cover
Contact Name
Shita Dewi
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jkki.fk@ugm.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia
ISSN : 2089 2624     EISSN : 2620 4703     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 4 (2014)" : 8 Documents clear
Integrasi bidan praktek swasta dalam program kesehatan ibu dan anak puskesmas: studi kasus implementasi jampersal di pelayanan primer Veronika Evita Setianingrum; Mubasysyir Hasanbasri; Mohammad Hakimi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (231.039 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v3i4.25531

Abstract

Pendahuluan: Pemerintah Indonesia meluncurkan program Jampersal pada awal tahun2011. Program ini harus dilaksanakan oleh Puskesmas dan sektoe swasta. Penelitian ini menilai tentang puskesmas yang melakukan inovasi dalam Pelaksanaan Jampersal yang berdasar pada kebutuhan pasien, dimana puskesmas memastikan bahwa ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal yang berkualitas dengan cara pelayanan yang terintegrasi.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan dengan desain studi kasus. Wwancara mendalam dilaakukan kepada 16 responden, termasuk pejabat kabupaten yang mengampu program Jampersal.Hasil:Puskesmas Moyudan melakukan integrasi pelayanan antenatal care dengan bidan swasta dalam bentuk paket pelayanan yang tidak dipungut biaya apapun. Sebagian besar peserta Jampersal merasa puas dengan pelayanan antenatal care yang terintegrasi ini, namun baru 46,5% ibu hamil di wilayah Moyudan yang sudah memanfaatkan pelayanan ini. Kesimpulan:Meskipun tingkat pemanfaatan program ini baru 46,5% , namun dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi dalam pelayanan antenatal. Peran bidan swasta yaitu merujuk ibu hamil peserta Jampersal ke puskesmas untuk mendapatkan paket pelayanann antenatal care dan mengirimkan laporan pelayanan kesehatan ibu dan anak ke puskesmas setiap bulan.Kata kunci: Jampersal, integrasi pelayanan kesehatan, antenatal care, puskesmas, bidan praktek mandiri
Analisis Penetapan Prioritas Program Upaya Kesehatan Dasar (Puskesmas) pada Tingkat Pemerintah Daerah (Studi Eksploratif di Kota Bogor Tahun 2013) Riastuti Kusuma Wardani
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.785 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36387

Abstract

Background: A policy is a set of conceptual proposed action in order to achieve certain goals. Some health indicators in Bogor city government has increased but some has decreased or only slightly increased. Method: The study is qualitative methods, and the informants are District health office, Puskesmas, Regional Secretary of Bogor City and Regional Representative Council of Bogor City. We cross check the data by conducting document review and observation . Results: The main actors in setting program priorities are Bogor District health office using evidence-based policy . Support is dominated by an elite group of executive government which is the City Health Office . The elite in legislative also has major effect in the form of budget determination . Overview of the process reveals that any identified problem and issues of the health center depends on the areas of concern. The process of prioritization of primary health care programs in the health center in the city of Bogor using the top-down approach. Furthermore, the Bogor district health office is also coordinating and disseminate at the level of higher government organizers. Prioritization output of primary health care programs in health centers vary in accordance with their respective problems working areas. The program remains in accordance with the basic policy of mandatory basic health centers to run the affairs of primary health care . Conclusions: human resources, support and demand is the necessary input to the priority-setting process, howoever a larger portion of health office still affect prioritization. Bottom- up approach needs to be done on the basis of the data. Kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yang diusulkan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Beberapa indikator pembangunan kesehatan pemerintah daerah Kota Bogor mengalami peningkatan namun ada pula yang mengalami penurunan atau meningkat tetapi tidak signifikan. Metode: metode kualitatif dengan Informan ; Dinkes Kota, Puskesmas, Sekda Kota Bogor, DPRD Kota Bogor. Cross cek data dengan melakukan telaah dokumen dan observasi. Hasil: Input;aktor utama dalam penetapan prioritas program adalah Dinas Kesehatan Kota Bogor dengan evidence base policy. Dukungan didominasi oleh kelompok elit eksekutif pemerintah adalah Dinas Kesehatan Kota. Kelompok elit legislative juga memberikan pengaruh, dalam bentuk penetapan anggaran. Gambaran proses : Identifikasi masalah dan isu tergantung pada permasalahan Puskesmas. Proses penetapan prioritas program pelayanan kesehatan dasar pada Puskesmas di Kota Bogor menggunakan metode top down. Selanjutnya dinas pula yang melakukan koordinasi dan sosialisasi pada level penyelenggara pemerintahan yang lebih tinggi. Output penetapan prioritas program pelayanan kesehatan dasar pada Puskesmas berbeda-beda sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah kerjanya. Program tetap sesuai dengan kebijakan dasar Puskesmas menjalankan urusan wajibnya primary health care. Kesimpulan: SDM, dukungan dan tuntutan merupakan masukan bagi proses penetapan prioritas dengan porsi Dinkes lebih besar mempengaruhi penetapan prioritas. Pendekatan bottom up perlu dilakukan dengan berdasar pada data.
Analisis Lingkungan Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Kalimantan Barat sebagai Dasar Pemilihan Strategi dalam Menghadapi Sistem Jaminan Sosial Nasional Theresia Tatie Marksriri; Laksono Trisnantoro; Niluh P E Andayani
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.389 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36389

