Sudanta, I Nyoman
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

EKSISTENSI PEMENTASAN WAYANG KULIT PARWA SUKAWATI PADA ERA GLOBALISASI I Nyoman Sudanta
VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia Vol 2 No 1 (2019): Vidya Wertta, Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia
Publisher : FAKULTAS ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (515.114 KB) | DOI: 10.32795/vw.v2i1.345

Abstract

Artikel ini mengkaji tentang eksistensi Wayang Kulit Parwa Sukawati di Era Globalisasi. Bertahannya wayang kulit Parwa Sukawati pada era Globalisasi meliputi faktor sebagai berikut yakni: (1) Tumbuh Daya Kreativitas dan Inovasi Para Dalang Wayang Kulit Parwa Sukawati Dalam Menghadapi Era Globalisasi, yaitu berkembangnya kreativitas para dalang, namun kekhasan pementasan Wayang Kulit Sukawati yang lebih menonjolkan nilai filosofis dalam kemasan pementasannya, (2) Wayang Parwa Sukawati banyak diminati wisatawan manca negara yang memiliki peranan transformatif pada kesenian ini melalui beragam prototipe yang kemudian dikenal hingga ke Mancanegara, (3) Wayang Kulit Parwa Sukawati mampu beradaptasi menghadapi perkembangan era globalisasi.
BONDRES CELEKONTONG MAS: SENI PERTUNJUKAN INOVATIF DALAM ERA GLOBALISASI I Wayan Subrata; I Nyoman Sudanta
DHARMASMRTI: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan Vol 21 No 2 (2021): Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan
Publisher : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/ds.v21i2.2136

Abstract

Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi berpengaruh terhadap terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat. Namun dalam dunia seni di Bali, perkembangan teknologi dan informasi ini dimanfaatkan untuk meningkatkan popularitas seniman untuk berkarya. Salah satunya adalah Bondres Celekontong Mas. Sekaa Bondres ini sangat cermat membaca peluang dalam mengembangkan keseniannya (seni pertunjukan) yang bersifat komersial, memenuhi selera pasar. Kesenian sebagai ungkapan keindahan yang merupakan suatu kebutuhan manusia milik semua golongan atau kelas dalam masyarakat. Persoalannya seberapa jauh komunitas seni pertunjukan Bondres Celekontang Mas mampu mengekpresikan pertunjukannya dan megapresiasi kebutuhan sesuai selera pasar. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi kreativitas seni pertunjukan yang inovatif yakni Bondres Celekontong Mas. Adapun personil dari komunitas seni pertunjukan itu adalah I Komang Dedi Diana (sebagai I Tompel), I Komang Ardika (sebagai I Sengap), dan I Ketut Gde Rudita (sebagai I Sokir). Dalam pementasan ketiga orang tersebut secara silih berganti menari, bernyanyi, bertutur kata (dialog) sangat lucu dengan kemasan yang menarik simpati penonton. Seni pertunjukan ini tidak hanya dapat ditonton pada ruang-ruang publik secara langsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat, akan tetapi dapat pula disaksikan melalui media virtual sepeti di youtube, google dan sejenisnya. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi melalui alat handphone, smartphone, dan sejenisnya memungkinkan masyarakat dapat menyaksikan pertunjukan Bondres Celekontong Mas tanpa batas waktu.
DINAMIKA MASYARAKAT PERKOTAAN DAN LAKU KALANGAN WANAPRASTA PADA PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA WANA SERAYA DI DENPASAR I Wayan Subrata; I Nyoman Sudanta; I Gusti Bagus Wirawan; Anak Agung Anom Putra; I Ketut Wartayasa
VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia Vol. 5 No. 2 (2022): Vidya Wertta: Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia
Publisher : FAKULTAS ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/vw.v5i2.3482

