Articles
112 Documents
Search results for
, issue
"Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016"
:
112 Documents
clear
KAJIAN TERHADAP KEPAILITAN NOTARIS DI INDONESIA
Etty Susilowati, Siti Mahmudah, Ryan Sanjaya*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (405.366 KB)
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam praktik notaris dapat dikenakan pengaturan kepailitan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Kepailitan. Notaris yang dinyatakan pailit dapat berkedudukan sebagai orang pribadi atau sebagai notaris yang menjalankan profesi atau jabatannya. Apabila notaris berkedudukan sebagai orang pribadi menyebabkan si pailit demi hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan, begitu pula hak untuk mengurusnya, sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Bagi debitor yang menjabat sebagai notaris, putusan pailit tersebut tidak hanya menyebabkan ia kehilangan hak untuk berbuat dan mengurus harta kekayaannya yang masuk dalam boedel pailit saja, tetapi lebih dari itu dapat menyebabkan ia diberhentikan dari jabatannya sebagai notaris.Tujuan Penelitian untuk mengetahui bagaimana pengaturan kepailitan debitor yang menjabat sebagai notaris, mengetahui akibat putusan pailit terhadap jabatan notaris sebagai debitor dan mengetahui masalah apa saja yang ada dalam proses pengajuan pemberhentian seorang notaris, yang sebagai orang pribadi telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Berdasarkan analisis kualitatif, dalam pengaturan kepailitan subjek hukum adalah orang pribadi atau badan hukum, sehingga jabatan notaris tidaklah dapat dipailitkan, apabila notaris tersebut dipailitkan diluar kewenangannya sebagai notaris maka notaris hanya berkedudukan sebagai pengusaha atau pebisnis saja tidak dalam jabatannya sebagai notaris. Akibat dari kepailitan terhadap debitor yang menjabat sebagai notaris, tidaklah menyebabkan ia diberhentikan dari jabatannya dengan tidak hormat sebagai notaris. Notaris pailit menurut Pasal 12 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu jika notaris tersebut dituntut ganti rugi oleh para pihak/penghadap, karena akta yang dibuat dihadapan/oleh notaris ternyata melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut. Belum adanya peraturan pelaksana yang jelas mengenai pemberhentian notaris yang dinyatakan pailit telah memberikan penafsiran yang berbeda-beda sehingga sulit untuk menentukan tolak ukuran yang tepat mengenai masalah tersebut.
PROBLEM YURIDIS PENERAPAN SANKSI PIDANA MATI TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
Pujiyono, A.M. Endah Sri Astuti, Prasetyo Budi W*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (597.133 KB)
Tindakan korupsi dimasukkan dalam kategori tindakan pidana yang sangat besar dan sangat merugikan bangsa dan negara dalam suatu wilayah. untuk mencegah semakin maraknya pelaku korupsi dibentuklah undang-undang korupsi dan sistem peradilannya mencantumkan pula hukuman terberat yaitu ancaman hukuman mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa kebijakan formulasi peraturan perundang-undangan mengenai pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu perubahan yang dilakukan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah perubahan penjelasan Pasal 2 ayat (2). Kelemahan substansi formulasi ini terlihat dari ketentuan mengenai pidana mati dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, hanya diatur dalam satu Pasal, yaitu Pasal 2 ayat (2) yaitu dalam keadaan tertentu yang masih multitafsir, secara structural vonis maksimal jarang dijatuhkan dalam suatu peradilan tindak pidana korupsi sehingga hal ini membuat koruptor tidak mendapatkan efek jera dan secara kultur adanya anggapan bahwa hukuman mati untuk tindak pidana korupsi akan memperburuk citra negara.
PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA PERUSAHAAN OTOBUS (PO) DALAM KECELAKAAN PENUMPANG
Achmad Busro, Dewi Hendrawati, Muhammad Faslukil Ilmidian Shabara*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (608.727 KB)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memberikan jawaban atas kurangnya aturan yang mengatur tentang lalu lintas dan akungtan jalan. Peraturan-peraturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mempunyai pengaruh terhadap mekanisme pengangkutan yang ada di Indonesia yaitu tentang kecelakaan kendaraan bermotor beserta tanggung jawabnya. Kecelakaan mobil bus dewasa ini sering terjadi dan mengakitkan banyak korban yang mengalami kerugian. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui tanggung jawab perdata perusahaan otobus dalam kecelakaan penumpang beserta ganti kerugian yang dilakukan perusahaan otobus dan perusahaan asuransi kepada korban kecelakaan.Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris, yaitu dengan mengadakan penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan data yang objektif yang disebut data primer. Penggunaan data primer juga dibantu dengan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian yaitu perusahaan otobus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami korban selama kerugian tersebut disebabkan oleh perusahaan otobus ataupun awak kendaraan mobil bus yang ditumpangi. Selain perusahaan otobus, perusahaan asuransi juga bertanggung jawab atas kerugian korban dikarenakan korban telah membayar premi asuransi yang dilakukan secara kolektif oleh perusahaan otobus bersamaan dengan pembayaran karcis perjalanan. Pada perusahaan otobus Sumber Group pembayaran ganti kerugian dilakukan kepada korban yang besarannya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perusahaan selama kerugian tersebut dikarenakan oleh awak kendaraan mobil bus dari Perusahaan Otobus Sumber Group. Sedangkan untuk perusahaan asuransi PT. Jasa Raharja pengajuan ganti kerugian harus dilakukan oleh koban sendiri yang besarannya telah ditetapkan berdasarkan peraturan yang berlaku. Akibat kecelakaan adalah kerugian yang dialami oleh penumpang, baik kerugian secara fisik maupun materiil, peraturan diatas dibuat untuk melindungi konsumen dari kerugian-kerugian yang tidak diinginkan. Untuk menghindari hal tersebut, perusahaan otobus diharapkan melakukan seleksi yang ketat dalam menrekrut pekerjanya karena tanggung jawab yang diemban sangatlah besar, yaitu mengangkut penumpang selamat sampai tujuan. Dengan adanya peraturan tersebut penumpang menjadi lebih tenang dalam melakukan perjalanan maupun pengangkutan karena telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Perusahaan asuransi juga melakukan ganti rugi kepada penumpang dengan besaran yang dianggap cukup berdasarkan peraturan yang berlaku. Apabila perusahaan otobus tidak melakukan ganti kerugian maka perusahaan otobus tersebut beresiko untuk dibekukan oleh pemerintah dan tidak dapat beroperasi lagi.
PEMBERDAYAAN KONSUMEN DALAM MENCEGAH PEREDARAN OBAT PALSU DI MASYARAKAT
Bambang Eko Turisno, Aminah, Tika Ayu Yulianingsih*,
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (609.238 KB)
Obat memiliki pengaruh besar dalam tubuh manusia. Obat dapat bersifat sebagai obat dan juga dapat bersifat sebagai racun. Obat harus diproduksi dan diedarkan oleh pihak yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam memproduksi maupun mendistribusikan obat. Peredaran obat di masyarakat telah diatur dan diawasi dalam suatu jalur peredaran resmi dari industri farmasi, Pedagang Besar Farmasi (PBF) hingga ke sarana pelayanan farmasi. Namun dalam kenyataannya masih beredar obat palsu di masyarakat. Terjadinya peredaran obat palsu disebabkan oleh faktor-faktor dari pelaku usaha, konsumen dan pengawasan peredaran obat. Sesuai UUPK, konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi obat. Dalam usaha melindungi konsumen, perlu dilakukan upaya pemberdayaan konsumen untuk mencegah beredarnya obat palsu. Pemberdayaan konsumen dapat dilakukan dengan pembuatan dan pelaksanaan peraturan hukum yang mengakui hak-hak konsumen, peraturan yang mengatur kewajiban pelaku usaha dari proses produksi sampai ke tangan konsumen, serta adanya pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dalam berbagai bentuk. Dengan adanya pemberdayaan konsumen, dapat menciptakan konsumen yang mandiri dan teliti dalam mengkonsumsi obat.
PEMBERIAN PIDANA OLEH HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI (STUDI KASUS : PUTUSAN NOMOR 410/PID. B/2014/PN. BGL.)
