cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
jap.anestesi@gmail.com
Editorial Address
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Jalan Pasteur No. 38 Bandung 40161, Indonesia
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Anestesi Perioperatif
ISSN : 23377909     EISSN : 23388463     DOI : 10.15851/jap
Core Subject : Health, Education,
Jurnal Anestesi Perioperatif (JAP)/Perioperative Anesthesia Journal is to publish peer-reviewed original articles in clinical research relevant to anesthesia, critical care, case report, and others. This journal is published every 4 months with 9 articles (April, August, and December) by Department of Anesthesiology and Intensive Care Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran/Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 1 (2019)" : 9 Documents clear
Perbandingan Aromaterapi Pepermin dengan Ondansetron Intravena sebagai Terapi Rescue Mual Muntah Pascaoperasi Mastektomi Arna Fransisca; Iwan Fuadi; Dewi Yulianti Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (160.107 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1587

Abstract

Mual muntah pascaoperasi merupakan salah satu komplikasi anestesi dan operasi yang menjadi perhatian khusus karena memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan, memperpanjang lama perawatan, dan meningkatkan angka morbiditas perioperatif. Pascaoperasi payudara berkaitan dengan angka kejadian mual muntah pascaoperasi yang tinggi. Beberapa konsensus penatalaksanaan mual muntah pascaoperasi merekomendasikan pemberian terapi nonfarmakologi dengan aromaterapi sebagai terapi rescue untuk mengatasi mual muntah pascaoperasi. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan aromaterapi pepermin dengan ondansetron sebagai terapi rescue dalam menurunkan kejadian mual muntah pascaoperasi mastektomi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan secara prospektif dengan desain penelitian double blind randomized controlled trial dan consecutive sampling terhadap 32 subjek penelitian yang menjalani operasi mastektomi elektif dan memenuhi kriteria inklusi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juli–September 2018. Pada penelitian ini, data ordinal diuji dengan Uji Mann Whitney dan untuk data kategorik diuji dengan uji chi-square. Hasil penelitian ini didapatkan penurunan kejadian mual muntah pascaoperasi yang signifikan pada kelompok pepermin dibanding dengan kelompok ondansetron dengan perbedaan yang bermakna (p<0,05) pada penilaian menit kedua dan menit kelima setelah perlakuan. Simpulan, aromaterapi pepermin efektif menurunkan kejadian mual muntah pascaoperasi mastektomi dan dapat digunakan sebagai alternatif terapi atau terapi tambahan untuk penatalaksanaan mual muntah pascaoperasi.Comparison of Peppermint Aromatherapy with Ondansetron Intravenous as a Rescue for Postoperative Nausea Vomiting after Mastectomy SurgeryPostoperative nausea and vomiting are among anesthesia and surgery  complications that receive special considerations as it affects the quality of healthcare services, prolongs care, and increases perioperative morbidities. The incidence of postoperative nausea and vomiting is high in patients that have undergone breast surgery. The consensus for postoperative nausea and vomiting management recommends non-pharmacological treatments, one of which is through the use of aromatherapy as a rescue to resolve postoperative nausea and vomiting. This study aimed to compare the effects of peppermint aromatherapy and ondansetron as a rescue in reducing the incidence of postoperative nausea and vomiting after elective mastectomies. This was a prospective experimental double blind randomized controlled trial study with consecutive sampling on 32 research subjects underwent elective mastectomies and met the inclusion criteria in Dr. Hasan Sadikin General Hospital in July–September 2018. The ordinal data were tested using the Mann Whitney statistics test and the categorical data using the chi square test. The results show a significant decrease in nausea and vomiting incidence in the peppermint group compared to the ondansetron group with significant difference (p<0.05) in two minutes and five minutes after treatment. In conclusion, peppermint aromatherapy is effective in reducing the incidence of postoperative nausea and vomiting after mastectomies and can be used as an alternative or additional treatment in managing postoperative nausea and vomiting.
Efektivitas Analgesik Pascaoperasi pada Pasien Pediatrik di Ruang Pemulihan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Juni–November 2018 Bernadeth Bernadeth; Ezra Oktaliansah; Indriasari Indriasari
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (866.174 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.15647