Abstract

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, membawa berbagai implikasi bagi kehidupan sosial-budaya masyarakat, termasuk masyarakat Denpasar. Misalnya, dengan ditemukannya berbagai peralatan modern dalam bidang kesehatan, telah membuat bertambah baiknya kesehatan masyarakat, sehingga dapat menambah umur lebih panjang. Akibatnya, jumlah penduduk lanjut usia (kalangan wanaprasta) dari tahun ke tahun terus meningkat. Sementara tradisi pelayanan kredit sosial lewat sistem resiprositas (saling matulungan, saling runguang, maselisi, dan lain-lain) dalam kehidupan masyarakat modern mulai tergusur, dan telah digantikan oleh sistem pasarisasi dalam bentuk sistem upah. Hal demikian berakibat banyak kalangan manula yang tidak mendapat pelayanan sosial, dari pihak keluarganya, termasuk dari anak kandungnya sendiri. Hal ini menarik dikaji. Penelitian ini tergolong ke dalam peneitian kualitatif dengan tiga teknik pengumpulan data, yakni teknik observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen. Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan pendekatan antropologi agama, dengan paradigma interpretatif knowledge paradigm. Dengan harapan ditemukan sebuah proposisi atau konsep baru tentang formulasi yang dapat ditempuh oleh pihak keluarga dalam memperlakukan orang tuanya secara manusiawi, tanpa harus mengurangi kesibukan profesinya yang cenderung bersifat pragmatis.
MULTIFUNGSI BALE BANJAR PADA MASA KINI I Nyoman Sudanta; I Wayan Subrata; Yuliana *
VIDYA WERTTA : Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia Vol. 6 No. 1 (2023): Vidya Wertta: Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia
Publisher : FAKULTAS ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32795/vw.v6i1.4213

Abstract

Dinamika dan perubahan dalam budaya adalah keniscayaan karena segala sesuatunya melalui proses interaksi yang menimbulkan pengaruh dan mempengaruhi. Dalam konteks pariwisata dan globalisasi masyarakat Bali telah terbiasa menghadapi pengaruh dari luar. Keberhasilan perkembangan pariwisata secara signifikan menjadi motor penggerak dalam perubahan sosial, budaya, politik, dan ekonomi di Bali. Ketika masuknya ekonomi pasar segala sesuatu yang menguntungkan dapat dikemas, seperti halnya terjadinya pengemasan bale banjar pada kawasan pariwisata seperti di Ubud dan di Kota Denpasar. Tulisan ini bertujuan untuk menggali, mengungkap, menganalisis lebih lanjut dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, dan studi dokumen. Hasil penelitian ini mengungkapkan, bahwa adanya permintaan pihak pengusaha untuk menyewa (kontrak) bale banjar sebagai arena pemasaran produk-produk tertentu untuk pemenuhan konsumsi wisatawan dan konsumsi masyarakat lokal. Tempat bale banjar memiliki daya tarik karena terletak pada tempat strategis di jalur yang ramai mudah dijangkau pembeli. Semua ini dapat dilakukan karena krama banjar (sebagai pemilik) menginginkan serta ikut terlibat langsung untuk mencapai konsensus dengan pihak pengusaha. Hasil dari penyewaan bale banjar dalam jangka waktu relatif panjang digunakan untuk membangun bale banjar baru pada tempat yang berbeda. Ada pula bangunan bale banjar dikemas dalam bentuk pertokoan pada lantai dasar (bawah) sedangkan lantai atas untuk kepentingan adat dan kepentingan yang lainnya.
Simbolisme Kakereb Barong Dan Rangda Dalam Upacara Butha Yadnya Di Desa Bitra Gianyar Yudha Triguna, Ida Bagus Gde; Bagiarta, I Nyoman Kembar; Sudanta, I Nyoman
Jurnal Penelitian Agama Hindu Vol 9 No 4 (2025)
Publisher : Jayapangus Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37329/jpah.v9i4.4611

Abstract

Kakereb is the veil used for Barong and Rangda, made from a square piece of white cloth measuring 1.2 meters by 1.2 meters. Its uniqueness lies in the sacred inscriptions (rerajahan) written on its surface. These inscriptions contain texts that represent a sacred symbolic system of Shaivite Tantric theology, encompassing the concept of Acintya (the inconceivable aspect of God) as well as sacred characters such as Ongkara and wijaksara. In addition to the textual elements, the kakereb also features symbolic images such as dragons, fire, weapons of the Dewata Nawasanga, and modre letters. The essential meaning behind the kakereb is that God (Shiva) is the essence that is both One and many (Eka-aneka). The One Supreme God (Eka), by His own will, manifests Himself into various deities and even into all that exists (sarwa). The kakereb, in relation to Barong and Rangda, symbolizes a theology of duality. God is glorified with the names Bhatara Shiva and Dewi Uma, who are considered the source, existence, and ultimate purpose of all things in the world. Shiva has a thousand names (sahasra nama), and so does Uma, illustrating the infinite aspects of their divinity. Thus, Balinese Hindus who follow the Shaivite Tantric tradition are not worshipping demons, but are in fact worshipping God through sacred and religious-magical forms such as Barong and Rangda. Although these figures may appear demonic on the surface, they are actually sacred embodiments known as Ratu Bagus and Ratu Ayu.