Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Pusat dari tahun 1996 – 1999. Setiap edisi majalah dibaca berdasarkan cara pandang kajian budaya, berfokus pada metafor yang digunakan berupa narasi dan idiom wayang. Data yang diperoleh kemudian disandingkan dengan pembacaan Wijaya Herlambang atas karya sastra dan film dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965, dan pemikiran Pierre Bourdieu mengenai kekerasan simbolik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kekerasan budaya dilakukan Orde Baru dengan menggunakan wacana keadiluhungan dalam tradisi seni pedalangan melalui standarisasi gagrag pedalangan. Kekerasan budaya dilakukan oleh kepanjangan otoritas organisasi pedalangan dengan memproduksi narasi sebagai upaya melegitimasi kekuasaan.
Pengaruh Kitab Adiparwa dan Serat Purwakandha terhadap Pertunjukan Wayang Kulit Gaya Yogyakarta Lakon Abimanyu Lair: Kajian Intertekstualitas Mulyono, Sri
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.13150

Abstract

AbstractThis study aims to see the intertextual relationship between the Yogyakarta-style puppet performance of Abimanyu Lair by Ki M.L. Cermasudira and the story of Abhimanyu’s birth in Serat Purwakandha and the book of Adiparwa. For the purpose, a literature study about the birth was carried out, summarized, followed by a comparative and intertextual study using Joko Pradopo’s framework. In fact, transformation, continuity, and discontinuity occurred in the intertextual process. Transformation occurred in form and language. The book of adiparwa in form of ancient Javanese prose and Serat Purwakandha in form of New Javanese macapat songs transformed into a Yogyakarta style purwa puppet performance in puppetry language. Continuity could be seen in the theme similarity, namely birth. The continuity of Serat Purwakandha to puppet performance colud be seen at the event that Abhimanyu’s birth was always assisted by angels and gods; it was always interrupted by the king of the other world; Krishna always cared for Sembadra, Abimanyu, and the Pandavas; the name of Abimanyu was given by Bima. Discontinuity includes: differences in the arrangement of scenes, in which the arrangement of the puppet performance scenes was bound to the conventions of the patterns of puppet performance while the others were free; the difference in characters and settings in the three texts, which texts the newest text had more characters and settings. The deviation of ideas and story development was found in the emergence of the wahyu widayat story and Bima’s role in the Yogyakarta style puppet performance as an effort to put Abimanyu as the central queen Java land (‘ancestor of the kings of Java’) and Bima’s role in Javanese religious and Sufism system, namely through the palace revelation.In conclusion Abimanyu Lair puppet performance in a Yogyakarta-style puppet performance as a representation of the courtiers of the Yogyakarta palace shows a relationship with Serat Purwakandha but far different from the book of Adiparwa.AbstrakPenelitian ini bertujuan melihat hubungan intertekstual antara pertunjukan wayang kulit gaya Yogyakarta lakon Abimanyu Lair sajian Ki M.L. Cermasudira dengan cerita kelahiran Abimanyu pada Serat Purwakandha dan kitab Adiparwa. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan studi pustaka cerita kelahiran Abimanyu, meringkas cerita, dilanjutkan studi komparasi, dan intertekstual model Joko Pradopo. Dalam prosesintertekstual, terjadi transformasi, kontinuitas, dan diskontiunitas. Transformasi terlihat pada transformasi bentuk dan bahasa. Kitab adiparwa berbentuk prosa berbahasa jawa kuna dan Serat Purwakandha berbentuk tembang macapat berbahasa jawa baru bertransformasi menjadi pertunjukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta berbahasa pedalangan. Kontinuitas terlihat pada persamaan tema yakni kelahiran. Kontinuitas Serat Purwakandha ke pertunjukan wayang terlihat pada peristiwa kelahiran Abimanyu selalu dibantu bidadari dan dewa; kelahiran Abimanyu selalu diganggu raja sabrang; Kresna selalu peduli kepada Sembadra, Abimanyu, dan Pandawa; nama Abimanyu diberikan oleh Bima. Diskontinuitas meliputi: perbedaan susunan adegan, dimana susunan adegan pertunjukan wayang kulit terikat konvensi pola bangunan lakon wayang sedang yang lain bersifat bebas; perbedaan tokoh dan setting pada ketiga teks, dimana teks yang lebih muda memiliki jumlah tokoh dan setting lebih banyak. Penyimpangan ide dan pengembangan cerita terdapat pada munculnya kisah wahyu widayat dan peran Bima dalam pertunjukan wayang kulit purwa gaya Yogyakarta sebagai upaya mendudukkan Abimanyu sebagai pancer ratu tanah Jawa (‘leluhur raja-raja Jawa’) dan peranan Bima dalam system religious dan tasawuf Jawa, yakni melalui wahyu karaton. Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh hasil bahwa lakon Abimanyu Lair dalam pertunjukan wayang kulit gaya Yogyakarta sebagai representasi pakeliran abdi dalem keraton Yogyakarta menunjukkan adanya hubungan dengan teks sebelumnya yaitu Serat Purwakandha namun jauh dari kitab Adiparwa.
Struktur Naratif Lakon Bratayuda Jombor Krystiadi, Krystiadi
Wayang Nusantara: Journal of Puppetry Vol 6, No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/wayang.v6i1.12419