Abstract

Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan. Penyebab utama nyeri akut pada anak adalah prosedur pembedahan, trauma, dan penyakit akut. Penilaian nyeri merupakan bagian penting dari manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas analgesik pascaoperasi pada pasien pediatrik  di ruang pemulihan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juni-November 2018. Penelitian menggunakan metode deskriptif observasional prospektif terhadap 471 pasien pediatrik pascaoperasi di ruang pemulihan. Subjek penelitian dikelompokkan berdasar atas jenis operasi yang menyebabkan nyeri ringan, sedang, dan berat. Jenis analgesik pascaoperasi yang diberikan dan penilaian nyeri selama di ruang pemulihan dicatat untuk melihat efektivitas analgesik pascaoperasi tersebut. Dari hasil penelitian efektivitas analgesik pascaoperasi pada jenis operasi nyeri ringan sebanyak 181 pasien (99,5%), jenis operasi nyeri sedang sebanyak 231 pasien (98,7%), dan pada jenis operasi nyeri berat sebanyak 53 pasien (96,4%). Simpulan penelitian ini adalah efektivitas analgesik pascaoperasi pada pasien pediatrik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung masih kurang efektif karena belum memenuhi target rumah sakit 100% bebas nyeri dan pemberian analgesik juga belum efisien karena masih banyak terdapat ketidaksesuaian antara pilihan analgesik dan derajat nyeri.Effectiveness of Post-Operative Analgesia on Pediatric Patients in the recovery room of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from June to November 2018Pain is an unpleasant sensory and emotional experience. Pain assessment is an important part of pain management. The main causes of acute pain in children are surgical procedures, trauma, and acute diseases. This study aimed to study the effectuIveness of postoperative analgesics in pediatric patients in the recovery room of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from June to November 2018. This was a prospective observational descriptive study on 471 postoperative pediatric patients in recovery rooms. The research subjects were grouped based on the type of surgery pain, i.e. mild, moderate, and severe. The type of postoperative analgesics given and assessment of pain during the stay in the recovery room were recorded to see the effectiveness of the postoperative analgesic drug. From the results of the study it was identified that the of postoperative analgesics was effective for 181 patients (99.5%) in the mild pain surgery group, for 231 patients (98.7%) in the moderate pain surgery, and for 53 patients (96.4%)  in severe pain surgery. It is concluded that the postoperative analgesics provided to pediatric patients at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung is still less effective because it has not met the target of 100% pain free set by the hospital and that analgesic administration is also not efficient because there are still many discrepancies in analgesic choices and the degree of pain.  
Implementasi Early Warning Score pada Kejadian Henti Jantung di Ruang Perawatan Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang Ditangani Tim Code Blue Selama Tahun 2017 Nurul Subhan; Gezy Weita Giwangkencana; M. Andy Prihartono; Doddy Tavianto
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (219.006 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1583

