Articles
16 Documents
Search results for
, issue
"1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT"
:
16 Documents
clear
MENGUNJUNGI KOTA LAMA DAN KOTA BARU CINA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (111.777 KB)
      Secara umum status sosial dan ekonomi masyarakat Cina Daratan belumlah setinggi Hong Kong. Masih banyak orang miskin di Cina, sebaliknya jumlah orang miskin di Hong Kong jumlahnya relatif amat sedikit. Di samping didasarkan pada berbagai studi ilmiah maka keadaan ini secara sepintas juga dapat dilihat dari penampilan masyarakat sehari-hari di berbagai kota.       Apabila di Hong Kong hampir tidak ada lagi orang naik sepeda untuk keperluan bisnisnya maka pemandangan orang beramai-ramai mengurus bisnis dengan naik sepeda ini sangat mudah dilihat pada berbagai kota di Cina; misalnya saja di Shanghai, Guangzhou, Xian, dsb, bahkan juga termasuk di ibu kota Beijing. Pemandangan seperti ini lebih gampang lagi ditemukan di kota-kota kecil, di samping juga di daerah pedesaan. Memang, nampaknya sepeda merupakan simbol kultural bagi masyarakat Cina; akan tetapi disamping itu banyak orang yang menyatakan bahwa sepeda kini merupakan lambang kemiskinan masyarakat Cina.       Kota-kota di Cina pada umumnya secara fisik juga terkesan lebih kumuh daripada kota-kota di Hong Kong. Di samping itu masyarakat Cina pada umumnya terkesan tidak seintelek masyarakat Hong Kong; meskipun kami tidak bermaksud mengatakan masyarakat Cina lebih bodoh daripada masyarakat Hong Kong.     Kalau World Economic Forum (WEF) dalam publikasi ilmiahnya baru-baru ini mendudukkan Hong Kong pada urutan kedua dalam hal kemampuan daya saing ekonomi negara di pasar internasional maka lembaga itu mendudukkan Cina pada urutan di atas 30 dari 49 negara yang ditelitinya. Memang sangat jauh terpautnya. Keadaan ini sebe-narnya dapat menunjukkan bahwa secara ekonomi Cina masih sulit bersaing dengan Hong Kong.
KASUS TOMMY MORISON DAN SOAL MENCEGAH AIDS
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (118.108 KB)
Ketika akhir-akhir ini banyak koran dan media elektronik gencar memberitakan petinju kelas berat pujaan orang (kulit putih) Amerika Serikat (AS) Tommy Morison yang di-KO oleh penyakit AIDS segera saya teringat lagi pertemuan dengan seorang teman dari AS di Tokyo, Jepang kira-kira setahun yang lalu.       Dalam pertemuan tersebut dia mengatakan bahwa saat ini banyak orang AS yang cemas dan takut dengan makin banyaknya kasus AIDS yang melanda masyarakat AS itu sendiri. Seperti kita ketahui,katanya, sekarang ini banyak orang-orang AS dari berbagai profesi (manager, sporter, entertainer, enterpriser,, dsb) yang terkena AIDS. Di sisi lainnya kecemasan dan ketakutan itu sendiri makin meningkat dengan adanya sinyalemen bahwa ternyata bukan orang dewasa dan orang tua saja yang telah terkena kasus AIDS akan tetapi banyak anak-anak dan remaja AS yang mulai terkena kasus AIDS, setidak-tidaknya sangat berpotensi untuk terkena penyakit AIDS.      Konon banyak orang Amerika yang "merelakan" orang-orang tua dan orang-orang dewasanya untuk terkena AIDS, tentu saja bagi yang sudah terlanjur positif AIDS; tetapi tidak untuk anak-anak dan remaja. Walaupun kehidupan di AS terkenal bebas, termasuk soal ganti-ganti pasangan dalam melakukan hubungan seksual sebagai salah satu deter-minan AIDS, tetapi masyarakat AS tetap sangat "berkeberatan" kalau penyakit yang benar-benar mengerikan tersebut harus berjangkit pada anak-anak dan remaja.      Masyarakat AS sangat menyadari bahwa masa depan bangsa dan negaranya sangatlah tidak mungkin diserahkan kepada generasi yang (pernah) terjangkiti AIDS. Meskipun mereka yakin bahwa suatu saat nanti penyakit AIDS akan dapat disembuhkan akan tetapi mereka tetap cemas dan takut.
