cover
Contact Name
Ramadhita
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
dejure@uin-malang.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
DE JURE
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
de Jure adalah jurnal yang mengkaji permasalahan syariah dan hukum baik hasil penelitian atau artikel telaah. Terbit dua kali dalam setahun pada bulan Mei dan November. de Jure diterbitkan oleh unit Penelitian, Penerbitan dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penyunting menerima naskah yang belum pernah diterbitkan dalam media lain.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 2, No 1: Juni 2010" : 8 Documents clear
KEWENANGAN KELEMBAGAAN NEGARA SETELAH PERUBAHAN UUD 1945 Jundiani, Jundiani
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 1: Juni 2010
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v2i1.45

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan secara sistematis hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan kelembagaan negara setelah perubahan UUD 1945. Metode penelitiannya adalah penelitian hukum-normatif dengan menggunakan pendekatan konsep dan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya perubahan mendasar terkait dengan pola pembagian kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan ; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga berwenang dalam pembuatan UU, lembaga eksekutif tetap dalam tugas pemerintahan dan lembaga yudisial telah memperkuat fungsi dan peranannya di bidang peradilan dengan membentuk institusi baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini mempunyai kewenangan melakukan uji materi (judicial review) UU atas UUD, yang sebelumnya menjadi tugas dari MA.The objective of this research is to systematically describe aspects relating to the authority of state instrumentalities after the amandment of UUD 1945. The method of this research is normative- legal research using conceptual legislation approaches. The result reveals a fundamental changing on authority distribution pattern within three authority branches: legislative, executive and judicative. The legislative body of the state holds an authority to dispense regulations, while the executive body is responsible for running the governance, and the judicial body strengthens its function and its role in court system and possesses authority to form new institution namely Constitutional Court. This institution has the authority to undertake judicial review on the Constitution which is used to be the responsibility of Supreme Court.Kata Kunci: Kewenangan Kelembagaan Negara, Perubahan UUD 1945
DEKONSTRUKSI HUKUM SEBAGAI STRATEGI PEMBANGUNAN HUKUM PASCA REFORMASI Anisah, Inayatul
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 1: Juni 2010
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v2i1.47

Abstract

Studi hukum tidak akan lepas dari sebuah kondi?kasi teks yang memiliki tujuan tertentu. Agar tujuan yang terkandung dalam makna teks secara hakiki dapat tercapai, diperlukan adanya dekonstruksi hukum. Melalui  dekonstruksi, upaya pembangunan hukum di Indonesia yang selama ini dikenal hanya sebatas hukum yang berlaku secara yuridis formal, perlu dimaknai kembali sehingga mencakup nilai-nilai kemaslahatan yang berlaku secara universal. Meskipun perlu diakui, bahwa nilai-nilai kemaslahatan tetap tidak akan mampu menciptakan kepastian hukum, kecuali melalui upaya supremasi hukum yang berupa teks-teks itu sendiri. Untuk menciptakan kepastian hukum (legal certainty), ajaran itu hampir pasti mutlak diperlukan, namun dalam  realitas empirisnya ajaran hukum modern tersebut tidak begitu saja dapat diterapkan begitu saja menjadi rule of law tanpa melihat sebagai rule of morality.The study of law coincides with the codi?cation of texts, and the deconstruction of law is considered necessary to understand the true meaning of the legal texts. Through the process of deconstruction, the legal development of the country which is merely focused on formal and juridical aspect of law needs to include new nuance of universal public bene?t, despite any doubt on its legal uncertainty. In order to achieve legal certainty, reference to the legal text is a necessity, even though in reality modern legal theory cannot operate as rule of law without implementing rule of  morality.Kata kunci: Teks, Dekonstruksi, Kemaslahatan, Kepastian hukum
ARGUMEN EKSISTENSI BANK MUAMALAT DI INDONESIA SEBAGAI PERBANKAN SYARIAH Yasin, Mohamad Nur
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 1: Juni 2010
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v2i1.48

Abstract

Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia terus berlangsung pesat dan cepat. Salah satu periode yang unik dan menarik dari rangkaian panjang perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah periode pematangan konsep dan rintisan awal yang berlangsung antara 1992-2000. Pada saat itu masih ada satu bank umum syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dengan statusnya sebagai Bank Umum Syariah pertama di Indonesia, BMI menjadi pilot  projek  dan  trademark  kebangkitan  serta  implementasi  secara  besar-besaran  hukum ekonomi Islam di Indonesia. Dekade pada saat BMI berdiri menjadi momentum yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Periode ini sangat strategis karena mengawali dan menjadi batu loncatan  keberhasilan atau kegagalan perkembangan perbankan syariah pada era selanjutnya. Oleh karena itu, pesatnya perkembangan Perbankan Syariah saat ini tidak lepas dari sejarah awal kemunculan BMI. Tulisan ini mengkaji latar sosio-historis-politis kemunculan awal BMI sebagai embrio perbankan syariah di Indonesia. Mere?eksi sejarah sangat urgen dan diperlukan guna meneropong  masa depan yang lebih cerah dan terarah.After their formative period in 1992s to 2000s, Syariah banks show a rapid development. As the ?rst syariah bank in the country, Bank Muamalat Indonesia (BMI) is quick to become a pilot project and an icon of  Islamic economic awaking and implementation in the country. The establishment of  BMI was considered an awaited momentum and a step towards the success of other syariah banks of the later era. The ?ourish of syariah banks in this period is not inseparable from the history of BMI establishment. This article seeks to analyze socio-political and historical background of BMI as an embryo of syariah banks in Indonesia
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS MEREK TERKENAL Marwiyah, Siti
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 1: Juni 2010
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v2i1.50