Abstract

Angka kejadian henti jantung di rumah sakit sangat bervariasi. Sebagian besar kasus henti jantung didahului oleh penurunan kondisi pasien yang digambarkan dengan gangguan parameter tanda vital. Keberhasilan Early warning score (EWS) dalam menurunkan angka kejadian henti jantung dipengaruhi oleh implementasi yang baik dari instrumen EWS sesuai dengan pedoman yang ditetapkan. Penelitian ini bertujuan melihat implementasi EWS di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian bersifat deskriptif dengan desain potong lintang menggunakan data rekam medis pasien henti jantung di ruang perawatan yang ditangani oleh tim Code Blue selama tahun 2017, dan dilakukan pada bulan November 2018. Data EWS 6 jam sebelum dan saat henti jantung, serta tindak lanjut yang dilakukan setelah penilaian EWS dicatat. Didapatkan 87 data rekam medis henti jantung yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk eksklusi. Di antaranya, 72% memiliki catatan EWS lengkap, 9% memiliki catatan EWS tidak lengkap, dan 18% tidak memiliki data EWS. Dari 63 data rekam medis yang memiliki data EWS lengkap hanya 21% yang mendapat tindak lanjut yang sesuai dengan standar prosedur operasional EWS. Simpulan penelitian ini adalah implementasi EWS di ruang rawat inap RSUP Dr. Hasan Sadikin belum cukup memuaskan. Tindak lanjut yang dilakukan setelah penilaian EWS belum sesuai dengan standar prosedur operasional EWS yang berlaku.Implementation of Early Warning Score to Patients with In-Hospital Cardiac Arrest in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Managed  by Code Blue Team Incidence of in-hospital cardiac arrest varies greatly around the world. Most in-hospital cardiac arrests are preceded with physiological deteriorations that manifest as alterations in vital signs. The success of early warning score (EWS) in reducing the incidence of cardiac arrest is influenced by the good implementation of EWS instruments by ward staff in accordance with the guidelines The aim of this study was to assess to what degree EWS was implemented at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This was a cross sectional descriptive study on patients with in-hospital cardiac arrest managed by the code blue team during 2017 that was conducted in November 2018. EWS 6 hour prior to cardiac arrest event, EWS at the event, and action taken upon finding an abnormal value were obtained from medical records.  Eighty seven medical records were included. Of these, 72% medical records had complete EWS data, 9 medical records had incomplete EWS data, and 18% medical records had no EWS recorded. From those 63 medical records with complete EWS recorded, only 21% had been managed correctly according to the EWS guideline. This study concludes that the implementation of EWS in the wards of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung has not been completely satisfactorily. Actions taken after EWS assessment are still not accordance with the EWS guideline.
Perbandingan Peningkatan Laju Nadi dan MAP antara Laringoskopi Menggunakan Bilah Laringoskop Macintosh dan McCoy Andy Hutariyus; Iwan Fuadi; Dewi Yulianti Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (982.76 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1509

Abstract

Tindakan laringoskopi dan intubasi dapat menyebabkan peningkatan kadar katekolamin di dalam darah sehingga meningkatkan respons hemodinamik seperti takikardia, peningkatan tekanan darah, peningkatan tekanan intrakranial, aritmia, dan perubahan segmen ST. Respons ini bergantung pada seberapa banyak manipulasi di daerah lidah, faring, laring, dan epiglotis pada saat laringoskopi direk. Tujuan penelitian ini membandingkan peningkatan laju nadi dan mean arterial pressure (MAP) antara laringoskopi intubasi menggunakan bilah Macintosh dan McCoy. Metode penelitian ini adalah uji klinis acak terkontrol buta tunggal pada 40 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dari bulan Juli hingga Agustus 2018. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, kelompok MI laringoskopi intubasi dengan Macintosh dan kelompok MC laringoskopi intubasi dengan McCoy. Data hasil penelitian diuji secara statistik menggunakan uji t tidak berpasangan dan Uji Mann-Whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan laju nadi dan MAP setelah intubasi pada kelompok McCoy lebih rendah dibanding dengan Macintosh pada menit ke-1, menit ke-2,5, dan menit ke-5 dengan perbedaan signifikan (p˂0,05). Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa laringoskopi dengan bilah laringoscop McCoy dapat mengurangi peningkatan laju nadi dan MAP dibanding dengan Macintosh.  Comparison between Laryngoscopy Using Macintosh and McCoy Laryngoscope Blades in Increasing Heart Rate and Mean Arterial PressureLaryngoscopy and intubation often increase hemodynamic responses such as tachycardia, increased blood pressure, increased intracranial pressure, arrhythmia, and changes on the ST segment due to increased blood catecholamines. This response depends on how much the tongue, pharynx, larynx, and epiglottis are manipulated during a direct laryngoscopy. This study was a single blinded randomized controlled trial on 40 patients who underwent surgery under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital from July to August 2018. Subjects of study were randomly divided into two groups, Macintosh (MI) and McCoy (MC) groups. Data were analyzed using t-test and Mann-Whitney test. Results of this study found that lower heart rate and MAP increases were identified in McCoy group when compared to the Macintosh group in minute 1, minute 2,5, and minute 5 after intubation. Both variables had statistically significant differences (p<0.05). This study concludes that laryngoscopy using McCoy laryngoscope blade was is able to prevent increase in heart rate and MAP compared to Macintosh.
Chula Formula sebagai Prediktor Ketepatan Kedalaman Endotracheal Tube pada Intubasi Nasotracheal Akhmad Rhesa Sandy; Indriasari Indriasari; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.653 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1491