Abstract

Background: Universal Health Coverage known as Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) started at 1st January 2014 managed by the Social Security Administrative Bodies (BPJS). Bethesda General Hospital is a class C hospital that located in Bengkayang Regency, West Borneo. This hospital does not have any strategic plan which requires an analysis to map the issues needed to join in JKN system. The analysis can become a recommendation for the hospital strategic plan. Objective: To describe the analysis of the health insurance for patient service unit in the hospital and giving a recommendation for the hospital strategic planning. Method: The study design is a case study with a single-case embedded design. The informant are Head Regency, Health Office, Hospital Directors of other hospital, Bethesda General Hospital worker, Bethesda Serukam Foundation and World Venture Mission. The data taken from observation, in-depth interview, FGD and secondary data. Result: The hospital has the opportunities that come from government support, cooperation with other surrounding hospital which helped the hospital to gain a good reputation and many patients with UHC. The threats are the unclear of UHC socialization, and market competition with other surrounding hospitals and hospital tendency to accept severe diagnosis. The hospital strengths are equity service in organization culture, teamwork and support from mission/donor. The weaknesses are lack of quality and budget control, no clinical pathway, the health information system is not running well, lack of human resources and competence, also unclear organization structure. Conclusion and recommendation: The SWOT resulted from hospital environment helps to formulate the strategy toward universal health coverage. The general strategic suggested is the growth strategy in healthcare services. Latar belakang: Sistem Jaminan Sosial Nasional mulai diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sejak 01 Januari 2014. RSU Bethesda Serukam adalah RS kelas C, terletak di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. RSUB belum memiliki rencana strategis. Dibutuhkan suatu analisis lingkungan yang dapat memetakan isu-isu yang akan dihadapi RS dalam menyambut era BPJS. Tujuan: Mendeskripsikan dan menganalisis situasi lingkungan unit pelayanan pasien Askes dan Jamkesmas RSUBS, serta memberikan rekomendasi strategi untuk penyusunan rencana strategi. Metode: Jenis penelitian adalah studi kasus dengan desain kasus tunggal terjalin. Responden penelitian adalah Bupati Bengkayang, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkayang, Direktur RS sekitar RSUBS, pejabat struktural dan fungsional RSUBS, perwakilan Yayasan Bethesda dan misi World Venture. Sumber data dari observasi, wawancara mendalam dan pedoman diskusi kelompok terarah serta data sekunder rumah sakit. Hasil dan pembahasan: Peluang RSUBS adalah dukungan pemerintah kabupaten, kerjasama dengan RS sekitar, nama RS yang sudah dikenal baik dan banyak pasien berobat dengan JKN. Ancamannya adalah sosialisasi pelayanan JKN yang belum jelas, serta persaingan dengan RS sekitar serta kecenderungan RS menerima pasien sulit. Kekuatan RSUBS adalah budaya RS yang tidak membeda-bedakan pelayanan, kerjasama tim dan dukungan donatur misi. Kelemahannya adalah kurangnya kendali mutu dan biaya, belum ada clinical pathway, SIRS belum berjalan baik, kurangnya SDM dan struktur organisasi yang tidak jelas. Kesimpulan dan saran: Analisis lingkungan rumah sakit menghasilkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman untuk formulasi strategi dalam menghadapi SJSN. Strategi umum yang tepat untuk RSUBS dalam menghadapi perubahan SJSN adalah strategi pertumbuhan dalam kegiatan pelayanan kesehatan. 
Catatan Akhir Tahun Sektor Kesehatan Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.008 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36384

