Kila, Syahrir
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

BERDIRINYA KERAJAAN MAMUJU Kila, Syahrir
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 10, No 2 (2019)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.089 KB) | DOI: 10.36869/wjsb.v10i2.16

Abstract

Kajian ini membahas tentang awal terbentuknya Kerajaan Mamuju yang sekarang berada di dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Barat. Dengan demikian, metode yang akan dipakai adalah metode historis yang meliputi empat langkah secara sistematis. Hasil kajian menunjukkan bahwa terbentuknya Kerajaan Mamuju tidak dibentuk oleh Tomanurung, tetapi kerajaan ini dibentuk sebagai hasil penggabungan antara dua kerajaan yaitu Kerajaan Kurri-Kurri dan Kerajaan Langga Monar. Kedua kerajaan ini awalnya berdiri sendiri dan masing-masing berdaulat sendiri. Salah satu dari dua kerajaan yang dimaksud (Langga Monar) didirikan oleh Tarapati To Ma’dualemba, raja Kurri-Kurri yang dimaksudkan nantinya sebagai sorong atau mas kawin ketika beliau menikahi putri bangsawan dari Tokaiyang Padang. Dari hasil perkawinan itu, lahirlah seorang putra yang diberi nama Mattolabali. Beliau inilah yang kelak di kemudian hari yang menyatukan dua kerajaan itu dan merubah namnya menjadi Kerajaan Mamuju. 
SYEKH YUSUF: PAHLAWAN NASIONAL DUA BANGSA LINTAS BENUA Kila, Syahrir
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 9, No 2 (2018)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (298.343 KB) | DOI: 10.36869/wjsb.v9i2.44

Abstract

Kajian ini bertujuan untuk memaparkan tentang Perjuangan Syekh Yusuf di Banten. Ia dikenal sebagai ulama besar yang berasal dari Makassar, namun sebagian besar hidupnya diabdikan di kampung orang, yaitu Banten. Kajian ini menggunakan metode sejarah dengan empat langkah sistematis. Pencarian datanya lebih banyak bertumpuh pada studi literatur melalui beberapa perpustakaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa di Banten, ia menjadi penasehat utama Sultan Ageng Tirtayasa (mufti). Awalnya hanya mengembangkan agama Islam, namun karena perkembangan politik di Banten menyebabkan beliau harus berjuang membantu mertuanya melawan VOC yang bersekutu dengan anak kandungnya, Sultan Haji. Beliau ditangkap VOC lalu dibuang ke Sailon dan Afrika Selatan. Ia meninggal dunia pada 1699 dalam usia 73 tahun. Tahun 1995, atau 296 tahun kemudian barulah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional, dan tahun 2009 atau 310 tahun setelah meninggalnya, Afrika Selatan juga memberikan gelar Pahlawan Nasional.
HUBUNGAN KERAJAAN MAKASSAR DENGAN KERAJAAN BUTON ABAD KE-17 Kila, Syahrir
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 7, No 2 (2016)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/wjsb.v7i2.132

Abstract

Kajian ini bertujuan untuk mengungkap dan menjelaskan hubungan antara Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Buton pada abad ke-17 Masehi. Metode yang dipergunakan adalah metode sejarah yang mencakup empat langkah yang sistematis. Selain itu, pengumpulan data lapangan juga ditunjang oleh metode wawancara bebas mendalam terhadap tokoh masyarakat, sejarawan dan budayawan. Hasil kajian menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan dan politik antara Kerajaan Makassar dengan Kerajaan Buton telah ada pada abadke-16. Hubungan kekerabatan hanya dapat dilacak melalui tutur lisan dan hampir tidak ada data atau sumber tertulis yang menjelaskan hal tersebut, sedangkan hubungan politik yang terjalin lebih banyak diakhiri dengan konflik atau perang. Kedua pihak tercatat tiga kali berperang dan kekuatan pasukan yang sangat besar terjadi pada tahun 1666. Buton bertekuk lutut dan mengakui kekalahannya. Empat hari kemudian, pasukan Makassar kalah oleh pasukan VOC dan Arung Palakka bersama Buton. Semua pasukan Makassar di bawah pimpinan Karaeng Bontomarannu ditawan pada sebuah pulau kecil di depan Kota Baubau yang dikenal dengan nama Pulau Makassar.
PELABUHAN PAREPARE DI BAWAH KUASA GOWA DAN BONE Kila, Syahrir
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 8, No 2 (2017)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/wjsb.v8i2.116