Abstract

AbstractThe Jombor version of the Bratayuda Puppet Performance (PWLB) has developed since the end of the 19th century. Since 2005, the Jombor version of PWLB has never been performed anymore. In fact, the Jombor version of PWLB has unique pattern and structure of performance. Given these things, preservation and documentation of the Jombor version of PWLB are urgently needed. Therefore, the transcription and discovery of the Jombor version of PWLB structure pattern by Ki Kristiaji is important. This study has used Becker’s narrative structure simplified by Kasidi to find the pattern of PWLB structure. This study has also used analytical description method. The results of the analysis show that there are several scenes and war scenes of traditional patterns that are not found in the Jombor version of PWLB. These scenes include scenes of gapuran, kondur kedhaton, kapalan, pandhita, sintrèn, gambyongan, and all kinds of wars. The performance structure that is strictly followed is the division of the performance into three timelines, but the internal structure of the timeline such as the main scene is not always followed and ended by war. There is main scene followed by particular scene but is ended by war and there is main scene that is immediately ended by war. There is even one timeline in one scene followed by scene and war inside another main scene. Also, the internal structure of the main scene is not always composed by descriptions, dialogues, and actions. Some scenes of the Jombor version of PWLB do not have any descriptive elements. Meanwhile, the supporting elements in the form of sulukan (mood son), gending (instrumentalia), dhodhogan-keprakan are used by puppet masters by adjusting to the needs of the stage. Based on the results of the analysis, the arrangement of the scenes according to the traditional pattern and Becker’s narrative structure simplified by Kasidi is not rigid and coercive. These patterns are flexible according to the needs of the performanes.AbstrakPertunjukan Wayang Lakon Bratayuda (PWLB) versi Jombor tercatat telah berkembang sejak akhir abad 19. Sejak tahun 2005, PWLB versi Jombor tidak pernah dipentaskan lagi. Setelah ditelisik, PWLB versi Jombor memiliki keunikan dalam pola dan struktur lakonnya. Mengingat dua hal tersebut, usaha pelestarian dan pendokumentasian PWLB versi Jombor mendesak untuk dilakukan. Transkripsi dan penemuan pola struktur PWLB versi Jombor dengan dalang Ki Kristiaji dimaksudkan untuk menjawab hal itu. Dalam penelitian ini digunakan konsep struktur naratif Becker seperti direduksi oleh Kasidi untuk menemukan pola struktur PWLB. Adapun strategi analisis kajian ini menggunakan metode deskripsi analitik. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada beberapa adegan dan perang menurut pola tradisi yang tidak ditemukan dalam PWLB versi Jombor. Adegan tersebut antara lain adegan gapuran, kondur kedhaton, kapalan, pandhita, sintrèn, gambyongan, dan semua jenis perang. Struktur lakon yang diikuti secara ketat adalah pembagian lakon menjadi tiga pathet, tetapi struktur internal pathet seperti jejer tidak selalu diikuti adegan dan diakhiri perang. Terdapat jejer yang diikuti adegan tetapi tidak diakhiri perang dan ada jejer yang langsung diakhiri perang. Bahkan ada satu jejer dalam suatu pathet diikuti adegan dan perang dalam kerangka pathet yang lain. Struktur internal pathet juga tidak selalu disusun oleh deskripsi, ginem, dan tindakan. Beberapa adegan PWLB versi Jombor tidak memiliki unsur deskripsi. Sedangkan unsur penyangga berupa sulukan, gending, dhodhogan-keprakan digunakan dalang dengan menyesuaikan kebutuhan pentas. Berdasarkan hasil analisis, susunan adegan menurut pola tradisi dan konsep struktur naratif Becker yang direduksi Kasidi tidak bersifat kaku dan memaksa. Pola-pola tersebut bersifat luwes disesuaikan kebutuhan lakon.

Page 1 of 1 | Total Record : 5