Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafaur Rasyidin koin mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak serta fulus koin tembaga. Nilai dinar sama dengan sepuluh dirham. Nilai satu dirham sama dengan 48 fulus. Koin fulus digunakan untuk pembelian barang yang murah. Bobot dinar adalah sama dengan satu mitsqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grain barley. Satu mitsqal juga ekuivalen dengan 4,25 gram (Johnson, 1968:547). Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari kebingungan, Umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirat atau 70 grain barley. Maka rasio antara satu dirham dan satu mithqal adalah tujuh per sepuluh (Sabzwari, 1984). Pada masa khalifah Abu Bakar Assidiq, beliau tidak melakukan perubahan terhadap mata uang yang beredar dinar dan dirham masih menjadi satuan mata uang negara (Al Maqrizy, 1988:129) Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, administrasi keuangan kaum muslim didelegasikan kepada orang-orang Persia. Pada saat itu Umar mempekerjakan ahli pembukuan dan akuntan orang Persia dalam jumlah besar untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran uang di baitul maal (keuangan negara). Mereka juga menggunakan satuan dirham untuk membantu meningkatkan sirkulasi uang. Pada masa kekhilafahan Umar juga diterbitkan surat pembayaran cek yang penggunaannya diterima oleh masyarakat. Menurut Al-Yaqubi, Umar mengintruksikan untuk mengimpor sejumlah barang dagangan dari Mesir ke Madinah. Karena barang yang diimpor jumlahnya cukup besar, pendistribusiannya menjadi terhambat. Oleh karena itu, Khalifah Umar menerbitkan sejumlah cek kepada orang-orang yang berhak dan rumah tangga sehingga secara bertahap setiap orang dapat pergi ke bendahara kaum muslimin dan mengumpulkan hartanya. Penggunaan sejumlah cek oleh Khalifah Umar yang diterima oleh publik menunjukkan penggunaanya sebagai alat pembayaran di periode awal Islam (Sadr, 1989). Ditaklukannya Persia percetakan uang logam terus beroperasi. Pada masa khalifah Usman bin Affan sudah ada mata uang yang bertuliskan Bismillah, Barakah, Bismillah Rabbi, Allah dan Muhammad dengan jenis tulisan Kufi (Al Maqrizy, 1988:60). Bahkan Usman memperlakukan kaum Muhajirin tidak seperti pada masa Umar yang tidak boleh berpindah-pindah. Kaum Muhajirin diperbolehkan berpindah-pindah di segenap imperium yang tadinya dilarang, dan memperoleh kekayaan yang cukup berlimpah dan menikmati kesenangan. Hidup serba mudah daripada di masa Umar yang harus menahan diri (Haikal, 1973:119). Secara alamiah transaksi yang berada di daerah Mesir atau Syam menggunakan dinar sebagai alat tukar, sementara itu di kekaisaran Persia menggunakan dirham. Ekspansi yang dilakukan Islam ke wilayah kekaisaran Persia  (Irak, Iran, Bahrain, Transoxania) dan kekaisaran Romawi (Syam, Mesir, Andalusia) menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan pada masa pemerintahan Imam Ali, dinar dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang digunakan (Sadr, 1989). Ketika mata uang masih diimpor, kaum muslimin hanya mengontrol kualitas uang impor itu, namun setelah mencetak sendiri kaum muslimin secara langsung mengawasi penawaran uang yang ada (Sadr, 1989). Khalifah Ali bin Abi Thalib mencetak dirham mengikuti model Khalif Usman bin Affan dan menuliskan di lingkarannya salah satu kalimat Bismillah, Barakah, Bismillah Rabbi dan Rabiyallah dengan jenis tulisan Kufi (Al-Naqsyabandi, 1969:22).