Abstract

Harapan Indonesia untuk mencapai jaminan kesehatan semesta pada tahun 2019 memerlukan upaya untuk membangun lebih lanjut berdasarkan kemajuan sektor kesehatan Indonesia saat ini dan membuat perbaikan di tiga dimensi utama yang umum digunakan dalam system jaminan kesehatan semesta, yaitu cakupan populasi, cakupan pelayan- an, dan cakupan biaya. Tujuannya untuk memasti- kan bahwa seluruh masyarakat Indonesia dapat menggunakan pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan layanan kesehatan paliatif yang mereka butuhkan, dan bahwa layanan ini memenuhi kualitas tertentu yang efektif, dan juga memastikan bahwa penggunaan layanan ini tidak mengakibatkan pengguna mengalami kesulitan keuangan. Penye- diaan layanan dan kesiapan sisi penawaran adalah elemen sistem kesehatan mendasar dan penting untuk pada akhirnya meningkatkan luaran kesehatan dan mendukung pengembangan sumber daya manu- sia, hal-hal yang merupakan pendorong utama untuk pertumbuhan ekonomi.Cakupan asuransi kesehatan di Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu dari 27% pada tahun 2004, menjadi 65% pada tahun 2012. Di sisi pena- waran, jumlah rumah sakit naik hampir dua kalilipat, yaitu dari 1,246 pada tahun 2004, menjadi sekitar 2,228 pada tahun 2013, dan lebih dari setengahnya adalah swasta. Jumlahpuskesmas juga meningkat dari 7.550 pada tahun 2004, menjadi 9.654 pada ta- hun 2013, dan sebagai hasilnya ketersediaan tempat tidur rawat inap per kapita meningkat dari 7,0 menja- di 12,6 per 10.000 penduduk. Tingkat pemanfaat- an rawat jalan dan rawat inap telah terus meningkat, terutama di kelompok 40% terbawah dari populasi, dan hal ini semakin terjadi di fasilitas swasta. Ke- siapan pelayanan umum di fasilitas kesehatan telah menunjukkan peningkatan. Sekarang lebih dari 90% dari puskesmas telah memiliki listrik, kamar konsul- tasi pasien dengan privasi wicara dan privasi visual, timbangan untuk orang dewasa, stetoskop, alat te- kanan darah, alat suntik sekali pakai/auto-disable, solusi rehidrasi oral, dan parasetamol. Ketersediaan layanan khusus juga telah meningkat, karena hampir semua puskesmas, 65% dari klinik swasta, dan sekitar 60% dari posyandu menyediakan layanan antenatal. Sekitar 74% dari puskesmas menyedia- kan layanan KB, 86% menyediakan layanan imuni- sasi, 66% menyediakan layanan preventif dan kuratif untuk anak, 76% menyediakan layanan diabetes, 73% menyediakan layanan penyakit pernapasan kro- nis, dan sekitar 81% menyediakan layanan kardio- vaskular.Namun, seperti kita ketahui, Indonesia tidak “on- track” untuk beberapa indikator MDG. Selain itu, Indo- nesia terus memperlihatkanbesarnya kesenjangan geografis dan kesenjangan luaran kesehatan yang terkait dengan kesenjangan pendapatan. Misalnya, data provinsi menunjukkan kisaran kesenjangan dua sampai tiga kali lipat dalam angka kematian bayi. Beberapa peningkatan yang telah dialami Indonesia ternyata masih berada di bawah standar. Misalnya, rasio kepadatan tempat tidur yang saat ini 12,6 per 10.000 penduduk masih jauh di bawah rekomendasi dan standar WHO yaitu 25 per 10.000. Maldistribusi juga merupakan masalah, ditunjukkan oleh adanya perbedaan rasio kepadatan tempat tidur antar provinsi hingga empat kali lipat. Meskipun di Indonesia jarak rata-rata ke fasilitas kesehatan hanya 5 km, namun di provinsi-provinsi seperti Papua Barat, Papua, dan Maluku jarak rata-ratanyaternyata jauh lebih tinggi, yaitu lebih dari 30 km. Sementara itu, lebih dari 18% penduduk Indonesia membutuhkanwaktu lebih dari satu jam untuk mencapai rumah sakit umum (meng- gunakan sarana transportasi apa pun). Walau pun akses ke puskesmas lebih mudah karena hanya 2,4% dari populasi yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk mencapai puskesmas, tetapi pro- porsi dari populasi secara nasional yang menghadapi tantangan waktu