Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Resolusi Kiai Dalam Menyikapi Carok (Studi Analisis Dekonstruksi Dakwah Bil Hikmah dalam Penyelesaian Carok) Ahmad, Ahmad; Shiddiqi, Hasbi Ash
Journal of Innovative and Creativity Vol. 5 No. 1 (2025)
Publisher : Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Carok adalah budaya kekerasan Madura yang masih melekat hingga kini. Para Blater, selaku pemegang otoritas kekuasaan social budaya Madura yang sering mempromosikan identitas carok dengan celuritnya. Sementara Kiai merupakan otoritas kekuasaan dengan artikulasi penguasa Musholla dan Masjid. konstruk solusi dakwah bil hikmah yang ditawarkan Kiai selama ini berkutat pada dakwah lemah lembut dan tidak langsung melalui jejaring Pesantren, Madrasah, Majelis taklim, pengajian ataupun kegiatan ritual keagamaan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif. Sumber data primer penelitian ini data kualitatif dengan makna Dakhwah bil Hikmah, baik sumber tafsir, hadits ataupun jurnal yang membahas tentang dakwah bil hikmah. Analisa Data dalam penelitian ini akan menggunakan analisis deskriptif. Analisis yang digunakan adalah dekonstruksi Jacques Derrida. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemaknaan konstruktif dakwah bil hikmah ini perlu didekonstruksi. Pemaknaan dekonstruksi dakwah bil hikmah Kiai dalam penyelesaian carok berupa pendalaman tawhid cinta kematian dengan mempertaruhkan nyawa; menyiapkan mental siap bertarung dengan menempa diri jago silat, jago tarung dan jago main celurit. Sementara rekonstruksi pemaknaan dakwah bil hikmah penyelesaian carok di lakukan dengan kemampuan melakukan keseimbangan antara menjadi penjaga Masjid plus penghunus celurit, siap mati melakukan nahiy munkar. Inilah profil yang dicontohkan dan diuswahkan oleh Nabi Muhammad. Inilah Resolusi Kiai dalam penyelesaian Carok. Penelitian ini berkontribusi dalam pemaknaan dakwah bil hikmah yang lebih kontekstual terhadap kepedulian dalam penyelesaian Carok. Dakwah bil hikmah selama ini justeru menjadi payung apologi kalangan Kiai untuk tidak terlibat langsung dalam penyelesaian carok. Penelitian memiliki keterbatasan belum menggali secara fenomenologis pemaknaan dakwah bil hikmah yang telah dilakukakn oleh Kiai serta praktik dan implementasinya dalam penyelesaian carok. Carok adalah budaya kekerasan Madura yang masih melekat hingga kini. Para Blater, selaku pemegang otoritas kekuasaan social budaya Madura yang sering mempromosikan identitas carok dengan celuritnya. Sementara Kiai merupakan otoritas kekuasaan dengan artikulasi penguasa Musholla dan Masjid. konstruk solusi dakwah bil hikmah yang ditawarkan Kiai selama ini berkutat pada dakwah lemah lembut dan tidak langsung melalui jejaring Pesantren, Madrasah, Majelis taklim, pengajian ataupun kegiatan ritual keagamaan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif. Sumber data primer penelitian ini data kualitatif dengan makna Dakhwah bil Hikmah, baik sumber tafsir, hadits ataupun jurnal yang membahas tentang dakwah bil hikmah. Analisa Data dalam penelitian ini akan menggunakan analisis deskriptif. Analisis yang digunakan adalah dekonstruksi Jacques Derrida. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pemaknaan konstruktif dakwah bil hikmah ini perlu didekonstruksi. Pemaknaan dekonstruksi dakwah bil hikmah Kiai dalam penyelesaian carok berupa pendalaman tawhid cinta kematian dengan mempertaruhkan nyawa; menyiapkan mental siap bertarung dengan menempa diri jago silat, jago tarung dan jago main celurit. Sementara rekonstruksi pemaknaan dakwah bil hikmah penyelesaian carok di lakukan dengan kemampuan melakukan keseimbangan antara menjadi penjaga Masjid plus penghunus celurit, siap mati melakukan nahiy munkar. Inilah profil yang dicontohkan dan diuswahkan oleh Nabi Muhammad. Inilah Resolusi Kiai dalam penyelesaian Carok. Penelitian ini berkontribusi dalam pemaknaan dakwah bil hikmah yang lebih kontekstual terhadap kepedulian dalam penyelesaian Carok. Dakwah bil hikmah selama ini justeru menjadi payung apologi kalangan Kiai untuk tidak terlibat langsung dalam penyelesaian carok. Penelitian memiliki keterbatasan belum menggali secara fenomenologis pemaknaan dakwah bil hikmah yang telah dilakukakn oleh Kiai serta praktik dan implementasinya dalam penyelesaian carok.
PROBLEMATIKA PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PEMBATASAN USIA PERNIKAHAN: STUDI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI KUA KECAMATAN TAMANAN Anam, M. Sayyid Aqil Khoirul; Shiddiqi, Hasbi Ash
Legal Studies Journal Vol 5, No 2 (2025): September
Publisher : Universitas Nurul Jadid

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33650/lsj.v5i2.12967

Abstract

The phenomenon of child marriage continues to occur frequently despite Law Number 16 of 2019, which sets the minimum age for marriage at 19 for both men and women. This study aims to identify the factors contributing to the persistence of child marriage and to analyze the problematic implementation of this law at the KUA (Office of Religious Affairs) in Tamanan District , Bondowoso Regency. This study used a qualitative approach with a case study method. Data were collected through interviews, observation, and documentation with the Head of the KUA, religious instructors, and P3N officers in each village. Data analysis was conducted using field techniques. research to find patterns and themes from the interview results. The results show that child marriage in the Tamanan District Office of Religious Affairs (KUA) is still caused by economic factors, culture, low education, premarital pregnancy, and the practice of engagement at school age. In its implementation, Law Number 16 of 2019 has been running quite well, but is still faced with low public legal awareness and the influence of permissive religious leaders. The Tamanan KUA has attempted to address this through socialization, marriage guidance ( Bimwin ), and collaboration with the village. This study concludes that the problems The implementation of the law is highly dependent on synergy between the government, religious leaders, and the community. It is hoped that the results of this study can be used as a reference by religious institutions and the government in strengthening outreach and oversight of the implementation of the marriage age restriction.