BENARKAH MATEMATIKA HANYA MILIK ANAK SEKOLAH DI KOTA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (118.026 KB)
      Baru-baru ini di Yogyakarta telah digelar lomba Matematika bagi siswa SD, SLTP dan SMU di Jawa Tengah dan DIY. Lomba yang antara lain disponsori oleh SKH Kedaulatan Rakyat ini ternyata cukup menarik minat masyarakat;buktinya sebanyak 450 siswa dari berbagai sekolah ikut aktif sebagai peserta. Mereka ada yang datang dari jauh; Semarang, Demak, Pati, Sokahardjo, Magelang, dan sebagainya.      Kedatangan para peserta yang dari jauh tersebut merupakan suatu fenomena yang positif; di tengah-tengah banyaknya para siswa yang merasa "ketakutan" terhadap bidang studi Matematika ternyata masih banyak pula yang mempunyai hobby "ilmu dasar" tersebut. Memang harus kita akui bahwa sampai saat ini masih banyak anak didik yang menganggap Matematika sebagai momok sehingga sedapat mungkin mereka akan menghindarkan diri untuk berakrab-akrab dengan bidang studi tersebut.      Lebih daripada itu ada pula siswa di sekolah yang menaruh rasa tidak senang terhadap Matematika sejak sebelum mereka dikenalkan dengan ilmu dan rumus-rumusnya. Keadaan ini juga dialami oleh para siswa di beberapa negara; katakanlah di Singapura, Malaysia, Brunai, Thailand, dan sebagainya. Pemerintah Singapura sampai membangun Singapore Science Centre (SSC) yang salah satu ruangan besarnya diisi koleksi benda-benda matematis.Para siswa "digiring" ke ruangan ini agar mereka mendapatkan gambaran konkrit dari dunia ilmu pasti ini; dengan demikian mereka diharapkan tidak takut terhadap Matematika, bahkan kalau mungkin dapat menyenanginya.      Visualisasi matematis sebagaimana yang dilakukan oleh pemerin-tah Singapura tersebut memang cukup membantu. Banyak anak-anak SD dan SLTP yang setelah melihat dan mengamati benda-benda mate-matis menjadi tertarik pada Matematika; dan kemudian mereka pun menjadi bersemangat untuk mempelajarinya.
PASAL GLOBALISASI, "ANAK TELEVISI" DAN BUDI PEKERTI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (114.676 KB)
      Perjalanan kultural bangsa Indonesia tengah memasuki era baru era industrialisasi dan era globalisasi. Kalau era industrialisasi tertandai dengan terjadinya transformasi pada konsentrasi sumber investasi maka era globalisasi tertandai dengan terjadinya transparansi hampir pada semua bidang kehidupan.      Kalau selama ini mayoritas masyarakat Indonesia masih meletakkan konsentrasi sumber investasi pada tanah pertanian dan perkebunan (preindustrial society), maka kita dituntut mengubah ke permesinan dan jasa (industrial society). Itu pun ternyata belum cukup; karena di depan kita ada "mesin budaya" yang menarik kita untuk meletakkan konsentrasi sumber investasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi (post industrial society). Untuk menuju perjalanan ke depan diperlu-kan perjuangan yang tidak ringan karena sangat beragamnya potensi budaya antar kelompok masyarakat kita sendiri.      Sekarang ini kita sedang menghadapi gelombang perubahan yang maha dahsyat; dari kultur yang konvensional menuju kultur yang tek-nologis, dari kultur yang semi tradisional menuju kultur yang modern. Semua ini menjadi tantangan baru bagi bangsa kita.      Dunia kita sekarang adalah dunia yang serba transparan; dengan diaplikasikannya teknologi di semua bidang kehidupan maka terjadilah sistem informasi yang tak mengenal batas (borderless information). Dengan kekuatan teknologi maka sistem distribusi informasi sanggup menembus dinding-dinding geografis, pagar-pagar sosial, filter-filter budaya dan tembok-tembok politik antar bangsa; karenanya informasi yang terjadi di suatu tempat dapat dinikmati di tempat lain pada waktu yang sama. Dunia global kita terasa menjadi sempit namun kita tetap dituntut memiliki wawasan luas untuk berenang didalamnya.
