cover
Contact Name
Abdul Wachid BS
Contact Email
abdulwachid@uinsaizu.ac.id
Phone
+62811303136
Journal Mail Official
ibda@uinsaizu.ac.id
Editorial Address
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto Jl. Jend. A. Yani No. 40A Purwokerto 53126 Jawa Tengah - Indonesia
Location
Kab. banyumas,
Jawa tengah
INDONESIA
IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
ISSN : 16936736     EISSN : 24775517     DOI : https://doi.org/10.24090/ibda
IBDA`: Jurnal Kajian Islam dan Budaya focuses on the study of Islamic culture that developed in society, as well as the culture that developed in Muslim societies. The scope of the study includes: a) Beliefs system in Islam, b) Ideas of Muslim scholars, c) Ritual system in Islam, d) Islamic institutions and organizations, e) Traditions or customs in Islamic society, and f) Literature and Islamic arts. IBDA`: Jurnal Kajian Islam dan Budaya aims to build a comprehensive understanding of Islamic norms in religious texts and their realization in social life. If the author comes from Indonesia, please submit articles in Indonesian. After the article has accepted to publish by the Ibda Journal Editorial Board, the writer of the article must be willing to follow the rules for translating the article into English with the translator specified by the Ibda Journal.
Articles 11 Documents
Search results for , issue "Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya" : 11 Documents clear
Kearifan Lokal Adat Migou Pa’ Tulangbawang dalam Perspektif Hukum Islam Abu Thalib Khalik
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (122.987 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.675

Abstract

Local wisdom of Indigenous Peoples Migou Pa ‘Tulangbawang Lampung, contains a few anomalies. First, a person who violates customary law will be sanctioned in accordance with the level of the rank of cultures. If he is on the level of indigenous higher, the sanctions given to him will be doubled from legal sanctions must be received by people of customary middle class. In accordance, if he comes from the lowest class, he will get legal sanctions only half of the second level. Second, the natures of anomalies were found on the punishment for adultery to be discharged into the jungle. As adultery is considered an act of animal, the adultery are to be gathered with the animals in the forest. Nowadays, this kind of action could be considered not humane or could also be considered a violation of Human Rights (HAM). All this, according to the author, is intended that people of high rank could be more cautious, more aware of, and even obeying the law. In addition, according to the author, the fact that adultery should be thrown into the jungle is intended to provide a deterrent effect. Third, in the case of violation of the law which should eventually be fined, all members of his clique will be liable to pay a fine. It is intended that the family relatives of the click constantly remind each other that the violation of the law could be fatal. Kearifan lokal Adat Masyarakat Migou Pa’ Tulangbawang Lampung, mengandung beberapa hal anomaly yakni, pertama seseorang yang melakukan pelanggaran hukum adat akan dikenai sanksi sesuai dengan level pangkat adatnya, jika sesorang itu dari level adat yang tinggi maka sanksi hukuman yang diberikan kepadanya akan dua kali lipat dari sanksi hukum yang harus diterima oleh orang yang pangkat adatnya klas  menengah, sebaliknya jika sipelaku itu berasal dari kelas terendah maka sanksi hukumnya hanya separuh dari sanksi hukum orang level kedua. Kedua sifat anomaly itu terdapat pada hukuman bagi pelaku zina yang harus dibuang ke rimba, hanya karena perbuatan zina itu telah dianggap sebagai perbuatan binatang, maka para pelaku zina itu harus dikumpulkan dengan hewan–hewan di hutan, untuk zaman sekarang tindakan semacam ini bisa dianggap tidak manusiawi atau juga bisa dianggap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semua ini menurut penulis dimaksudkan agar orang–orang berpangkat tinggi itu bisa lebih hati–hati, lebih sadar bahkan taat hukum, kemudian pelaku zina harus dibuang ke rimba raya menurut penulis hal ini dimaksudkan untuk memberi efek jera. Ketiga jika terjadi pelanggaran hukum yang akhirnya harus dikenai sanksi denda maka segenap anggota kliknya yang menanggung kewajiban membayar denda itu, dimaksudkan agar sanak family yang satu klik itu senantiasa saling mengingatkan bahwa pelanggaran hukum itu bisa berakibat fatal.
Dialektika Agama dan Budaya dalam "Berkah" Nawu Sendang Selirang Waryono Abdul Ghafur
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.086 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.710

