Articles
13 Documents
Search results for
, issue
"Vol 11, No 6 (2010)"
:
13 Documents
clear
Kortikosteroid sebagai Profilaksis Nefritis pada Purpura Henoch-Schonlein
Ratih Dewi Palupi;
Zakiudin Munasir
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (81.027 KB)
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.409-14
Purpura Henoch-Schonlein (PHS) merupakan penyakit vaskulitis tersering pada anak. Sebagian besarkasus PHS bersifat sembuh sendiri (self-limiting). Morbiditas dan mortalitas jangka panjang PHS berkaitandengan keterlibatan ginjal. Nefropati persisten terjadi pada 1% dari keseluruhan kasus PHS dan kurang dari1% mengalami progresifitas menjadi gagal ginjal terminal. Tata laksana PHS terutama bersifat suportif.Kortikosteroid digunakan pada kasus PHS dengan nyeri perut, edema subkutan, dan nefritis. Penggunaankortikosteroid sebagai profilaksis terjadinya gangguan ginjal pada PHS masih merupakan kontroversi.Pemberian kortikosteroid dini tidak dapat mencegah terjadinya keterlibatan ginjal pada PHS namun dapatmengurangi beratnya manifestasi gastrointestinal dan mengurangi risiko kelainan ginjal persisten.
Terapi Farmakologis Duktus Arteriosus Paten pada Bayi Prematur: Indometasin atau Ibuprofen?
Henry Gunawan;
Risma Kerina Kaban
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.401-8
Duktus arteriosus paten (DAP) merupakan kelainan yang sering dijumpai pada bayi prematur. Salah satuupaya tata laksana DAP adalah pemberian terapi farmakologis guna memicu penutupan duktus. Sediaanterapi farmakologis yang umumnya digunakan adalah indometasin, suatu penghambat siklooksigenase(COX). Namun akhir-akhir ini diperkenalkan sediaan ibuprofen sebagai alternatif terapi farmakologisyang memiliki efektifitas setara. Dilaporkan seorang bayi prematur (usia gestasi 30 minggu) dengan duktusarteriosus paten yang berhasil di obati menggunakan ibuprofen. Tinjauan literatur menunjukkan terapiibuprofen pada bayi prematur dengan duktus arteriosus paten memiliki efektifitas tingkat penutupan duktusyang setara dengan indometasin dengan efek samping serebral, gastrointestinal dan renal yang lebih rendah.Keamanan penggunaan ibuprofen pada bayi prematur dengan hiperbilirubinemia masih belum jelas karenaefek peningkatan bilirubin yang ditimbulkannya mungkin meningkatkan risiko ensefalopati bilirubin. Dipihak lain, sediaan ibuprofen peroral tampak memiliki efektifitas yang setara dengan sediaan intravena danefek samping yang terkesan lebih rendah
Sildenafil Sebagai Pilihan Terapi Hipertensi Pulmonal Pascabedah Jantung Koreksi Penyakit Jantung Bawaan pada Anak
Yogi Prawira;
Piprim B. Yanuarso
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (108.336 KB)
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.456-462
Definisi hipertensi pulmonal (HP) pada anak dan dewasa adalah sama, yaitu bila mean pulmonary arterialpressure ô€²25 mmHg saat istirahat atau ô€²30 mmHg saat aktivitas. Pada anak pascabedah koreksi penyakitjantung bawaan (PJB), HP berat merupakan komplikasi yang sangat dikhawatirkan, dengan angka kejadiansekitar 2%. Sildenafil telah digunakan secara luas pada pasien HP dewasa, baik sebagai terapi tunggalmaupun kombinasi. Makalah ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian sildenafil pada anak denganHP pascabedah jantung koreksi. Kedua pasien dirujuk ke RS Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta (RSCM)dengan keluhan tampak biru, sesak terutama saat menetek, dan berat badan sulit naik. Saat itu keduapasien didiagnosis memiliki kelainan jantung bawaan berupa transposisi arteri besar (TGA), defek septumventrikel (VSD) dan HP. Operasi koreksi total (arterial switch dan penutupan VSD) dilakukan pada saatpasien pertama berusia 3 bulan 10 hari dan pasien kedua berusia 4 bulan 22 hari. Kedua pasien mendapatinhalasi nitric oxide (iNO), inhalasi iloprost, dikombinasikan dengan sildenafil oral, dengan dosis awal 0,5mg/kg berat badan (BB) per kali tiap 6 jam dengan pemantauan tekanan arteri berkala. Pasien pertamadipulangkan pada hari ke-23 pascabedah dan mendapat sildenafil oral dengan penurunan dosis bertahapdalam kurun waktu 6 bulan. Pasien kedua dipulangkan pada hari ke-12 pascabedah dan masih mendapatterapi sildenafil oral dengan dosis yang sama sampai hari ini. Pada kedua pasien tidak dilaporkan kejadianefek samping. Sebagai kesimpulan sildenafil efektif dalam memperbaiki hemodinamika pembuluh darahpulmonal dan bekerja secara sinergik dengan iNO. Sildenafil oral merupakan terobosan terapi yang menarikdan cukup efektif karena mudah pemberiannya dan memiliki efek samping minimal.