Lukmen Yogie Sinaga*, A.M. Endah Sri Astuti, Bambang Dwi Baskoro
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (782.109 KB)
Perkosaan merupakan kejahatan dengan akibat yang tidak hanya dialami korban sendiri, akibatnya turut dirasakan juga oleh keluarga korban dan masyarakat umum. Kurun waktu belakangan perkosaan yang terjadi di Indonesia termasuk dalam statistik angka yang tinggi. Polisi terlepas dari dirinya sebagai individu, merupakan teladan dan panutan dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi sebaliknya dalam kasus ini, seorang oknum polisi justru melakukan pelanggaran hukum yaitu tindak pidana perkosaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum di pengadilan dan peranan visum et repertum dalam membuktikan tindak pidana perkosaan serta pertimbangan hakim dalam dalam Putusan Nomor 410/Pid.B/2014/PN.Bgl. dengan terdakwa oknum polisi. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif.Hasil yang diperoleh dalam penulisan hukum ini yaitu dalam kasus Putusan Nomor 410/Pid.B/2014/PN.Bgl. Majelis Hakim berpendapat bahwa “memaksa seorang wanita bersetubuh” terbukti dalam persidangan. Alat bukti berupa visum et repertum Nomor VER/04/IX/2014 . Pertimbangan Majelis Hakim bahwa Myxe Zul Janova Als Janov Bin Medianto merupakan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang seharusnya berkewajiban sebagai pengayom dan pelindung dalam masyarakat tetapi dalam kenyataanya malah melakukan tindak pidana perkosaan, menjadikan hal tersebut sebagai hal yang memberatkan bagi terdakwa. Terdakwa dihukum pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan.
ASPEK HUKUM PENERAPAN ASAS KEKUATAN MENGIKAT DALAM KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA
Lalang Tri Utomo*, Achmad Busro, Ery Agus Priyono
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1045.189 KB)
Berlimpahnya sumber daya alam tidak bisa dipastikan kesejahteraan dan tatalaksana pemerintahan semakin membaik. Seharusnya dengan melimpahnya sumber daya alam, bisa digunakan untuk mensejahterakan rayat dan menjadikan negara mandiri. Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak wajib dikuasai oleh negara, sehingga negara berdaulat mutlak atas sumber daya alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan Badan Pelaksana maupun SKK Migas pada kontrak bagi hasil dan untuk mengetahui penerapan asas kekuatan mengikat dalam kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi di Indonesia berdasar undang-undang yang berlaku. Hasil pembahasan dari penelitian ini adalah kontrak bagi hasil di Indonesia telah memenuhi syarat sahnya kontrak dan badan pelaksana maupun SKK Migas sebenarnya hanya memiliki fungsi pengawasan dan kontrol, bukan terlibat langsung dalam kontrak yang akibatnya kedaulatan negara atas minyak dan gas bumi menjadi berkurang. Kemudian beberapa ketentuan dalam UU No. 22 tahun 2001 bertentangan dengan amanat konstitusi, sehingga bisa berpengaruh terhadap isi kontrak. Maka dari itu, perlu adanya negosiasi ulang terhadap kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi, asas pacta sund servanda yang di dalamnya terkandung asas kesucian kontrak dapat dikesampingkan dengan berdasar kepada prinsip kedaulatan permanen negara atas penguasaan sumber daya alamnya yang mana sudah diakui secara internasional.
CHOICE OF FORUM PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KLAUSULA AKAD PERBANKAN SYARIAH
Raditya Tatag Sidiartama*, Ro’fah Setyowati, Muhyidin
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (283.779 KB)
Adanya pelembagaan prinsip syariah sebagai satu prinsip yang melandasi sistem operasional kegiatan usaha perbankan merupakan satu bentuk perkembangan yang cukup signifikan dalam kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip syariah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai. Dalam Pasal 55 Undang-Undang tersebut timbul permasalahan mengenai pilihan forum (choice of forum) dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Dalam Pasal 55 ayat (1) penyelesaian sengketa merupakan kewenangan dari Pengadilan Agama, namun dalam ayat (2) justru memberikan kewenangan yang sama untuk menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Negeri. Penjelasan Pasal 55 tersebut menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan hal ini bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945, sehingga tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Adanya ketidakpastian hukum tersebut yang kemudian menimbulkan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 memberikan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah di mana memberikan kewenangan absolut kepada Pengadilan Agama.