Abstract

This article discusses Sendang Selirang, a local culture in Kotagede, Yogyakarta, the existence of which is conserved to the present time. There is a tradition to clean the pool located in the former Mataram kingdom in Kota Gede. This tradition has different meaning among the three different groups of people: abangan, santri, and the intellectuals. This article starts from Clifford Geertz’s interpretative ethnography to understand cultural events existing in the society. This research found that among abangan community, Sendang Selirang is a ritual and ceremony which is performed with religious emotion and considered to be mystical. This meaning is different from that the group of santri, represented by Muhammadiyah. For some Muhammadiyah activists, this tradition is a part of superstition, bid’ah, and kurafat, so that it should be avoided. Meanwhile, for the intellectuals, it is not enough to view this tradition only from religious perspective. It should also be viewed from cultural perspective. This view functions as mediation for the other two groups of community that potentially arise conflicts. This research also found that the different views among the communities are influenced not only by the religious factor, but also other factors, such as equality in handling the ceremony and material benefit. However, the unity in diversity should be highlighted to create harmony among them. Artikel ini membahas tentang Sendang Selirang sebagai salah satu budaya lokal khas di Kotagede Yogyakarta yang sampai sekarang masih dilestarikan. Ada tradisi membersihkan kolam yang berada di bekas lingkungan Kerajaan Mataram awal di Kotagede. Tradisi tersebut dimaknai secara berbeda oleh tiga kelompok di Kotagede: abangan, santri, dan intelektual. Tulisan ini berangkat dari kerangka yang dibangun oleh Clifford Geertz dengan etnografi interpretatifnya untuk memahami suatu peristiwa budaya yang terjadi di masyarakat. Hasil penelitian ini menun  jukkan bahwa bagi masyarakat abangan, Sendang Selirang menjadi ritus dan upacara yang dilaksanakan dengan emosi keagamaan dan mempunyai sifat keramat. Pemaknaan tersebut ternyata berbeda bagi kelompok santri yang direpresentasikan dengan Muhammadiyah. Bagi beberapa aktivis Muhammadiyah, tradisi nawu sendang (Sendang Selirang) merupakan bagian dari tahayul, bid’ah, dan kurafat sehingga harus dihindari. Sementara bagi kelompok “cendekiawan”, peristiwa nawu sendang tidak cukup dipandang dari sisi agama, namun juga dari sisi budaya. Ini sebagai “jalan tengah” untuk menengahi dua kelompok sebelumnya yang berpotensi konflik. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa perbedaan pandangan dari tiga kelompok tersebut dipengaruhi oleh bukan semata pandangan keagamaan masing-masing, tapi juga oleh faktor lain di luar agama, seperti pemerataan dalam penyelenggaraan dan keuntungan material. Kebersamaan dalam perbedaan tetap yang diutamakan, sehingga harmoni terus berjalan dengan baik.
Tradisi Pernikahan Adat Jawa Keraton Membentuk Keluarga Sakinah Safrudin Aziz
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.448 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.724