Nistatin Oral Sebagai Terapi Profilaksis Infeksi Jamur Sistemik pada Neonatus Kurang Bulan
Rini Andriani;
Lily Rundjan
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (84.881 KB)
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.420-27
Infeksi jamur sistemik merupakan salah satu penyebab utama sepsis dan kematian pada neonatus. Neonatuskurang bulan memiliki risiko lebih tinggi terkena infeksi jamur sistemik dibandingkan dengan neonatuscukup bulan. Terdapat beberapa faktor risiko terjadi infeksi jamur sistemik pada neonatus diantaranyaadalah kolonisasi jamur. Tindakan pencegahan terhadap infeksi jamur pada neonatus pada prinsipnya samadengan tindakan pencegahan infeksi lainnya. Penting dilakukan tindakan untuk memodifikasi faktor risikodalam hal ini. Pencegahan khusus dapat dilakukan dengan memberikan antijamur seperti nistatin untukmencegah kolonisasi. Pemberian terapi profilaksis antijamur terbukti menurunkan angka kejadian infeksijamur sistemik. Efek samping, toksisitas, biaya, dan kemungkinan terbentuknya galur (strain) yang resistenmenjadi hal utama yang harus dipertimbangkan dalam pemberian terapi profilaksis. Disajikan beberapapenelitian mengenai pemakaian nistatin sebagai terapi profilaksis yang telah dilakukan di berbagai negarauntuk menilai efektifitas nistatin oral sebagai terapi profilaksis infeksi jamur sistemik pada neonatus kurangbulan disertai contoh kasus
Peran Operasi Kasai pada Pasien Atresia Bilier yang Datang Terlambat
Elina Waiman;
Hanifah Oswari
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (89.325 KB)
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.463-70
Kasus atresia bilier di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta selamasepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan. Namun disayangkan pasien pada umumnya datangberobat terlambat, sehingga telah terjadi sirosis bilier dengan prognosis buruk. Operasi Kasai merupakanpilihan tata laksana utama pasien dengan atresia bilier, karena keterbatasan melakukan transplantasi hatidi Indonesia. Dari penelusuran literatur didapatkan bahwa keberhasilan operasi Kasai dipengaruhi olehberbagai faktor, antara lain keadaan histologi hati dan tipe atresia bilier, kadar bilirubin serum dan kejadiankolangitis asenden pascaoperasi, serta pengalaman pusat pelayanan yang bersangkutan dalam melakukanoperasi Kasai dan perawatan pascaoperasi. Apabila operasi dilakukan pada pasien yang berusia lebih darienampuluh hari, umumnya hasil tidak memuaskan. Namun, beberapa peneliti melaporkan sejumlah pasienyang dioperasi pada usia lebih dari enampuluh hari memiliki kesintasan hingga 10-15 tahun pascaoperasi.Hal ini menjadi peringatan kepada petugas kesehatan terutama dokter anak agar dapat mendeteksi atresiasecara dini dan merujuk pada saat yang tepat sehingga meningkatkan kesintasan jangka panjang pasien atresiabilier. Edukasi dan informasi kepada masyarakat mengenai bayi yang mengalami kuning berkepanjangantampaknya perlu disosialisasi kembali.Â
Penggunaan Granulocyte Colony-Stimulating Factor pada Pasien Tumor Padat yang Mengalami Neutropenia
Rosary Rosary;
Hikari Ambara Sjakti
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (77.707 KB)
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.428-33