Abstract

Kajian ini bertujuan untuk melihat eksistensi Pelabuhan Bacukiki dan Pelabuhan Suppa hingga terbentuknya Pelabuhan Parepare di bawah kuasa Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone dengan menggunakan metode sejarah. Kajian ini membuktikan bahwa kedua pelabuhan yang dimaksud, yaitu Bacukiki dan Suppa adalah suatu pelabuhan besar pada masanya. Bukan hanya itu, kedua pelabuhan itu lebih maju dibanding Pelabuhan Somba Opu. Itulah sebabnya ketika Pelabuhan Somba Opu ingin dimajukan menjadi pelabuhan transito oleh Kerajaan Gowa, kedua pelabuhan ini harus dimatikan perannya terlebih dahulu.Ketika peran pelabuhan ini sudah memudar, maka Pelabuhan Somba Opu mulai berkembang karena semua bongkar muat barang dan jasa dari kedua pelabuhan itu, dialihkan ke Somba Opu. Ketika itulah Pelabuhan Parepare mulai dilirik oleh para pedagang yang berasal dari Ajatappareng. Pada saat Kerajaan Gowa-Tallo runtuh, pengelolaannya dikuasai oleh Bone. Kondisi pelabuhan ketika itu belum berkembang dengan baik sebab aturan sangat ketat. Ketika wilayah Hindia Belanda diserahkan ke Inggris, PelabuhanParepare dikontrakkan kepada Addatuang Sidenreng.
PERJUANGAN SULTAN ALAUDDIN RAJA GOWA KE-14 (1593-1639) Kila, Syahrir
Walasuji : Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 7, No 1 (2016)
Publisher : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36869/wjsb.v7i1.84

Abstract

Artikel ini bertujuan mengungkap dan menjelaskan sejarah perjuangan Sultan Alauddin selaku Raja Gowa ke-14 di Kerajaan Gowa. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang meliputi empat tahapan kerja secara sistematis, yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Raja Tallo sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo yang pertama kali menerima agama Islam adalah I Malingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka dan dinamai Sultan Abdullah Awwalul Islam setelah memeluk agama Islam. Sementara itu, Raja Gowa yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alauddin yang bernama I Mangngarangi Daeng Manrabbia. Mereka menyebarkan agama Islam kepada kerajaan-kerajaan sekutunya. Dalam menyebarkan agama Islam, banyak kerajaan lokal menolaknya, terutama yang berada di wilayah Bugis, karena diduga bahwa hal tersebut dilakukan untuk memperluas wilayah kekuasaan semata dengan berlindung pada penyebaran agama Islam. Penolakan tersebut menimbulkan perang yang lazim disebut Perang Pengislaman (musu selleng).
“MALLAPPESSANG OLOK-KOLOK”: PERJUMPAAN ISLAM DAN TRADISI LOKAL DALAM MEMORI KOLEKTIF MASYARAKAT BUGIS Subair, Muh; Rusli, Rismawidiawati; Kila, Syahrir
Handep: Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 7, No. 1, Desember 2023
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33652/handep.v7i1.523

Abstract

This article presents the findings of a qualitative research study that delves into the collective memory of the Bugis community concerning the intersection of Islam and local traditions. Collecting data through observation, interviews, and document analysis, this study shows that the Mallappessang olok-kolok (Releasing animals) tradition has sparked controversy in the community. The study analyzed the oral storytelling-based community’s tradition narratively. Mallappessang olok-kolok constitutes a “tolok bala” tradition, a local ritual designed for averting disasters. The Bugis society practices it by releasing animals into the forest to hope for healing from an illness. Some view the practice as contrary to Islam’s continuity from animism and dynamism and its implementation as unreasonable. On the other hand, others consider the tradition adheres to Islamic teachings. Releasing animals into the forest to feed wild animals expresses human harmony with nature. The act is also viewed as bonding with ancestors, following ancestral guidelines, and fostering community unity as families, relatives, and neighbors actively participate in the ritual. The narrative of this different perspective then rolls into a discussion or dialogue between Islam and local culture, which then impacts the existence of respect for the presence of these traditions. The conversation between Islam and local culture is a sign of progress in the thought of Islamic society that accepts traditions as heritage and science impacting on strengthening human relations with nature.
MYSTICAL RADIANCE OF MANUSCRIPT: A PARATEXTUAL STUDY OF ISLAMIC ASTRONOMY MANUSCRIPT Kila, Syahrir; Hamsiati, Hamsiati; Hamid, Wardiah; Arsyad, Abd. Rahman; Idham, Idham; Nur, Muhammad; Nomay, Usman; Wan Sulaiman, Wan Shahrazad
Al-Qalam Vol. 30 No. 2 (2024)
Publisher : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31969/alq.v30i2.1488

Abstract

Society treating manuscripts as objects with mystical power is often viewed as a myth that has no scientific basis. There are differences of perspectives about mystical belief and reality that evoke supernatural phenomenon related to manuscripts. This research analyzes the paratextual aspects of the Islamic Astronomy Manuscript owned by Husen Hatuwe in Keitetu Village, Leihitu District, Central Maluku Regency. The manuscript is used as a guidance to determine the right time for various daily activities and considered to have mystical power by the local community. This research is a philological study which used data collection technique through observation, interviews, and literature studies. The paratextual approach in this research reveals the external narrative aspects of the manuscript, including how the local culture influences and get influenced by the existence of the manuscript. Apart from serving as a guidance to determine the right time for religious rituals, this manuscript is also Mystical Radiance of Manuscript … – Syahrir Kila, et.al | 253 believed to have spiritual power that maintains the social balance in the community. In addition, this research contributes to the attempt to preserve the ancient manuscripts in Maluku, which most of them are damaged due to inadequate storage as well as analyze the role of this manuscript in the social, spiritual, and cultural context of the local community.