Abstract

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk dapat menjadikan suatu merek menjadi terkenal secara luas dan dipergunakan oleh masyarakat luas, menjadikan beberapa produsen melakukan jalan pintas dengan menjalankan perilaku bisnis curang yaitu dengan melakukan “pembajakan” atau peniruan dari merek yang telah lama beredar di pasaran, atau dapat juga disebut sebagai merek yang sudah terkenal. Pelanggaran merek juga mengkedepan dalam issue pararelimport dimana barang-barang diperoleh dari luar negeri secara sah, kemudian dibawa masuk ke Indonesia untuk tujuan komersil tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemegang lisensi atas merek tersebut di Indonesia. Dalam hal ini tidak ada pemalsuan merek, tetapi hal ini melanggar hak-hak penerima lisensi, karena merusak pangsa pasar pemegang lisensi. Adanya praktik curang ini, tidak hanya perusahaan pemilik merek terkenal yang dirugikan akan tetapi masyarakat sebagai konsumen dan negara juga dirugikan. Bagi  pemilik merek kerugian yang dirasakan adalah menurunnya pendapatan, dan apabila kualitas dari barang dan jasa yang ditiru lebih rendah, maka akan menurunkan citra produk tersebut di mata konsumen. Bagi konsumen kerugian yang dideritanya adalah mutu barang yang rendah, sedangkan bagi negara kerugian yang timbul adalah berkurangnya penerimaan pajak. Perlindungan hukum yang memadai terhadap merek-merek terkenal, yang kebanyakan adalah merek terkenal dari luar negeri muntlak diperlukan, tanpa mengurangi hak pengusaha pribumi yang memiliki merek yang sama dengan merek terkenal tersebut yang menggunakannya dengan itikad baik. Namun demikian untuk menjaga keseimbangan hak dari pemilik merek terkenal dalam dan luar negeri, perlu juga kiranya dirumuskan kriteria merek terkenal “lokal”, yaitu merek terkenal yang berkembang pada suatu daerah atau wilayah tertentu atau merek terkenal yang berada dalam suatu negara
PRINSIP-PRINSIP EPISTEMOLOGI IMAM SYAFI’I DAN IMPLIKASINYA PADA PERKEMBANGAN EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM Hamidah, M.Ag., Dr. Dra. Tutik
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 1: Juni 2010
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v2i1.52

Abstract

Pemenuhan nafkah istri bukan hanya ketika ikatan perkawinan masih terjalin, namun pasca perceraian nafkah istri juga harus dipenuhi. Agama sangat jelas mengatur dan menjembatani hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan nafkah istri. Problem seputar  nafkah istri pasca perceraian sering kali menjadi kasus yang tak kunjung usai, karena banyak terjadi dari pihak mantan suami lalai memenuhi kewajibannya terhadap mantan istrinya, akibatnya pihak istri sering kali dirugikan. Kasus yang sering mencuat ke permukaan masyarakat  adalah disebabkan banyaknya istri yang awam hukum diselesaikan begitu saja, sementara hak- haknya diabaikan. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak masyarakat yang belum melek hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum agama. Di sisi lain suami masih cenderung menyepelekan kewajiban karena dianggap persoalan  sudah selesai seiring dengan putusan cerai, sehingga banyak yang tak memenuhi kewajibannya seperti: memberi nafkah selama iddah, pembagian harta bersama (gono gini), melunasi mahar yang terutang dan  memberikan biaya hadhanah kepada anak- anaknya.Maintenance is not only the right of  wife in the bond of  marriage but also after the divorce. However, women mostly denied the right of  maintenance after the dissolution of marriage. This denial is partly resulted from the women’s ignorance of  their legal right and partly due to the negligence of the men to carry out their duty of  maintenance falsely considering that the duty has ended by the termination of marriage. Maintenance during the waiting period (iddah), distribution of  estates (gono gini), giving the unpaid dower, and widow right of  retention are among the perplexing issues following the dissolution of  marriage. Sanction against the violation of  these rulings should be enacted and implemented.
THE MUI’S VIEW ON AHMADIYAH AND THE DISPUTE SURROUNDING IT Rofiqoh, Lilik
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 1: Juni 2010
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v2i1.53