INDONESIA TAWARKAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (123.906 KB)
      Ketika berbicara tentang pendidikan keunggulan maka yang ada dibenak kita biasanya adalah prestasi akademik, standard pendidikan, penguasaan ilmu dan teknologi, pengembangan kreativitas dan potensi, kepintaran (geniusitas), dan sebagainya. Artinya anak yang unggul selanjutnya diterjemahkan sebagai anak yang prestasi akademiknya memadai, memiliki standard pendidikan yang tinggi, menguasai ilmu dan teknologi secara memadai pula, potensi dan kreativitasnya dapat berkembang secara proporsional, geniusitasnya terekspresikan dalam perilaku sosial, dan sebagainya.      Atas persepsi seperti itu maka sekolah-sekolah unggul kemudian menyiapkan perangkat untuk mendidik anak agar mampu berprestasi akademik, menguasai ilmu dan teknologi, potensial dan kreatif, serta menjadi "genius".      Apa yang dilakukan oleh pihak sekolah kemudian menyediakan sarana dan fasilitas belajar yang solid: membangun laboratorium yang lengkap, menyediakan ruang perpustakaan yang sejuk, menyediakan buku-buku yang lengkap, membangun ruang belajar yang bersih, dan sebagainya. Dengan disediakannya sarana dan fasilitas belajar yang lengkap ini diharapkan anak pun menjadi lebih "krasan" membaca buku dan melakukan berbagai eksperimentasi; dan akhirnya jadilah mereka anak-anak yang unggul.      Itu semua memang tidak salah. Itu semua memang benar. Anak yang unggul harus berprestasi akademik secara memadai, berstandard pendidikan yang tinggi, menguasai ilmu dan teknologi, potensial dan kreatif, serta "genius"; akan tetapi itu semua belum cukup kalau tidak masuk indikator budi pekerti. Artinya anak yang unggul adalah anak yang berbudi pekerti luhur.
TENTANG KI HADJAR DEWANTARA DAN PENDIDIKAN NASIONAL
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (125.758 KB)
"Sungguh, seandainya aku seorang Nederlander, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih dahulu berilah kemerdekaan kepada rakyat atau bangsa yang masih kita kuasai itu, barulah boleh orang memperingati kemerdekaannya sendiri".                                                ( Ki Hadjar Dewantara, 1913 )      Itulah sepotong kalimat protes yang ditulis pada tahun 1913 oleh Ki Hadjar Dewantara, yang ketika itu masih bernama R.M. Soewardi Soerjaningrat, dalam karyanya yang sangat terkenal Als Ik Eens Ne-derlander Was. Kalimat itu pulalah yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda menjadi marah; ada pemuda Indonesia yang secara terang-terangan berani menentang kebijakan pemerintah kolonial.      Peristiwa yang sangat bersejarah tersebut bermula dari rencana pemerintah kolonial Belanda yang akan merayakan genap 100 tahun kemerdekaannya dari tangan Perancis. Perayaan ini akan dilakukan di Belanda dan negara-negara jajahannya, termasuk Indonesia. Adapun rencananya, perayaan kemerdekaan Belanda di Indonesia akan dilaksanakan secara besar-besaran dan hura-hura pada 15 November 1913. Dari segi apapun rencana ini tentu tidak pas. Bagaimana tidak,mereka merayakan kemerdekaan di tanah jajahan; mereka merayakan kemerdekaan sambil menjajah bangsa lain.      Rencana itu langsung diprotes oleh Ki Hadjar melalui dua tulisan: Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua tetapi Semua untuk Satu Juga). Di dalam tulisannya ini Ki Hadjar juga menyatakan bahwa rencana Belanda yang demikian itu benar-benar telah menyinggung perasaan dan hati nurani bangsa Indonesia; meski rakyat Indonesia (waktu itu) masih dalam keadaan terjajah.