PERLINDUNGAN NASABAH BANK ATAS KASUS PEMBOBOLAN DANA NASABAH OLEH PEGAWAI BANK BRI CABANG TAMINI SQUARE
M. Duggy Nakitama Bennef *, Budiharto, Siti Mahmudah
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (600.872 KB)
Bank dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, dan juga harus menjaga kesehatan bank agar tetap terjaga terus demi kepentingan masyarakat pada umumnya dan bagi para nasabah penyimpan dana. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Menurut ketentuan Pasal 2 UU No. 10 Tahun 1998, dikemukakan bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang menekankan pada peraturan-peraturan yang berlaku, dengan melakukan penelaahan kaidah-kaidah hukum yang berlaku berkenaan dengan masalah yang diteliti. Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Metode pengumpulan data yang dilakukan penulis dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa : Perlindungan hukum diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yaitu : Pasal 2 , Pasal 29 ayat (2). Perlindungan Terhadap Nasabah Bank Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu Pasal 4. Perlindungan Terhadap Nasabah Bank Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Yaitu terdapat dalam : Pasal 49 ayat (1). Pertanggungjawaban kasus penyalahgunaan dana yang dilakukan oleh pegawai bank BRI dapat dilimpahkan kepada bank dengan ketentuan : Pasal 1365KUHPerdata, Pasal 1366 KUHPerdata, Pasal 1367 KUHPerdata.
PERLINDUNGAN SATWA LANGKA DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF CONVENTION ON INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF FLORA AND FAUNA (CITES)
Yoshua Aristides*, Agus Purnomo, Fx. Adji Samekto
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (794.703 KB)
Banyaknya dan tidak terkendalinya masalah-masalah perdagangan bebas satwa langka, sebuah organisasi yang memberikan perlindungan terhadap satwa yang diberi nama International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) tidak tinggal diam. Dari gagasan ini maka ditandatanganilah CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yaitu sebuah perjanjian Internasional yang terkait dengan perlindungan dan perdagangan Internasional spesies satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah. Perdagangan satwa langka secara ilegal mengancam keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. CITES secara tidak langsung menjadi pertimbangan untuk membuat aturan nasional. Maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta melalui BKSDA sebagai pelaksana tugas dalam tugasmelakukan konservasi dan menanggulangi perdagangan satwa langka ilegal.
PELAKSANAAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI UNIT PPA (PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK) SATRESKRIM POLRES NGAWI JAWA TIMUR
Mahendra Brahma Diputra*, Pujiyono, Nur Rochaeti
Diponegoro Law Journal Vol 5, No 4 (2016): Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (698.033 KB)
Penanganan anak yang berkonflik dengan hukum sejak Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 berlaku dilaksanakan dengan proses diversi. Proses diversi yang bertujuan menghindarkan anak dari efek buruk peradilan pidana wajib diselenggarakan pada setiap tingkat pemeriksaan, termasuk penyidikan di kepolisian. Penelitian dilaksanakan menggunakan pendekatan yuridis-empiris yang meneliti kebijakan hukum diversi pada Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dilanjutkan pengamatan pelaksanaan diversi dan hambatan pelaksanaan diversi di kepolisian, yaitu di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Satreskrim Polres Ngawi Jawa Timur. Analisis data deskriptif menunjukkan bahwa, a.Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur kebijakan hukum diversi dengan ketentuan kewajiban penyelenggaraan dan tata cara penyelenggaraan diversi; b.proses diversi dilaksanakan melalui musyawarah; c.hambatan pelaksanaan diversi adalah kinerja kordinasi antar lembaga terkait diversi belum optimal, pihak korban belum memahami diversi, pihak korban menolak memaafkan anak, serta kualitas penyidik anak yang belum mumpuni. Rekomendasi / saran terhadap hasil penelitian tersebut adalah perlu diadakan pelatihan internal Polres Ngawi tentang teknis pelaksanaan diversi, optimalisasi kinerja kordinasi antar lembaga terkait diversi, pemanggilan terpisah pihak anak dan pihak korban sebelum musyawarah diversi, serta penyelenggaraan musyawarah diversi dalam suasana kondusif.