tempuh ini jauh lebih tinggi di Papua (27,9%), Nusa Tenggara Timur (10,9%), dan Kaliman- tan Barat (10,9% ). Tingkat pemanfaatan masih tetap sangat rendah menurut standar global dan masih ada kesenjangan besar antar provinsi. Tingkat pe- manfaatan rawat inap di Indonesia yaitu 1,9% adalah kurang dari seperlima dari patokan yang diusulkan WHO,yaitu 10 kepulangan pasien (discharges) per 100 penduduk, dan ada perbedaan antar provinsi hingga lima kali lipat dalam hal ini. Kesiapan layanan umum puskesmas masih lemah di banyak dimensi dan ada variasi yang luasantar provinsi, dengan skor yang lebih rendah terutama di beberapa provinsi-pro- vinsi bagian timur Indonesia seperti Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara. Akses puskesmas ke komunikasi rujukan penting dan sistem transportasi sangat lemah. Banyak tan- tangan terkait dengan ketersediaan layanan khusus dan kesiapan layanan khusus di puskesmas untuk beberapa kategori pelayanan kesehatan, misalnya sehubungan dengan pelayanan keluarga berencana, pelayanan antenatal, pelayanan kebidanan dasar, imunisasi rutin, malaria, TBC, diabetes, bedah dasar, transfusi darah, dan bedah komprehensif.Hal-hal di atas menjadi tantangan saat ini dan ke depan, khususnya karena bahkan di era pembia- yaan jaminan kesehatan semesta pun beberapa fakta mendasar tidak berubah. Pada tahun 2012, angka belanja kesehatan publik di semua tingkat pemerintahan hanya sekitar 1,2% dari PDB. Ini ada- lah rasio angka kesehatan belanja terhadap PDB kelima terendah dunia. Alokasi untuk kesehatan biasanya kurang dari 5% dari anggaran pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir, jauh lebih rendah dibandingkan alokasi pendidikan dan hanya hampir sepertiga dari alokasi subsidi BBM. Dari perspektif tata kelola dan manajemen keuangan publik, desentralisasi kesehatan diikuti oleh arus pembiayaan kesehatan menjadi jauh lebih kompleks dan sulit untuk dikelola, ditandai dengan adanya berbagai saluran pembiayaan pemerintah vertikal, masing-masing dengan aturan dan prosedur yang berbeda. Pengawasan pemerintah terhadap sektor swasta tetap terbatas meskipun jumlah penyedia swasta terus meningkat, dan hanya sedikit yang diketahui mengenai jumlah dan distribusi layanan swasta, serta cakupan dan kualitas layanan mereka Edisi kali ini menyuguhkan beberapa potret dari beberapa tantangan di sektor kesehatan yang masih tersisa untuk dibenahi. Beberapa artikel menyoroti mengenai tantangan di sisi penawan, misalnya me- ngenai ketersediaan tenaga spesialis di rumah sakit, dan bagaimana dampak ketidaksiapan fasilitas kesehatan terhadap pembiayaan kesehatan di bawah system jaminan kesehatan semesta. Selain itu, ada pula potensi fraud yang perlu diwaspadai dalam hal pembiayaan jaminan kesehatan semesta. Beberapa artikel lain menyoroti bahwa proses membuat dan menjalankan kebijakan untuk menjalankan program kesehatan tidak selalu mudah dan belum optimal. Artikel lain membahas bagaimana unit pelayanan kesehatan swasta pun memiliki potensi peran yang besar dalam system jaminan kesehatan semesta dan perlu mendapat dukungan pemerintah.Tahun 2014 dimulai dengan diluncurkannya sys- tem Jaminan Kesehatan Nasional yang menerbitkan harapan baru. Mari kita tutup tahun 2014 dengan harapan pula bahwa di tahun-tahun selanjutnya In- donesia di bawah pemerintahan yang baru terus membangun keberhasilan sektor kesehatan dan berhasil mengatasi satu persatu tantangan yang masih tersisa. Selamat membaca. Shita DewiPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Analisis Ketersediaan Fasilitas dan Pembiayaan Kesehatan pada Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Provinsi Bengkulu Yandrizal Yandrizal; Hendarin Hendarin; Desri Suryani
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.832 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36390