HISTORIA PAPE DAN KONGRES TAHUNANNYA
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (118.064 KB)
      Apabila salah satu pasal undang-undang pendidikan nasional kita menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan nasional itu tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama dengan orang tua dan masyarakat kiranya memang tepat adanya. Dalam realitanya masyarakat dunia pun meyakini bahwa pendidikan itu memang menjadi tanggung jawab bersama di antara pemerintah dan masyarakat. Bahkan lebih daripada itu bukan saja ma-syarakat lokal maupun masyarakat nasional tetapi pendidikan itu telah menjadi tanggung jawab masyarakat internasional.      Itulah sebabnya maka berbagai organisasi pendidikan tingkat internasional segera terbentuk untuk memecahkan berbagai proble-matika pendidikan itu sendiri. Salah satu dari organisasi pendidikan internasional itu adalah Pan-Pasific Association of Private Edu-cation (PAPE). PAPE merupakan organisasi pendidikan yang ang-gotanya berasal dari negara-negara Pasifik dan sekitarnya.      Apabila dirunut, PAPE lahir di Jepang pada tanggal 8 November 1979 sebagai hasil kesepakatan bersama utusan negara-negara Pasifik yang diundang oleh pemerintah Jepang dalam rangka memperingati 30 tahun Undang-Undang Perguruan Swasta (Private School Law). Hadir dalam acara yang bersejarah tersebut antara lain utusan dari Amerika Serikat, Canada, Taiwan, Thailand, New Zealand, Singapore dan sebagainya; tidak ketinggalan dari Indonesia.      Dalam pertemuan perdana tersebut para utusan merasakan perlu adanya semacam kegiatan bersama yang dapat menghimpun kekuatan swasta untuk mengoptimasi perannya dalam dunia pendidikan. Berke-naan dengan hal ini maka selanjutnya mereka bersepakat membentuk PAPE sebagai organisasi yang menghimpun kekuatan tersebut.
MENCARI MODEL PENDIDIKAN MENGEMBANGKAN POTENSI ANAK GENIUS
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (122.827 KB)
Sungguh saya beruntung memperoleh kritik yang konstruktif dari Bapak Wardiman Djojonegoro, menteri pendidikan kita. Kritik beliau berkaitan dengan penyelenggaraan sekolah di Perguruan Tamansiswa LNG Arun, Aceh. Dalam kritiknya beliau mengatakan kenapa tidak ada perlakuan yang berbeda antara siswa pandai dan kurang pandai, kan hal ini dapat merugikan siswa yang kurang pandai. Dari kritik tersebut akhirnya beliau menyarankan sebaiknya diadakan perlakuan yang berbeda antara siswa yang pandai dan kurang pandai agar kedua kelompok siswa ini dapat dikembangkan secara lebih proporsional.      Atas kerja sama di antara Majelis Luhur Tamansiswa dengan PT Arun, Aceh maka didirikanlah beberapa sekolah dari TK s/d SMA. Barangkali karena sekolah-sekolah ini termasuk terbaik di Indonesia maka Pak Menteri berkenan mengunjunginya. Kekhasan dari sekolah-sekolah ini adalah kandidat siswa yang masuk TK, SD, SMP, dan SMA tidak dikenakan tes; siapa saja (yang bodoh, yang sedang, dan yang pandai) wajib diterima.      Sebagaimana dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya mereka semua diajar secara klasikal tanpa ada perbedaan perlakuan di antara yang pandai, sedang dan kurang pandai. Di sinilah letak kejelian Pak Wardiman; meskipun dengan cara klasikal-konvensional seperti ini pencapaian prestasi akademik siswa sudah relatif tinggi akan tetapi hal itu akan dapat lebih tinggi lagi kalau ada perlakuan berbeda di antara siswa berdasarkan peringkat "dasar"nya. Dan yang penting, menurut beliau, siswa yang pandai tidak dirugikan dan yang kurang pandai pun merasa lebih diperhatikan.      Meskipun kritik tersebut diberikan kepada saya (maksudnya pada Tamansiswa) tetapi kiranya berlaku pula bagi para penyelenggara dan pelaksana sekolah di Indonesia pada umumnya.
