Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

ARSITEKTUR KOTA YANG BERKEPRIBADIAN Liauw, Franky
Prosiding Seminas Vol 1, No 2 (2012): Seminas Competitive Advantage II
Publisher : Unipdu Jombang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (32.798 KB)

Abstract

Abstrak Arsitektur bangunan dan kota biasanya diharapkan mencerminkan ciri dan karakter suatu suku atau bangsa. Setiap bangsa menginginkan dan membanggakan kota dengan identitas sendiri, berbeda dengan bangsa lain. Dalam lingkup lebih kecil, bahkan setiap kota dan desa di suatu negara, mempunyai bentuk dan ciri yang berbeda-beda. Keberagaman arsitektur ini merupakan kekayaan suku, bangsa, dan dunia, yang harus dipertahankan. Keterbukaan hubungan antarnegara, termasuk berprakteknya arsitek bangsa lain di Indonesia, dapat mengancam kelestarian budaya dan arsitektur kota-kota kita. Arsitek antarbangsa akan membawa pengaruh budaya dan ciri berarsitektur lintas negara. Kota-kota di semua negara akan berciri sama. Arsitek Indonesia harus menguasai kemampuan berarsitektur lokal, tapi menghargai dan mau mempelajari budaya bangsa lain ketika berpraktek di sana. Hal ini harus tertuang dan disiapkan dalam kurikulum pendidikan arsitektur. Walaupun keterbukaan hubungan antarnegara tidak dapat ditolak, untuk kepentingan semua negara, perlu ada aturan berarsitektur di masing-masing kota yang harus diikuti oleh semua arsitek yang berpraktek di sana, arsitek lokal maupun asing. Kata kunci: arsitektur, ciri, budaya, keterbukaan, ancaman,   Abstract The architecture of building and city usually expected to reflect the characteristic of a tribe or nation. Every nation wants and prouds of a city with its own identity, different than other nations. In smaller scope, even every city and town in a country, have different characteristic. This architectural diversity is a national treasure that should be maintained. The openness of relationship between countries, including architectural practice from foreign architects in Indonesia, could threaten the cultural and architectural continuity in our cities. International architects will bring cultural influence and architectural characteristic across the country. Every city in the whole world will have same characteristic. Indonesian architect should have the ability to master local architecture and on the other hand should appreciate and willing to learn other countries culture when doing architectural practice in that country. This matter should contained and prepared in architectural education curriculum. Even though the openness between countries could not be refused, for the benefit of every country, there is a need for architectural regulations in every city that must be followed by every architect that does architectural practice there, local as well as international. Keywords: architecture, characteristic, culture, openness, threat
PERENCANAAN LANSEKAP MASJID DARUL IHSAN BEKASI DENGAN PENDEKATAN TEKNIK TAMAN VERTIKAL Anggraini, Diah; Choandi, Mieke; Chin, Joni Chin; Liauw, Franky
Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia Vol 2, No 1 (2019): Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (883.796 KB) | DOI: 10.24912/jbmi.v2i1.4330

Abstract

Kecukupan ruang terbuka hijau sangat penting bagi suatu kota karena penghijauan mempunyai fungsi - fungsiekologis, sosial dan ekonomis yang terkait dengan kualitas kehidupan warganya. Namun seiring denganmeningkatnya jumlah penduduk berikut kegiatannya, semakin berkurang pula ketersediaan lahan untukpenghijauan kota. Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kuantitas area penghijauan adalahmelibatkan warga untuk menanam di pekarangannya walaupun luasannya terbatas dengan teknik bertanamvertikal. Tulisan ini merupakan hasil kajian dalam rangka penyusunan rencana lansekap Masjid Darul Ihsan,Pondok Pekayon Indah, Bekasi yang saat ini sangat dominan area perkerasannya, melalui kegiatan PengabdianKepada Masyarakat (PKM). Studi ini menghasilkan rancangan lansekap di lahan yang terbatas area tanamnya,berikut percontohan cara bertanam vertikultur yang ditujukan untuk menambah wawasan bagi warga sekitar(melalui penyuluhan) tentang penghijauan pekarangan yang ramah lingkungan, terutama dalam proses daur ulangair wudhu dan pemanfaatan limbah plastik.
RUANG INTERPRETATIF: KESADARAN DAN KEPEDULIAN LINGKUNGAN Saputra, Yohana; Liauw, Franky
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 1, No 1 (2019): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v1i1.4011