Abstract

The Background: National health assurance program aims to facilitate community access to quality health services. Health financing toward Universal Coverage is a good breakthrough but it can cause negative effects in the form of injustice. Availability of health facilities, health care personel and geographical condition and the broad population dispersion can magnify the problem of inequities between subdistricts and district/city in Bengkulu province, making it appear unequal in health services and financing. Availability of health facilities with inappropriate amount of power impacting the financing needs of the social security in health facilities in the form of capitation and INA-CBG package, and equitable financing analysis needs to be done in the implementation of the national health assurance policy. The purpose: Assesing the availability of facilities and even distribution of financing health and also to equalize of health facilities and drawing up scenarios of possibility of the future in the implementation of the national health insurance in the Province of Bengkulu. Method: This research uses the formative analysis methods designed to assess how the program/policy is being implemented and how it is thought to modify and develop to bring an improvement. Results: The ratio of first-level health facilities (FKTP), which is likely a general practitioner, according to the road map leading to JKN 2012-2019 should achieve the ratio of general practitioners 1: 3000 inhabitants.Currently the average in Bengkulu is 1 per 7.715 inhabitants, thus the need for first- level health facilities in the province of Bengkulu is 590 units. Beginning in 2014, 229 is available until the year 2019, and is still lacking as much as 361 units. Clinics with magnitudes capitation of Rp. 3,000 up to Rp. 4500 is 51.57% and while capitation of Rp. 6,000 is 13.3%. Capitation quantity is uneven financing that have an impact especially on the health of urban areas due to lack of resources. The value of the contract for one year for the number of participants who choose Clinics as FKTP is 763.165 people which is 82,03% of the maximum value of capitation Rp. 6,000, or less Rp9,87M. The average rate on the 7 (seven) Regional public hospitals district and Province for outpatient is between Rp. 150.000 s. d Rp. 350,000 and hospitalization is Rp. 1.000.000,-until Rp. s. 3.700.000,-, compared to the rates based on regulation of the Minister of health RI Number 69 by 2013, the average price of outpatient service and inpatient medical action is very simple and only for mild categories of diseases. Shortage of specialist doctors in Hospital causes unabsorbed INA-CBG package for major treatment action and severe categories of disease. Financial support the Government district/city and Province in the form of program jamkesda 2014 is IDR 38,36 M to pay for the capitation for the poor who are not covered by central government funding and to ensure treatment for kabupaten/ kota that did not cooperate with the BPJS. Incentive specialist doctor/resident is between IDR10 million to 30 million per month, especially the big four specialists from the local government district is another inequalities that is burdensome to the local government; The fulfillment of resources especially General practitioners and dentists in clinics is difficult to materialize given that CPNS (civil servant) formation are very small; the County Government could offer contracts but they can not afford it and it is not worth the lack of capitation. While the fulfillment specialist doctors in Hospitals is also difficult because there is lack of enthusiasm to become specialist CPNS , and the Country Government could not affort contract for them. Fulfillment needs efforts in health facilities first-level, general practitioners, dentists and specialists required a revision of the regulation of the Minister of health no. 69 year 2013 by observing the rate of capitation and INA-CBG¡¯s package for underserved areas away from urban center, or with small population and vast distribution of people. Conclusion: First-level health facilities and the number of personnel in clinics and specialist doctors in the hospital are still lacking, impacting the small capitation and the claim is limited to a minor treatment and mild disease. Regulation of the Minister of health RI Number 69 by 2013 on Standard Rate of health services need to pay attention to differences in geographical situation where Clinics and public hospitals are in the region. Latar Belakang: Program Jaminan Kesehatan Nasional bertujuan mempermudah masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan yang bermutu. Pembiayaan kesehatan menuju Universal Coverage merupakan terobosan yang baik tetapi dapat menimbulkan dampak negatif berupa ketidakadilan. Ketidamerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi geografis serta penyebaran penduduk yang luas dapat memperbesar masalah ketidakadilan antar kecamatan dan kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu, sehingga muncul ketidakmerataan pelayanan dan pembiayaan kesehatan. Ketersedian fasilitas kesehatan dengan jumlah tenaga yang tidak sesuai kebutuhan berdampak pada pembiayaan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dalam bentuk kapitasi dan Paket INA-CBG¡¯s, maka perlu dilakukan analisis pemerataan pembiayaan pada kebijakan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Tujuan: Mengetahui ketersediaan fasilitas dan pemerataan pembiayaan kesehatan serta upaya pemerataan fasilitas kesehatan dan menyusun skenario kemungkinan masa mendatang dalam pelaksanaan jaminan kesehatan nasional di Provinsi Bengkulu. Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan metode analisis formatif yang dirancang untuk menilai bagaimana program/kebijakan sedang diimplementasikan dan bagaimana pemikiran untuk memodifikasi serta mengembangkan sehingga membawa perbaikan. Hasil: Rasio fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang disamakan satu dokter umum, Peta Jalan Menuju JKN 2012- 2019 rasio dokter umum 1 : 3000 penduduk, maka rata-rata 1 per 7.715 penduduk, kebutuhan fasilitas kesehatan tingkat pertama di Provinsi Bengkulu sebanyak 590 unit. Awal tahun 2014 yang tersedia 229 sampai tahun 2019 masih kurang sebanyak 361 unit. Puskesmas dengan besaran kapitasi Rp3000,00 s.d Rp4.500,00 sebanyak 51,57% dan Rp6.000,00 sebanyak 13,3%. Besaran kapitasi berdampak tidak merata pembiayaan terutama di Puskesmas yang jauh dari perkotaan karena kekurangan tenaga. Nilai kontrak selama satu tahun jumlah peserta yang memilih Puskesmas sebagai FKTP sebanyak 763.165 jiwa sebesar 82,03% dari nilai maksimal kapitasi Rp6.000,00 atau kurang 9,87M. Tarif rerata pada tujuh Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten dan Provinsi untuk rawat jalan antara Rp. 150.000 s.d Rp640.000,00 dan rawat inap Rp1.000.000,00 s.d Rp3.700.000,00 dibandingkan tarif berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 69 Tahun 2013, rata-rata tarif pelayanan rawat jalan dan rawat inap merupakan tarif tindakan medis sangat sederhana dan penyakit- penyakit katagori ringan. Kekurangan dokter spesialis di RSUD menyebabkan tidak terserap paket INA-CB¡¯s untuk tindakan besar dan penyakit katagori berat. Dukungan dana Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi dalam bentuk program jamkesda tahun 2014 sebesar 38,36 M untuk membayar kapitasi masyarakat miskin bukan penerima bantuan iuran dan menjamin pengobatan bagi kabupaten/kota yang tidak bekerja sama dengan BPJS. Insentif dokter spesialis/residen antara 10 juta s.d 30 juta per bulan terutama spesialis empat besar dari pemerintah daerah kabupaten merupakan ketidakadilan pembiayaan yang menjadi beban daerah. Pemenuhan tenaga terutama dokter umum, dokter gigi di puskesmas sulit terwujud mengingat formasi CPNS sangat kecil, apabila dilakukan kontrak Pemerintah Kabupaten tidak mampu dan tidak sebanding dengan kekurangan kapitasi. Sedangkan pemenuhan dokter spesialis di RSUD juga sulit terwujud karena peminat CPNS untuk dokter spesialis tidak ada dan apabila dilakukan kontrak sebesar insentif Pemerintah Kabupaten tidak mampu. Upaya pemenuhan kebutuhan fasilitas kesehatan tingkat pertama, dokter umum, dokter gigi dan spesialis diperlukan revisi Peraturan Menteri Kesehatan No.69 tahun 2013 tentang tarif dengan memperhatikan kapitasi dan paket INA-CBG¡¯s di daerah tidak diminati atau jauh dari perkotaan, jumlah penduduk kecil serta sebaran yang luas. Kesimpulan. Fasilitas kesehatan tingkat pertama dan jumlah tenaga di puskesmas dan dokter spesialis di rumah sakit masih kurang, berdampak kecilnya kapitasi dan klaim terbatas pada tindakan kecil serta penyakit yang ringan. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan perlu memperhatikan geografis dimana Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah.
Pengaruh Potensi Fraud dalam Penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional terhadap Mutu Layanan di RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang Ika Nurfarida
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.329 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36385