Abstract

This article explains how to build a peaceful (sakinah) family in the Javanese wedding traditions and rituals of Surakarta and Yogyakarta Palaces. This theme is important because most of Javanese people do not understand the philosophical and ethical values of building a peaceful family as it is reflected in the traditions and rituals. Saki>nah, which means a peaceful family, is the final destination of a marriage as showed in Javanese marital traditions and rituals. The tradition of nontoni is a symbol of knowing each other (ta’aruf) between the bride and the groom. Installing tarub symbolizes the announcement of a marriage as well as a way to build closeness among the family, relatives, and neighbors to get the pray and bless for the couple. In addition, the tradition of sepasaran represents feeling of gratitude to God and other people due to the values of silaturahmi and sharing good luck after wedding ceremony. The steadiness in choosing a partner through deliberation, calculation, understanding of the similarities of character, vision and way of life of each pair is a provision for establishing harmonious family as contained in the symbolic message of Javanese wedding traditions and rituals. Tulisan ini mengungkap cara membangun keluarga sakinah dalam tradisi dan ritual pernikahan adat Jawa, Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Mayoritas orang Jawa tidak memahami nilai filosofis dan etis cara membangun keluarga sakinah sebagaimana tersirat dalam tradisi dan ritual pernikahan yang diselenggarakannya. Sakinah dalam arti keluarga yang tenang, damai dan tenteram merupakan tujuan akhir pernikahan sebagaimana terdapat dalam tradisi dan ritual pernikahan adat Jawa. Tradisi nontoni sebagai simbolisasi dari ta’aruf (saling mengenal) antara calon istri dengan calon suaminya. Pasang tarub sebagai sarana mengumumkan keberlangsungan sebuah pernikahan sekaligus media merekatkan tali  silaturrahmi dengan mengumpulkan kerabat dan tetangga guna memperoleh do’a, restu serta keberkahan bagi kedua mempelai. Begitu pula dengan tradisi sepasaran merupakan salah satu bentuk syukur terhadap Tuhan dan sesama manusia.Sebab tradisi sepasaran mengandung nilai silaturrahmi serta berbagi rizki setelah berakhirnya upacara pernikahan. Adapun memantapkan hati dalam memilih pasangan melalui pertimbangan, perhitungan, pemahaman terhadap kesamaan karakter, visi serta pandangan hidup setiap pasangan merupakan bekal membangun keluarga sakinah sebagaimana terdapat dalam pesan simbolik tradisi dan ritual pernikahan Jawa.
Nilai Religi: Sebuah Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Ponorogo Kasnadi Kasnadi
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (108.663 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.736

Abstract

This research was aimed at describing religious values in Ponorogo folklore. This research used descriptive qualitative design. The technique of data collection is involved talk listening technique. Source of the data is Ponorogo folklore. The findings of the research cover: (1) religious values in agreement to Islamic concepts and values and (2) religious values in agreement to the concepts and views of animism and dynamism. Religious values in agreement to Islamic values include values of surrender, piousness, and gratitude to Allah, whereas values in agreement to animism and dynamism include the belief in the power of thing, place, good and bad day, and spiritual beings. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan nilai religi dalam cerita rakyat Ponorogo. Desain yang digunakan di dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak-catat. Sumber data berupa cerita rakyat Ponorogo. Hasil penelitian mencakup: (1) nilai religi yang sesuai dengan konsep dan pandangan Islam dan (2) nilai religi yang sesuai dengan konsep dan pandangan animisme dan dinamisme. Nilai religi yang sesuai dengan konsep Islam berupa kepasrahan, kesalehan, dan rasa syukur kepada Allah SWT. Sedangkan, nilai religi yang sesuai dengan konsep animisme dan dinamisme berupa percaya terhadap benda, percaya terhadap tempat, percaya terhadap hari baik dan hari buruk, percaya terhadap roh-roh halus.
Local Wisdom Reflected in The Symbols in Masjid Saka Tunggal Banyumas Ika Maratus Sholikhah; Dian Adiarti; Asrofin Nur Kholifah
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.074 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.762

Abstract

This article discusses the heritage of Banyumas culture conserved by the inhabitants. Banyumas is famous not only for its tourist destination but also for its art performances such as begalan, lengger, calung,kentongan, and ebeg. One of the famous tourist destinations in Banyumas is a mosque called Masjid Saka Tunggal Baitussalam (MSTB). This research emphasizes on the description of MSTB as the heritage of Banyumas culture as well as explains the meanings and messages reflected in the symbols found in MSTB. This mosque was buit in 1288 and is the oldest mosque in Indonesia. The symbols were analyzed with semiotic theory using qualitative descriptive analysis. The data were gained through observation, documentation, and interviews. This research found that there were 13 symbols found in MSTB representing Islamic and Javanese philosophy, especially in spiritual activities. MSTB is a promising tourism site of Banyumas to be be developed as cultural heritage. Artikel ini membahas warisan budaya Banyumas yang masih sangat dipertahankan oleh penduduk setempat. Banyumas tidak hanya terkenal dengan destinasi wisatanya, tetapi juga pertunjukan seni, seperti Begalan, Lengger, Calung, Kentongan, dan Ebeg. Salah satu tujuan wisata yang terkenal di Banyumas ialah Masjid Saka Tunggal Baitussalam (MSTB). Penelitian ini menekankan pada deskripsi Masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai salah satu warisan budaya Banyumas sekaligus menjelaskan makna dan pesan yang tercermin pada simbol-simbol yang ditemukan di MSTB. Masjid ini didirikan pada tahun 1288 dan merupakan masjid tertua di Indonesia. Simbol-simbol yang ditemukan dianalisis berdasarkan teori semiotik dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data dihimpun melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan informan.  Hasil penelitian mengungkapkan 13 simbol yang ditemukan di MSTB yang merepresentasikan filsafat Islam dan Jawa, khususnya dalam aktivitas spiritual. MSTB merupakan situs wisata Banyumas yang menjanjikan untuk terus dikembangkan sebagai warisan budaya.
Kearifan Ritual Jodangan dalam Tradisi Islam Nusantara di Goa Cerme Mohammad Takdir
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (124.331 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.837