Infeksi yang terkait dengan neutropenia pasca kemoterapi merupakan salah satu penyebab morbiditas danmortalitas yang cukup sering pada pasien kanker. Neutropenia pasca kemoterapi selain akan memperpanjanglama rawat dan meningkatkan risiko infeksi, juga menyebabkan tertundanya pemberian kemoterapi danpengurangan dosis kemoterapi. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesintasan pasien.Hematopoietic growth-stimulating factor adalah sitokin yang mengatur proliferasi, diferensiasidan fungsi sel hematopoietik. Penggunaan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) dan granulocytemacrophagecolony-stimulating foctor(GM-CSF) saat ini banyak diteliti pada pasien kanker yang berisikomengalami neutropenia. Pemberian G-CSF pada manusia menyebabkan peningkatan neutrofil yangbersirkulasi karena berkurangnya masa transit dari sel induk menjadi neutrofil matur, oleh karenanyazat ini sering dipakai untuk mengatasi neutropenia. Tujuan penulisan untuk mengetahui kegunaanyapada pasien tumor padat yang mengalami neutropenia.
Alternatif Terapi Inisial Sindrom Nefrotik untuk Menurunkan Kejadian Relaps
Reni Wigati;
Eka Laksmi
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (70.494 KB)
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.415-19
Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal yang paling sering ditemukan pada anak. Pernberiansteroid sebagai terapi SN telah terbukti efektif untuk mencapai kondisi remisi (94%) namun insidens relapsmasih tinggi, yaitu hampir 60%. Untuk tata laksana SN pada anak di Indonesia, Unit Kerja KoordinasiNefrologi Ikatan Dokter Anak indonesia telah menyusun konsensus sesuai dengan rekomendasi empirisInternational Study for Kidney Disease in Children (ISKDC). Terapi inisial diberikan prednison dosis penuh60 mg/m2 LPB/hari selama empat minggu dilanjutkan dengan dosis 40 mg/m2 LPB/hari selang sehariselama empat minggu (terapi standar). Makalah ini membahas perbandingan terapi standar dengan terapiinisial yang diperpanjang atau dikombinasi dengan obat imunosupresif lain, apakah terapi alternatif inidapat mengurangi kejadian relaps tanpa meningkatkan efek samping. Kesimpulan dari telaah ini adalahprednison inisial yang diperpanjang terbukti dapat menurunkan kejadian relaps tanpa meningkatkan efeksamping yang berarti. Alternatif lain yaitu kombinasi prednison dengan siklosporin A yang tampaknya jugsmenjanjikan hasil yang balk
Pengantar Evidence-Based Case Reports
Partini Pudjiastuti
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (91.106 KB)
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.385-6
Evidence-based case report (EBCR) merupakan suatu metode penulisan atau pelaporan sebuah kasus atau masalah klinis dengan pendekatan berbasis bukti. Metode atau desain pelaporan kasus EBCR merupakan bentuk aplikasi evidence-based medicine (EBM) yang telah banyak dipublikasikan di jurnal internasional, seperti Journal of Evidence-Based Medicine, Evidence-Based Mental Health, British Medical Journal and British Journal of Psychiatry. Naskah EBCR umumnya ditulis secara ringkas dengan jumlah kata maksimum 2500, mengandung 4 ilustrasi (grafik, tabel, foto pasien) dan 24 rujukan atau referens. Sebagai layaknya sebuah laporan kasus, maka EBCR terdiri atas beberapa bagian.a. Pendahuluanb. Kasus atau skenario klinisc. Rumusan masalahd. Metode /strategi penelusuran buktie. Hasil penelusuran buktif. Diskusig. Kesimpulanh. Daftar pustaka
Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson?