Abstract

Latar belakang: Sistem Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh pemerintah sebagai upaya untuk menyediakan layanan kesehatan yang terjangkau dan bermutu, tak terkecuali layanan kesehatan jiwa. Dalam pelaksanaannya diduga terdapat potensi fraud yang dapat merugikan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan terhadap potensi fraud di sektor kesehatan sudah mulai ditargetkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, karena potensi kerugian yang diakibatkan cukup besar. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh potensi fraud dalam penerapan sistem jaminan kesehatan nasional terhadap mutu layanan di rumah sakit jiwa. Metode: Disain penelitian cross-sectional dengan sampel pasien skizofrenia rawat inap di RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang selama penerapan sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Hasil: Potensi fraud yang mungkin terjadi di rumah sakit jiwa antara lain upaya memperpanjang atau memperpendek lama perawatan (AvLOS), melakukan tagihan fiktif atas pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan, dan pemondokan pasien atas indikasi yang tidak jelas. Hal ini didukung oleh data yang didapatkan bahwa terdapat penurunan AvLOS pada saat penerapan sistem jaminan kesehatan dengan sistem pembayaran per paket diagnosis, namun disertai peningkatan angka re-hospitalisasi sebesar lima kali lipat. Hal tersebut menunjukkan indikasi bahwa potensi fraud berpengaruh terhadap mutu luaran pasien rumah sakit jiwa. Kesimpulan: Terdapat potensi fraud dalam penerapan sistem jaminan kesehatan nasional yang mempengaruhi mutu layanan di rumah sakit jiwa. Background: The National Health Insurance System organized by the government as an effort to provide affordable and excellent health care, including for mental health services. In practice there is a potential of fraud that allegedly could be detrimental either directly or indirectly. Supervision of the potential fraud in the health sector has begun to catch the attention of the Corruption Eradication Commission, because the potential losses caused could be enormous. Aim: To determine the effect of potential fraud in the implementation of the national health insurance system versus quality services in The Mental Hospital. Methods: This study was cross-sectional design. The sample of this study were schizophrenia patients in the inward services in dr. Radjiman Wediodiningrat Mental Hospital Lawang during implementation of the National Health Insurance system. Result: The potential fraud that may occur in mental hospitals include attempts to extend or shorten the average length of stay (AvLOS), fictitious invoice on medical anamneses and proceeding treatment, and hospitalization inpatients without clear indication. This is supported by initial data obtained that AvLOS is decrease when the health insurance system apply packaged payment system, nevertheless there is increased rates up to five times of re-hospitalization. This shows that the indication of potential fraud could affect the output quality of mental hospital. Conclussion: There is a potential fraud in the implementation of the national health insurance system that affects the quality of services in a mental hospital.
Analisis determinan ketersediaan dokter spesialis dan gambaran fasilitas kesehatan di RSU pemerintah kabupaten/kota Indonesia (analisis data rifaskes 2011) Heri Priyatmoko; Lutfan Lazuardi; Mubasysyir Hasanbasri
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.818 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v3i4.25532