Abstract

Pariwisata telah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat era ini. Sebagian besar masyarakat menjadikan pariwisata sebagai kegiatan untuk melepas penat dan beban dari kegiatan dalam kehidupan sehari-harinya. Jakarta sebagai kota metropolis menjadi pusat bagi kota-kota di sekitarnya dalam berbagai kegiatan, sehingga sektor pariwisata dapat memicu perkembangan ekonomi Jakarta dan sekitarnya serta bidang lainnya. Perkembangan sektor pariwisata berjalan sebanding dengan perkembangan teknologi dan jaringan media sosial yang kian meluas. Jaringan yang luas dan teknologi pengambilan gambar yang semakin maju, menarik masyarakat dalam berwisata dan membagikan cerita perjalanannya dalam jaringan dunia maya. Namun, kemajuan zaman ini pun juga menyebabkan timbulnya masalah di berbagai sektor. Salah satunya yang kerap menjadi perbincagan kota-kota di dunia yaitu masalah lingkungan, yang secara umum merupakan akibat dari kegiatan masyarakat itu sendiri. Maka, dalam konteks wisata ekologi, proyek wisata ini menggambarkan akibat dari masalah kerusakan lingkungan tersebut, sehingga wisatawan tidak lagi melihat keindahan alam melainkan suasana yang bertolak belakang yang diakibatkan oleh kegiatan dan kebiasaan hidup mereka, terutama masyarakat perkotaan.
REDEFINISI KEMATIAN Clara, Michelle; Liauw, Franky
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol 1, No 2 (2019): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v1i2.4395