Abstract

This article reveals Jodangan ritual performed annually as a representation of gratitude to Allah for his mercy in giving harvest that spread prosperity to the community around Cerme Cave. The history of Cerme Cave is well known as the heritage of phenomenal Islam civilization. Cerme Cave as a historical trace is made a religious tourism for Bantul and its surrounding community. This research found that Jodangan ritual could improve community’s religiosity consciousness as a commitment of loyalty to The Almighty God. Religiosity consciousness in the society has a really important role in affecting mind and behavior to perform religious command sincerely. Tulisan ini berusaha mengungkap ritual Jodangan yang dilaksanakan setiap tahun sebagai tanda syukur kehadirat Allah yang memberikan rezeki dari hasil bumi sehingga memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar Goa Cerme. Sejarah Goa Cerme yang dikenal masyarakat sebagai warisan peradaban Islam yang sangat fenomenal, pada saat bersamaan dihelat sebuah ritual keagamaan yang dikenal dengan upacara Jodangan. Peneliti tertarik mengetahui lebih mendalam Goa Cerme sebagai tempat wisata religius bagi masyarakat Bantul dan sekitarnya. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan ritual Jodangan dapat meningkatkan kesadaran religiusitas (religiousity consciousness) masyarakat sebagai bentuk komitmen ketaatan dan kepatuhan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran religiusitas dalam realitas sosial memang berperan penting dalam mempengaruhi pikiran dan perbuatan untuk melaksanakan perintah agama dengan penuh keikhlasan.
Religi Grebeg Sura di Banyumas Subur Subur
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.429 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.838

Abstract

This research reveals the religious values expressed by symbols of Grebeg Sura tradition in Tambaknegara, Rawalo District, Banyumas Regency. Islamic studies on Javanese context are endless because their dynamics and uniqueness are always interesting to be studied. As a religion, Islam gives concepts and symbols of idealism, while Javanese culture, having existed for hundreds of years, has born various and specific traditions and culture. Methods used in this research are observations and interviews to competent informants. This research reveals that Islam in the Javanese context cannot be separated from local culture and traditions that have been planted tightly. Islam can be accepted by Javanese society for its flexibility. The tradition of grebeg sura in Tambaknegara, Rawalo District, Banyumas Regency is full of Javanese symbols. However, it also contains values that are relevant to Islam. In perceiving polytheistic Javanese traditions, Muslims show three different attitudes: 1) extremely reject the traditions due to their principal that believing in magical power originated from animism and dynamism is categorized into syirik and will destroy their aqidah, therefore, it is not tolerable; 2) totally accept the tradition without any selection, which is usually followed by common people who do not really understand Islam, but they get benefits of it; 3) gradually and persuasively erase the traditions through preaching Islam using local symbols. Penelitian ini bertujuan mengungkap pesan-pesan religius yang disampaikan melalui simbol-simbol tradisi Grebeg Sura di Tambaknegara Rawalo Kab. Banyumas. Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara dengan narasumber yang kompeten. Hasil penelitian menunjukkan Islam dalam konteks Jawa tidak bisa dilepaskan dari berbagai budaya dan tradisi setempat yang mengakar begitu kuat. Islam dapat diterima oleh masyarakat karena keluwesannya. Kegiatan Grebeg Sura di  Desa Tambaknegara memang sarat akan simbol-simbol yang begitu kental dengan warna Kejawen, tetapi banyak juga nilai yang relevan dengan substansi nilai Islam. Dalam memandang tradisi Jawa yang politheistik, terdapat tiga sikap muslim; Pertama, sikap yang menolak secara ekstrem, karena berpendapat bahwa mempercayai berbagai kekuatan gaib yang bersumber pada animisme dan dinamisme merupakan perbuatan musyrik dan merusak akidah, sehingga tidak bisa ditoleransi sama sekali. Kedua, sikap yang menerima tanpa reserve, ini dari kalangan awam yang tidak begitu paham Islam, tetapi mereka mendapatkan kemanfaatan dari tradisi tersebut, ini yang banyak diikuti masyarakat. Ketiga, sikap yang menghilangkan tradisi Jawa tetapi dengan cara persuasif dan bertahap. Islam disyiarkan melalui idiom lokal.
Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah Sulaiman Sulaiman
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.782 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.1037