Abstract

Determinants of specialist availability in public hospitals: analysis of 2011 RifaskesABSTRACT Background:Indonesia still faces theproblem of unequal distribution of specialist doctors. The ratio of health workers per 100.000 population has not met the target. In 2008, the ratio of health workers to medical specialist per 100.000 population amounted to 7,73 compared to the target which is 9. Some areas of development in underserved areas, such as low economic power, lack of hospital system capacity and hospital medical equipment, have been neglected by government. Engagement of stakeholder to improve hospital quality system is a critical element to contribute to the policy of specialist doctors dsitribution, typically to increase the number of specialist doctors practising in rural and remote areas. Objective: To assess the determinants ofavailability of specialist doctors in government/public hospitals and to find out the correlation of variable factors. Methods: A cross sectional design was adopted for this study, in which 7 factors were chosen to assess determinant of availability of specialist doctors using a Health Facilities Research (Rifaskes) conducted Bay the HealthMinistry in 2011 and to describe availibility of hospital facilities in the Indonesian public hospitals. Results: Bivariate analysis indicated that level of district, hospital accredited, BLU versus Non-BLU, remuneration, hospital facilities, dan GNP significantly affect to the number of specialist doctors (p <0,05). Logistic regression indicated that the strongest predictors of availibility specialist is accredited public hospital with 12 standard of care (odds ratio 9,32 ; 95% CI: 1,2-72,4) ; p < 0.03). Level of district have significantly associated to availibility specialist in public hospital (odds ratio 2,15 ; (95% CI: 1,36-3,39) ; p = 0,001). Conclusion: The current study makes an important contribution to the literature in finding the determinants of distribution of specialist doctors in public hospital in Indonesia to address maldistribution between urban and rural barriers. Additional research is needed to examine preference to choose rural location and the incorporation of other retention strategies, such as medical educationinitiatives, community and professional support, differential rural fees and alternate funding models. Keywords: Availability,specialist doctors, specialistic facilities
Proses Pembentukan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Medan Tahun 2013 Juanita Juanita
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.915 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36386