Abstract

Intubasi nasotrakeal adalah salah satu metode yang umum digunakan pada operasi intraoral dan maksilofasial yang memiliki keunggulan untuk menyediakan akses yang lebih baik. Hal yang menjadi perhatian utama ketika memasukkan endotracheal tube (ETT) adalah penempatan yang tepat dan sesuai sehingga menghindari komplikasi akibat malposisi ETT. Fiberoptic bronchoscope (FOB) adalah cara yang paling pasti untuk menilai penempatan ujung ETT karena menyediakan visualisasi secara langsung sehingga dapat mengukur penempatan ETT yang ideal, tetapi FOB tidak selalu tersedia di rumah sakit. Penelitian ini bermaksud menilai kesesuaian Chula formula, yaitu rumus yang menggunakan tinggi badan untuk menempatkan ETT pada posisi yang tepat. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan secara prospektif pada 59 subjek penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juli sampai Agustus 2018. Subjek diintubasi nasotrakeal dengan kedalaman ETT dihitung menggunakan Chula formula, kemudian jarak ujung ETT ke carina dinilai menggunakan FOB. Hasil uji statistik dengan Guilford dan Spearman didapatkan nilai r 0,933 dan p 0,0001 yang menunjukkan kesesuaian yang sangat kuat pada Chula formula untuk menempatkan ETT pada kedalaman yang tepat. Simpulan, Chula formula dapat memprediksi kedalaman ETT dengan tepat pada intubasi nasotrakeal.Chula Formula as a Predictor for Correct Endotracheal Tube Placement for Nasotracheal IntubationNasotracheal intubation is a common method which provides better access for intraoral and maxillofacial operations. The main concern when inserting an endotracheal tube (ETT) is the correct and appropriate placement as there are many complications develop due to ETT malposition. A Fiberoptic Bronchoscope (FOB) is the best way to assess the placement of the tip of the ETT for it provides a direct visualization to measure the ideal ETT placement; however, it is not always readily available in hospitals. This study aims to assess the compatibility of Chula formula, a formula that utilizes height to determine the correct ETT placement. This study was a prospective analytical study on 59 research subjects in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from July to August 2018. The subjects were nasotracheally intubated with the ETT depth measured using the Chula formula, afterwards the distance from the tip of the ETT to the carina was assessed using an FOB. The results from Guilford and Spearman’s were an r value of 0.933 and a p value of 0.0001, showing a statistically significant conformation of the Chula formula in correct ETT placement. It is concluded that Chula formula can be used as a predictor for correct ETT placement in nasotracheal intubation.
Perbandingan Letak Garis Interkrista Iliaka terhadap Vertebra antara Gravida dan Non Gravida dengan Teknik Pencitraan Ultrasonografi Ni Wayan Pratiwi Wijaya; Budiana Rismawan; M. Andy Prihartono
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.358 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1582