Abstract

This article explores the thought of a local Sufism, Panglima Utar (Mukhtar bin Abdurrahim), originated from West Kotawaringin, CentralKalimantan. It focuses on the only manuscript written by him. The manuscript gives valuable information about the continuity of his thought and the established teaching of mysticism in Kalimantan since the 17th and 18th century. In this manuscript, he explains the position of a teacher towards sâlik, the form of wirid and dzikir (praying words), the final purpose as well as the teaching about how to understand Allah (ma‘rifah Allâh). The mysticism thoughts have a significant intellectual and spiritual line. The teachings found in Panglima Utar’s manuscript clearly shows that they are on the mainstream of mysticism thoughts in Indonesian archipelago.
Wayang Purwa Gagrag Banyumasan dan Peran Wali muh nurul huda; Kundharu Saddhono
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (281.774 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.1038

Abstract

This article discusses the differences of puppet styles and the role of Wali towards puppet performance. The Nine Wali used puppet performance as one of their media to diffuse Islam. In addition to entertainment, puppet was functioned as guidance and rules for human life. To eliminate its syirik aspects, the Wali changed its substantial form of the puppets in order not to look like human being. This descriptive qualitative research studied the differences between purwa gagrag Banyumasan puppet and the role of Wali. This research found that there are some differences in names, forms, characters, and equipment in purwa gagrag Banyumasan puppet and the puppet innovated by the Wali. Meanwhile, the role of Wali existed on the changes of form and meaning of the puppets.
Makna dan Fungsi Tradisi Samman Nor Hasan
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (145.475 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v15i1.1039

Abstract

This article explains Samman as a tarekat established by Syekh Abdul Karim Al-Samman. First, as a tarekat, Samman functions as a way to reach closeness (taqarrub) to Allah SWT through strict procedures and requirement. The analysis of this article reveals that Samman is considered as a religious tradition maintained by the society in spite of dynamics and even decrease of its present followers. Second, as a tradition, Samman is considered as social wealth the existence of which is always protected and conserved. The efforts to conserve the tradition are realized through inheriting its construction and modification. For that reason, transmitting the tradition to the next generation is a must, as theimportant element of a tradition is its transmission from one generation to the next generation. It this is not realized, the tradition will vanish.

Page 1 of 2 | Total Record : 11


Filter by Year

2017 2017


Filter By Issues
All Issue Vol. 23 No. 2 (2025): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 23 No. 1 (2025): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 22 No. 2 (2024): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 22 No. 1 (2024): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 21 No. 2 (2023): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 21 No. 1 (2023): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 20 No. 2 (2022): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 20 No 1 (2022): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 20 No. 1 (2022): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 19 No 2 (2021): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 19 No 1 (2021): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 18 No 2 (2020): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 18 No 1 (2020): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 17 No 2 (2019): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 17 No 1 (2019): IBDA: Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 16 No 2 (2018): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 16 No 1 (2018): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 2 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 15 No 1 (2017): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 2 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 1 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 13 No 2 (2015): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 13 No. 1 (2015): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 13 No 1 (2015): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 12 No 2 (2014): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 12 No 1 (2014): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 11 No 2 (2013): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 11 No 1 (2013): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 10 No 2 (2012): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 10 No 1 (2012): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 9 No 2 (2011): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 9 No 1 (2011): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya More Issue