Abstract

Background: The number of smokers in Indonesia is still high and in the absence of serious attention by government, then this problem would be a time bomb in the future. Results of previous studies have shown a variety of diseases associated with cigarette consumption. Medan city as the capital of North Sumatra province has been concerned with this problem and have proposed smoke- free zone regulation since 2010. However, the enactment of smoke-free zone regulation requires a long process and a strong commitment from the local government. Methods: The study design was a case study with a qualitative approach. Informants of this studyis the city of Medan legislators in charge of health, industry, labor, trade and agriculture. Data is collected using in-depth interview techniques to explore the views of relevant legislative regulation on smoke-free zone. Results: Stages of the process of establishing regulations smoke-free zone are: 1) the initiation stage than has been started since 2010 and was initiated by the Health Ministry, assisted by the city of Medan Indonesia Heritage Foundation, which is one of the NGOs involved in the protection of children and women. 2) discussion stage, which has been proposed (ranperda) until 2011 and has not been a priority for Parliament, because there is no political will to protect the public from the dangers of cigarette smoke. A discussion process regulation is the most crucial step to achieve a common understanding among the members of the legislature. 3) determination phase. After going through the long process through meetings (paripurna) in the decision making process and consent on smoke-free zone then the regulation is validated by approved by allfactions. 4) Promulgation phase, which is the issuance of Regulation No.3 of 2014 on smoke-free zone, which consists of 16 chapters 47 subchapters; and 5) Dissemination, socialisation of smoke free zone Regulation. Conclusion: The process of forming regulation of smoke- free zone through several stages, which initiated in 2010 by the Ministry of Health that began to organize activities related to problems of cigarettes. In the early stage, smoke-free zone regulation was not a priority to be discussedin meetings in Parliament, due to arising pros and cons. Commitment from the local government and community support are the factors that made this regulation be processed so that in December 2013 the Parliament plenary meeting pass the regulation and in January 2014 Regulation No.3 about smoke-free zone is issued. Recommendation: There are many challenges ahead after the issuance of regulation smoke-free zone. The regulation should be implemented effectively, with the involvement of relevant stakeholders, also society (citizens-based smoke- free zone enforcement). In addition, cross-sectoral cooperation in the application of smoke-free zone regulation needs to be improved. Ministry of Health as a driving force of smoke-free zone policies should support the necessary monitoring and evaluation. LatarBelakang: Jumlah perokok di Indonesia masih tinggi dan tanpa adanya perhatian serius pemerintah maka permasalahan ini akan menjadi bom waktu di masa depan. Hasil penelitian terdahulu sudah membuktikan berbagai penyakit terkait konsumsi rokok. Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara sudah sejak tahun 2010 menaruh perhatian terhadap masalah ini dan sudah mengusulkan Ranperda Kawasan Tanpa Rokok. Namun, hingga keluarnya perda KTR ini membutuhkan proses yang cukup lama dan komitmen yang kuat dari peme- rintah daerah. Metode:Desain penelitian ini adalah studi kasus dengan pen- dekatan kualitatif. Informan penelitian ini adalah anggota DPRD Kota Medan yang membidangi kesehatan, perindustrian, ketena- gakerjaan, perdagangan dan pertanian. Pengumpulan data de- ngan menggunakan teknik wawancara mendalam untuk meng- gali pandangan anggota legislatif terkait Perda KTR Kota Medan. Hasil: Tahapan proses pembentukan perda KTR Kota Medan adalah: 1) Tahap inisiasi yang sudah dimulai sejak tahun 2010 dan diprakarsai oleh Dinas Kesehatan Kota Medan dengan didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia, yang merupakan salah satu NGO yang bergerak dalam perlindungan anak dan wanita. 2) Tahap pembahasan, ranperda yang sudah diusulkan hingga tahun 2011 belum merupakan prioritas bagi parlemen, karena belum ada political will untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok. Proses pembahasan suatu ranperda merupakan tahap yang paling krusial untuk mencapai pema- haman yang sama di antara anggota legislatif. 3) Tahap pene- tapan, setelah melalui proses yang panjang maka melalui rapat paripurna dalam rangka pengambilan keputusan dan persetu- juan bersama tasranperda KTR Kota Medan maka ranperda ini disahkan dengan disetujui oleh seluruh fraksi yang ada. 4) Tahap pengundangan, dikeluarkannya Perda No 3 tahun 2014 tentang KTR di Kota Medan, yang terdiri dari 16 bab 47 pasal; dan 5) Tahap Penyebarluasan melalui Seminar Pembela- jaran Implementasi Regulasi KTR di Indonesia. Kesimpulan: Proses terbentuknya Perda KTR di Kota Medan melalui beberapa tahap yang dimulai sejak tahun 2010 dimana Dinas Kesehatan mulai mengadakan kegiatan-kegiatan terkait permasalahan rokok. Pada tahap awal, ranperda KTR belum menjadi prioritas untuk dibahas dalam rapat-rapat di DPRD, karena timbul pro dan kontra terhadap ranperda ini. Adanya komitmen dari pemerintah daerah dan dukungan dari masyarakat agar perdaini segera diproses sehingga pada bulan Desember 2013 dalam rapat paripurna DPRD perdaini disahkan dan pada bulan Januari tahun 2014 telah dikeluarkan Perda KTR No 3 tentang KTR di Kota Medan. Rekomendasi :Tantangan kedepan setelah dikeluarkannya Perda KTR Kota Medan adalah agar perda ini dapat diimple- mentasikan secara efektif, dengan melibatkan para stakeholder terkait juga masyarakat (penegakan KTR berbasis warga). Selain itu juga kerjasama lintas sektoral dalam penerapan Perda KTR perlu ditingkatkan. Dinas Kesehatan sebagai motor penggerak implementasi Perda KTR perlu melakukan monitor- ing dan evaluasi.

Page 1 of 1 | Total Record : 8