Abstract

The MUI, an ulama organization founded by the government in 1975, was engineered to be the national authority on Islam. This organization functions as a forum for the ulama to discuss problems related to ‘the duties of  ulama’. Therefore, the organization issues religious decrees in the form of  fatwa and recommendation to respond cases in the society including the Ahmadiyah case. Thus, this article aims at describing the aforementioned fatwa and recommendation on the Ahmadiyah and the debate around them.MUI, sebuah organisasi ulama yang dibentuk pemerintah pada tahun 1975, ditujukan sebagai pemegang otoritas nasional dalam Islam di Indonesia. Organisasi ini berfungsi sebagai forum bagi para ulama untuk  mendiskusikan berbagai masalah terkait dengan tugas ulama. Oleh karena itu, organisasi ini mengeluarkan keputusan-keputusan dalam bentuk fatwa- fatwa dan rekoomendasi untuk merespon berbagai macam masalah dalam masyarakat termasuk kasus Ahmadiyah. Tulisan ini bermaksud menjelaskan fatwa-fatwa dan  rekomendasi yang telah dikeluarkan MUI tentang Ahmadiyah dan perdebatan seputar fatwa tersebut. Keywords: MUI, Fatwa, Recommendation, Ahmadiyah.
FIQH AL-SIYASAH AL-JABIRI: Analisis Kitab al-‘Aql al-Siyasi al-’Arabi (Nalar Politik Arab) Arfan, Abbas
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 1: Juni 2010
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v2i1.56

Abstract

Perkembangan pemikiran Islam Indonesia akhir-akhir ini dapat dikatakan cukup membanggakan. Umat Islam tidak lagi dihadapkan dengan satu pola pikir, melainkan berbagai ragam bentuk pemikiran. Namun, yang memperhatinkan, adanya kecenderungan kalangan tertentu yang terlalu mengagungkan corak pemikiran para modernis dan dekonstruksionis untuk dijadikan “imam mazhab” baru. Meskipun menggunakan kerangka metodologi yang berbeda, pada prinsipnya kesemua pemikir modern itu sepakat untuk melakukan pembacaan ulang terhadap turath Islam (‘iadah qira’ah al-turath) agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu diantaranya adalah al-Jabiri dengan karya tetralogi yang tergabung dalam proyek peradabannya, namun yang akan dikaji dalam makalah hasil penelitian ini adalah konsep Fiqh al-Siayasah-nya yang ia sebut dengan istilah “nalar politik arab”. Metode yang digunakan dalam penelitian makalah ini adalah analisis isi lewat studi pustaka, karena memang jenis dan sumber data dari penelitian ini adalah kualitatif. Adapun nalar politik Arab yang dimaksud al-Jabiri dalam bukunya al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi tak lain adalah “motif-motif (muh}addidat) tindakkan politik (cara menjalankan kekuasaan dalam sebuah masyarakat), serta manifestasi/ pengejawantahan (tajalliyat) teoritis dan praktisnya yang bersifat sosiologis”. Disebut “nalar” (‘aql), karena motif-motif tindakan politik dan manifestasinya tersebut, semua tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika internal yang mengorganisasi hubungan antar pelbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berupa prinsip-prinsip yang dapat disifati dan dianalisis secara kongkrit. Dikatakan sebagai “politik” (siyasi) karena tugasnya bukanlah mereproduksi pengetahuan, tapi menjalankan sebentuk kekuasaan; sebuah otoritas pemerintahan atau menjelaskan tata cara pelaksanaannya.Kata Kunci: nalar, politik, arab, Islam, pembaharuan, demokrasi.
KEPASTIAN HUKUM HUKUM PEMENUHAN NAFKAH ISTRI PASCA PERCERAIAN Jannah, Hasanatul
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 2, No 1: Juni 2010
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v2i1.57

Abstract

Pemenuhan nafkah istri bukan hanya ketika ikatan perkawinan masih terjalin, namun pasca perceraian nafkah istri juga harus dipenuhi. Agama sangat jelas mengatur dan menjembatani hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan nafkah istri. Problem seputar  nafkah istri pasca perceraian sering kali menjadi kasus yang tak kunjung usai, karena banyak terjadi dari pihak mantan suami lalai memenuhi kewajibannya terhadap mantan istrinya, akibatnya pihak istri sering kali dirugikan. Kasus yang sering mencuat ke permukaan masyarakat  adalah disebabkan banyaknya istri yang awam hukum diselesaikan begitu saja, sementara hak- haknya diabaikan. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak masyarakat yang belum melek hukum, terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum agama. Di sisi lain suami masih cenderung menyepelekan kewajiban karena dianggap persoalan  sudah selesai seiring dengan putusan cerai, sehingga banyak yang tak memenuhi kewajibannya seperti: memberi nafkah selama iddah, pembagian harta bersama (gono gini), melunasi mahar yang terutang dan  memberikan biaya hadhanah kepada anak- anaknya.Maintenance is not only the right of  wife in the bond of  marriage but also after the divorce. However, women mostly denied the right of  maintenance after the dissolution of marriage. This denial is partly resulted from the women’s ignorance of  their legal right and partly due to the negligence of the men to carry out their duty of  maintenance falsely considering that the duty has ended by the termination of marriage. Maintenance during the waiting period (iddah), distribution of  estates (gono gini), giving the unpaid dower, and widow right of  retention are among the perplexing issues following the dissolution of  marriage. Sanction against the violation of  these rulings should be enacted and implemented.

Page 1 of 1 | Total Record : 8