Abstract

Teknik blokade neuroaksial merupakan teknik anestesi yang sering digunakan untuk memfasilitasi tindakan sectio caesaria. Teknik anestesi ini membutuhkan penanda anatomis yang salah satunya adalah garis interkrista iliaka atau garis Tuffier’s yang didefinisikan sebagai garis bayang horizontal yang menghubungkan bagian superior dari kedua krista iliaka. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbandingan letak garis interkrista iliaka terhadap vertebra antara gravida dan nongravida dengan teknik pencitraan ultrasonografi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental pada 30 subjek penelitian yang dilakukan pada bulan Mei–Juli 2018 yang menjalani operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Secara palpasi ditentukan letak perpotongan garis interkrista iliaka dengan prosesus transversum, kemudian dilakukan identifikasi menggunakan ultrasonografi. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji Mann Whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa garis interkrista iliaka pada gravida terletak lebih tinggi, yaitu pada L3-4 jika dibanding dengan nongravida yang terletak pada L4-5 dengan perbedaan signifikan (p˂0,05). Pada gravida bertambah berat badan saat hamil mengakibatkan bertambah body mass index (BMI), pembesaran uterus pada kehamilan akan memengaruhi bentuk tubuh dan kelengkungan tulang belakang (hiperlordosis) sehingga terletak lebih ke arah cefalad. Simpulan penelitian ini menunjukkan bahwa letak garis interkrista iliaka pada vertebra gravida lebih tinggi dibanding dengan vertebra nongravida yang diproyeksikan dengan teknik ultrasonografi.Comparison of Intercristal Line Position to the Vertebra between Pregnant and Non-Pregnant Women using Ultrasonography Imaging Anesthesia using neuraxial blockade technique can be used to facilitate cesarean sections in pregnant patients. This technique of anesthesia requires an anatomical marker, one of which is the intercristal line or Tuffier’s line, defined as an imaginary horizontal line connecting the superior parts of both iliac crests. This study aims to compare the position of intercristal line to the vertebra in pregnant and non-pregnant women using ultrasonography imaging. This study was an experimental study on 30 research subjects who underwent surgery in Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, during the period of May until July 2018. The location of the intersection between the intercristal line and the transversal process was identified using ultrasonography. Data were then analyzed statistically using Mann Whitney test. Results of the study showed that the intercristal line in pregnant women was located higher, on L3-4, when compared to non-pregnant women, on L4-5, and the difference was significant (p<0.05). In pregnant women, the weight increase contributes to an increase in BMI while the enlarging uterus affects body shape and vertebral arch (hyperlordosis), making it more cephalad. Therefore, the location of the intercristal line required for neuraxial blockade on the vertebra of pregnant women is higher compared to non-pregnant women, as projected through ultrasonography.
Efek Pemberian Magnesium Sulfat 45 Mg/kgBB terhadap Kualitas Tindakan Intubasi Endotrakeal Tanpa Obat Pelumpuh Otot dan Perubahan Respons Hemodinamik Fatima Fatima; Erwin Pradian; Dedi Fitri Yadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (14.027 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1590

Abstract

Intubasi endotrakeal merupakan tindakan berisiko tinggi yang menghasilkan stimulasi adrenergik. Intubasi endotrakeal menggunakan obat pelumpuh otot sebagai standar baku dapat menimbulkan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan rekurisasi pascabedah. Intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot ditujukan untuk prosedur pembedahan yang singkat, membutuhkan identifikasi saraf, dan terdapat kontraindikasi pemberian obat pelumpuh otot. Tujuan penelitian ini mengkaji pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB terhadap kualitas intubasi dan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental secara acak buta ganda yang dilakukan secara prospektif terhadap 42 subjek penelitian yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung pada bulan April–Juli 2018. Pada penelitian ini, data numerik diuji dengan uji t tidak berpasangan, sedangkan data kategorik diuji dengan uji chi-square dan Mann Whitney. Hasil penelitian menunjukkan kualitas intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot lebih baik dengan disertai penurunan respons hemodinamik pada kelompok yang diberikan magnesium sulfat 45 mg/kgBB dibanding dengan kelompok kontrol (p<0,05). Simpulan, pemberian magnesium sulfat 45 mg/kgBB meningkatkan kualitas tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuh otot yang dinilai menggunakan skor Copenhagen dan menurunkan respons hemodinamik pada tindakan intubasi endotrakeal tanpa obat pelumpuhotot.Effect of 45 mg/kgBW Magnesium Sulphate on Quality of Endotracheal Intubation without Neuromuscular Blocking Agents and Change in Hemodynamic ResponsesEndotracheal intubation is a high-risk procedure that can stimulate adrenergic response. Neuromuscular blocking agent is used to facilitate endotracheal intubation but it has undesirable effects such as anaphylactic reaction and postoperative recurarization. This technique is indicated for short surgical procedures, requires nerve identification, and is contraindicated for neuromuscular blocking agent. The purpose of this study was to review the effect of 45 mg/kgBW magnesium sulphate to the quality of intubation and hemodynamic responses in endotracheal intubation without neuromuscular blocking agent. This was a prospective double blind experimental study conducted on 42 research subjects  underwent surgical procedures under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung in the period of April–July 2018. In this study, numerical data were tested by unpaired t test. Categorical data were tested by chi-square and Mann Whitney tests. The results showed that the quality of endotracheal intubation without neuromuscular blocking agent improved with minimum hemodynamic changes in the group receiving 45 mg/kgBW magnesium sulphate (p<0.05). It is concluded that 45 mg/kgBW magnesium sulphate improves intubating quality assessed using Copenhagen score and decreases hemodynamic responses to endotracheal intubation without neuromuscular blocking agents.
Perbandingan Angka Keberhasilan Intubasi dan Waktu Intubasi antara Menggunakan Bougie dan Purwarupa Camera–Bougie pada Maneken Simulasi Kesulitan Intubasi Gavrila Diva Amelis; Dhany Budipratama; Ezra Oktaliansah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (182.479 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1585