Sondang Sidabutar;
Hindra Irawan Satari
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.434-9
Demam tifoid pada anak besar (lebih dari usia sepuluh tahun) pada umumnya mempunyai gambaran klinisdemam tifoid menyerupai dewasa. Demikian juga derajat berat penyakit akan lebih parah dibandingkanpasien anak yang lebih muda. Oleh karena itu, pengamatan keadaan klinis pasien selama mendapatpengobatan harus dievaluasi dengan cermat terutama mengenai parameter keberhasilan pengobatan sepertikeadaan umum, suhu, gejala intestinal, komplikasi baik intra maupun ekstra intestinal, hitung leukosit, fungsihati, dan asupan cairan serta nutrisi. Pemeriksaan biakan darah terhadap Salmonella typhi merupakan bakuemas untuk diagnosis demam tifoid. Walaupun pada saat ini telah terdapat berbagai uji diagnostik cepat(rapid diagnostic test) yang dapat dipergunakan untuk pasien rawat jalan, untuk pasien rawat inap harusdilakukan pemeriksaan biakan Salmonella typhi. Selain untuk menegakkan diagnosis, adanya biakan positifsangat berguna untuk menilai apakah pengobatan empiris yang diberikan saat pertama kali pasien datang kerumah sakit sudah tepat. Perlu diperhatikan bahwa uji resistensi bakteri harus disertakan pada hasil biakan.Hasil uji resistensi diperlukan dalam menilai antibiotik pilihan alternatif apabila pengobatan empiris tidakseperti yang kita harapkan. Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan pengobatan lini pertama untukdemam tifoid pada anak yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.Namun saat ini banyak dilaporkan adanya keadaan multidrug resistance Salmonella typhi (MDSRT), sepertidilaporkan di Pakistan, Mesir, dan Thailand. Maka untuk kasus MDRST diberikan pilihan pengobatanlini kedua yaitu seftriakson atau kuinolon. Namun karena penggunaan kuinolon masih kontroversi untukanak mengingat dapat menyebabkan artropati, maka seftriakson menjadi pilihan kedua untuk demam tifoidpada anak.
Penggunaan Steroid dalam Tata Laksana Sepsis Analisis Kasus Berbasis Bukti
Ariani Dewi Widodo;
Alan Roland Tumbelaka
Sari Pediatri Vol 11, No 6 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (106.44 KB)
|
DOI: 10.14238/sp11.6.2010.387-94
Sepsis merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di rumah sakit dengan mortalitas 50%-60%,meskipun dengan terapi antibiotik dan tata laksana suportif yang adekuat. Steroid merupakan pilihanterapi pada sepsis yang masih kontroversial sejak empatpuluh tahun yang lalu. Muncul pertanyaan klinis,apakah pemberian steroid memberikan respon terapi lebih baik dan meningkatkan kesintasan pada sepsisdibandingkan terapi konvensional? Ilustrasi kasus dan penelusuran kepustakaan menggunakan instrumenpencari Pubmed, Highwire, dan Cochrane Library sesuai kata kunci.Pada penelusuran didapatkan 16 artikel yang relevan 4 telaah sistematik, 9 uji klinis acak terkontrol, 1 kohort,dan 2 review. Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi Oxford atau Methodologic QualityForm dari Cronin. Kortikosteroid dosis rendah jangka panjang sebaiknya diberikan pada semua syok septikdependen vasopresor. Kortikosteroid tidak dianjurkan pada sepsis tanpa syok. Kortikosteroid dosis tinggidapat membahayakan pada sepsis berat dan syok septik. Steroid diberikan berdasarkan keputusan klinis,bukan hasil laboratorium maupun protokol. Kortikosteroid memperbaiki keadaan syok septik persistendan lebih cepat memulihkan gangguan hemodinamik, sehingga menurunkan mortalitas