MEMUTAR RODA PENDIDIKAN DENGAN ENERJI BARU
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (109.839 KB)
     Mulai tanggal 1 April 1996 ini roda-roda pendidikan nasional kita akan diputar dengan "enerji" baru; yaitu dengan dana yang meningkat secara signifikan kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Seperti kita ketahui anggaran sektor pendidikan dan kebudayaan di dalam formulasi RAPBN 1996/1997 mengalami kenaikan dibanding APBN 1995/1996; yaitu dari 3,36 trilyun rupiah naik menjadi 3,97 trilyun rupiah. Anggaran pendidikan ini harus didistribusi ke berbagai subsektor sekaligus; yaitu subsektor pendidikan umum, pendidikan luar sekolah dan kedinasan, kebudayaan nasional dan kepercayaan ter-hadap Tuhan YME, serta subsektor pemuda dan olah raga.      Dari subsektor-subsektor pendidikan tersebut selanjutnya masih harus didistribusi lagi ke berbagai alokasi; misalnya anggaran subsektor pendidikan umum masih harus didistribusi ke alokasi pendidikan dasar, alokasi pendidikan menengah dan alokasi pendidikan tinggi.       Yang cukup menarik kita cermati dalam pengalokasian anggaran subsektor pendidikan umum tahun ini adalah pada alokasi pendidikan dasar (dikdas) dan alokasi pendidikan tinggi (dikti). Anggaran dikdas yang jumlahnya sudah tinggi ternyata mengalami kenaikan. Tahun ini anggaran dikdas hampir mencapai satu trilyun rupiah, atau tepatnya 903,8 milyar rupiah. Anggaran ini terdiri dari dua sumber, masing-masing anggaran rupiah murni dari RAPBN 1996/1997 sebesar 677,6 milyar rupiah dan bantuan luar negeri sebesar 226,2 milyar rupiah.      Anggaran dikti juga tidak kalah menariknya; meskipun jumlahnya tidak lebih besar dari anggaran dikdas akan tetapi kenaikannya ternyata sangat significance, yaitu dari 469 milyar rupiah di tahun anggaran 1995/1996 menjadi 603,3 milyar rupiah di tahun anggaran 1996/1997. Nilai kenaikan yang mencapai 28,64 persen ini tentu sangatlah tinggi mengingat anggaran pendidikan itu sendiri secara keseluruhan nilai kenaikannya kurang dari 19 persen.
SENTRA KEUNGGULAN DI KAWASAN ASIA PASIFIK
Supriyoko, Ki
ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA 1996: HARIAN KEDAULATAN RAKYAT
Publisher : ARTIKEL KORAN DAN MAJALAH DOSEN UNIVERSITAS AMIKOM YOGYAKARTA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (120.303 KB)
      Relevan dengan tema yang diambil dalam Kongres Ke-18 PAPE kali ini, yaitu Private School Education : A Commitment to Excellence, maka hampir semua pembawa country paper dari tiap negara menekankan perlunya untuk membangun sentral keunggulan (centre of excellence) di Kawasan Asia Pasifik pada umumnya dan di negara-nya masing-masing pada khususnya. Hanya dengan mengembangkan praktek keunggulan disegala bidang maka kita akan tetap bertahan dan berprestasi; dan tanpa keunggulan maka jangan harap kita dapat ber-prestasi, bahkan untuk bertahan pun rasanya agak sulit.     Di luar Indonesia, Canada dan USA maka anggota-anggota PAPE umumnya merupakan negara-negara "kecil" dengan sumber daya alam yang tidak terlalu luar biasa. Mereka umumnya kurang memiliki ke-unggulan komparatif yang hebat; oleh karenanya untuk memenangkan persaingan global yang semakin tajam mereka harus memacu kualitas sumber daya manusianya hingga akan mendapatkan keunggulan kom-petitif yang memadai.      Bagaimana New Zealand, Singapura, Thailand, Hong Kong, Tai-wan, dsb, akan mampu bertahan kalau masing-masing tidak memiliki keunggulan kompetitif yang memadai. Indonesia pun yang oleh negara lain dikenal memiliki keunggulan komparatif yang handal tak mungkin dapat berprestasi di tingkat internasional tanpa mempunyai keunggulan kompetitif yang memadai.      Itulah sebabnya maka masalah keunggulan menjadi pembicaraan yang teramat sentral dalam Kongres Ke-18 PAPE di Hong Kong. Dan beruntung masing-masing anggota delegasi memang menyadari posisi Kawasan Asia Pasifik yang amat strategis untuk dikembangkan secara bersama-sama; setidak-tidaknya melalui praktek pendidikannya.