Abstract

Penatalaksanaan jalan napas merupakan hal fundamental bagi ahli anestesi. Kegagalan penatalaksanaan jalan napas mengakibatkan kematian. Berbagai modalitas tersedia untuk penatalaksanaan jalan napas  sulit, mulai dari alat sederhana seperti stylet dan bougie hingga alat canggih seperti video laryngsocope dan fiberoptic. Fiberoptik masih menjadi standar baku kesulitan intubasi, namun penggunaannya masih terbatas karena harganya mahal dan penggunaannya sulit. Purwarupa camera–bougie  merupakan modalitas baru yang diharapkan dapat mengatasi keterbatasan tersebut dan menjembatani antara bougie yang sederhana dan fiberoptik yang sangat canggih. Tujuan penelitian adalah membandingkan angka keberhasilan intubasi dan waktu intubasi antara bougie dan purwarupa camera–bougie pada maneken simulasi kesulitan intubasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian analitik eksperimental ini dilakukan pada 41 peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung semester 5 sampai dengan 11 yang melakukan intubasi dengan bougie dan purwarupa camera–bougie secara bergantian dengan metode randomisasi permutasi blok pada maneken simulasi kesulitan intubasi. Penelitian dilakukan dari tanggal 16–24 Oktober 2018. Keberhasilan dan waktu intubasi dicatat dan dianalisis secara statistik dengan Uji Mc. Nemar dan Wilcoxon. Keberhasilan intubasi dengan bougie sebesar 39% dan purwarupa camera-bougie 100% (p<0,001). Waktu intubasi dengan  bougie dan purwarupa camera-bougie sebesar 18,81 (12,19) detik dan  7,0 (1,47) detik (p<0,001). Simpulan, purwarupa camera–bougie meningkatkan keberhasilan intubasi dan memperpendek waktu intubasi pada maneken simulasi kesulitan intubasi.Comparison of Success Rate and Duration of Intubation between Bougie and Bougie–Camera Prototype in Simulated Difficult Airway ManikinAirway management is fundamental for anesthesiologist. Fiberoptic is still the gold standard for difficult intubation but its expensive price and complicated handling limit its use. Bougie–camera prototype is one of the new modalities that is expected to overcome these limitations and bridge the gap between simple bougie and very sophisticated fiberoptic. The aim of this study was to compare the success rate and duration of intubation between bougie and bougie–camera prototype in simulated difficult airway manikin at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. This experimental analytic study was conducted on 41 fifth semester anesthesiology residents of the Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran/Dr. Hasan Sadikin General Hospital who performed intubation with bougie and bougie–camera prototype alternately on  simulated difficult airway mannequin using permutation block randomization method. This study was held during the period of 16–24th of October 2018. The success rate and duration of intubation were recorded and analyzed statistically by Mc. Nemar and Wilcoxon tests. The rate of successful intubation with bougie was 39% and 100% with bougie–camera prototype (p<0.001). Duration of intubation with bougie and bougie–camera prototype  was 18.81 (12.19) seconds and 7.0 (1.47) seconds (p<0.001). The conclusion of this study is bougie–camera prototype increases the success rate of intubation and shortens the duration of intubation on simulated difficult airway on mannequin.
Perbandingan Sevofluran dengan Propofol Target Controlled Infusion (TCI) sebagai Rumatan Anestesi terhadap Waktu pulih Sadar dan Komplikasi Mual Muntah pada Operasi Timpanoplasti Desvita Rosana; Dedi Fitri Yadi; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (644.603 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1620

Abstract

Praktik anestesi membutuhkan kualitas anestesi yang baik, efek samping minimal, serta pemulihan cepat. Propofol dan sevofluran memiliki efek farmakologis pemulihan pascaanestesi yang cepat. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan sevofluran dengan propofol target controlled infusion (TCI) sebagai rumatan anestesi terhadap waktu pulih sadar dan komplikasi mual muntah pada operasi timpanoplasti. Penelitian  dilakukan periode Agustus–November 2018 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian merupakan prospektif eksperimental menggunakan uji klinis acak buta tunggal terhadap 44 subjek yang dibagi acak menjadi dua kelompok, yaitu kelompok propofol TCI  (kelompok P, n=22) dan kelompok  sevofluran (kelompok S, n=22). Selama operasi dicatat lama operasi, jumlah opioid, waktu pulih sadar, dan komplikasi mual muntah. Analisis statistik data numerik dengan uji t tidak berpasangan dan Mann Whitney, data kategorik dengan uji chi square. Hasil penelitian tidak ada perbedaan signifikan (p>0,05) untuk karakteristik pasien, lama operasi, dan jumlah opioid perioperatif. Waktu pulih sadar kelompok sevofluran lebih cepat signifikan dibanding dengan propofol TCI (10,26±1,91 menit dan 13,36±1,72 menit; p<0,05). Komplikasi mual muntah pascaoperasi kelompok sevofluran lebih besar signifikan dibanding dengan propofol TCI (15 dan 1; p<0,05). Simpulan, sevofluran memiliki waktu pulih sadar lebih cepat dibanding dengan propofol TCI, namun komplikasi mual muntah sevofluran lebih besar. Comparison between Effect of Sevoflurane with Propofol Target Controlled Infusion (TCI) as Maintenance of Anesthesia on Emergence Time and Nausea-Vomiting Complication in Timpanoplasty SurgeryCurrent modern anesthesia practice requires good anesthetic quality, minimum side effect, and early recovery. Propofol and sevoflurane have pharmacological properties that include fast recovery after anesthesia. The aim of this study was to evaluate the comparative effects of sevoflurane versus propofol target controlled infusion (TCI) for maintenance of anesthesia with respect to emergence time and postoperative nausea and vomiting (PONV) complication in patients undergoing timpanoplasty surgery. The study was carried out from August–November 2018 in Dr. Hasan Sadikin Bandung Hospital. It was a prospective single blind experimental study conducted on 44 subjects who were randomly divided to receive either propofol TCI (group P, n=22) or sevoflurane (group S, n=22). Duration of surgery, total ammount of opioid used, emergence time, and postoperative nausea and vomiting complication were recorded. Numerical data were tested by unpaired t test and Mann Whitney while categorical data were tested by chi-square. The results showed that patient characteristics, duration of surgery, and total amount of opioid used were not significantly different (p>0.05). Emergence time of the sevoflurane (S) group was significantly faster than the propofol (P) group (10.26+1.91 and 13.36+1.72, respectively; p<0.05). The complication of postoperative nausea and vomiting in group S was significantly higher compared to group P (15 and 1, respectively; p<0.05). It is concluded that sevoflurane has faster emergence time compared to propofol TCI, but PONV complication of sevoflurane is higher.

Page 1 of 1 | Total Record : 9