Abstract

The city is a track record of human civilization from time to time with various phenomena that occurs. Humans often mark cities with various stories about the creation of spaces that are considered capable of supporting their survival. However, in the midst of the dynamic era and the growth of generations that inhabits the city, humans seem to forget one of the life entities, namely death. In the past few decades, we often avoided topics related to death, so that unwittingly, activities related to death actually surround us. The fear of death has left a mark from time to time; generation to generation; until finally it grows into a negative paradigm in society. This research aims to bring a revolution to the city through the redefinition of architectural space in accommodating the process of death positively. The methods of this study include: first, conducting a literature study, tracing death cases with various conditions from experts handling; second, approaching various psychological theories about perception, self-recognition, stages in facing death, emotions, and others related; third, compiling a spatial architecture program by elaborating activities data and space scenarios. Through experiments, and based on various precedents that already exist, it is expected to obtain an architectural design criteria that can affect human perceptions and emotions, especially for individuals who are approaching the death and dying, so that together with therapy, consultation, prayer, or a form of consolation from various parties, can soothe sufferers, also their families. AbstrakKota adalah rekam jejak peradaban manusia dari waktu ke waktu dengan berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Manusia kerap menandai kota dengan berbagai kisah tentang penciptaan ruang-ruang yang dianggap mampu mendukung kelangsungan hidupnya. Akan tetapi, di tengah dinamika perkembangan zaman dan pertumbuhan generasi yang mendiami kota, manusia seolah melupakan salah satu entitas kehidupan yaitu kematian. Dalam beberapa dekade terakhir, kita kerap menghindari topik terkait kematian ini, sehingga tanpa disadari, aktivitas terkait kematian sesungguhnya telah mengelilingi kita. Rasa takut akan kematian telah meninggalkan tanda dari waktu ke waktu; generasi ke generasi; hingga akhirnya bertumbuh menjadi sebuah paradigma negatif di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menghadirkan revolusi pada kota melalui redefinisi keruangan arsitektur dalam mewadahi proses kematian secara positif di masyarakat. Metode dari penelitian ini, antara lain: pertama, melakukan studi literatur, penelusuran kasus-kasus kematian dengan berbagai kondisinya dari ahli yang menangani; kedua, melakukan pendekatan berbagai teori psikologi tentang persepsi, pengenalan diri, tahapan dalam menghadapi kematian, emosi, dan lainnya yang terkait; ketiga, menyusun program keruangan arsitektur dengan pendataan aktivitas dan skenario ruang. Melalui eksperimen, serta berlandaskan berbagai preseden yang sudah ada, diharapkan dapat diperoleh kriteria rancangan arsitektur yang dapat mempengaruhi persepsi dan emosi manusia, terutama bagi individu yang mendekati masa kematian, sehingga bersama dengan terapi, konsultasi, doa, atau bentuk penghiburan dari berbagai pihak, dapat menenangkan penderita, juga para keluarganya.
ARSITEKTUR KOTA YANG BERKEPRIBADIAN Liauw, Franky
Prosiding Seminas Vol 1, No 2 (2012): Seminas Competitive Advantage II
Publisher : Unipdu Jombang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Arsitektur bangunan dan kota biasanya diharapkan mencerminkan ciri dan karakter suatu suku atau bangsa. Setiap bangsa menginginkan dan membanggakan kota dengan identitas sendiri, berbeda dengan bangsa lain. Dalam lingkup lebih kecil, bahkan setiap kota dan desa di suatu negara, mempunyai bentuk dan ciri yang berbeda-beda. Keberagaman arsitektur ini merupakan kekayaan suku, bangsa, dan dunia, yang harus dipertahankan. Keterbukaan hubungan antarnegara, termasuk berprakteknya arsitek bangsa lain di Indonesia, dapat mengancam kelestarian budaya dan arsitektur kota-kota kita. Arsitek antarbangsa akan membawa pengaruh budaya dan ciri berarsitektur lintas negara. Kota-kota di semua negara akan berciri sama. Arsitek Indonesia harus menguasai kemampuan berarsitektur lokal, tapi menghargai dan mau mempelajari budaya bangsa lain ketika berpraktek di sana. Hal ini harus tertuang dan disiapkan dalam kurikulum pendidikan arsitektur. Walaupun keterbukaan hubungan antarnegara tidak dapat ditolak, untuk kepentingan semua negara, perlu ada aturan berarsitektur di masing-masing kota yang harus diikuti oleh semua arsitek yang berpraktek di sana, arsitek lokal maupun asing. Kata kunci: arsitektur, ciri, budaya, keterbukaan, ancaman,   Abstract The architecture of building and city usually expected to reflect the characteristic of a tribe or nation. Every nation wants and prouds of a city with its own identity, different than other nations. In smaller scope, even every city and town in a country, have different characteristic. This architectural diversity is a national treasure that should be maintained. The openness of relationship between countries, including architectural practice from foreign architects in Indonesia, could threaten the cultural and architectural continuity in our cities. International architects will bring cultural influence and architectural characteristic across the country. Every city in the whole world will have same characteristic. Indonesian architect should have the ability to master local architecture and on the other hand should appreciate and willing to learn other countries culture when doing architectural practice in that country. This matter should contained and prepared in architectural education curriculum. Even though the openness between countries could not be refused, for the benefit of every country, there is a need for architectural regulations in every city that must be followed by every architect that does architectural practice there, local as well as international. Keywords: architecture, characteristic, culture, openness, threat
MULTITASKING ELEMEN BANGUNAN Liauw, Franky
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 3, No 2 (2019): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v3i2.3573

Abstract

Elements of architectural works in the form of buildings are usually described according to their respective roles. The dictionary is often a reference to understanding the meaning of each word, but it needs to be aware because the dictionary only gives a basic understanding, and often also becomes a barrier of thought that sometimes hinders further development. For example, in the dictionary the roof is defined as the top of the building cover, even though it has long been used as a roof garden. In the midst of many problems in the environment, such as the energy crisis, lack of non-renewable resources, global warming, various types of pollution, etc., empowering building elements for other functions outside their basic role, will provide added value, save costs and space, and various other benefits. This paper uses descriptive qualitative methods, in the form of a comparison of definitions in the dictionary with developments in architectural practice, as well as an analysis of the various possibilities and opportunities for the development of the role of each building element. The benefits of empowering building elements like this can be said to be environmentally friendly designs because they are in accordance with the principles of sustainable development. For example, the roof provides protection for the contents of buildings against uncomfortable external influences, but exposure to the sun with excessive heat can be converted to energy. The roof of the building can also accommodate human activities. Sports activities that release a lot of energy, can actually be converted into electrical energy through the empowerment of various building elements. Efforts to add as many other functions as possible to each building element in the architectural design process might be best taught from the beginning in architecture education courses so that it will become a habit inherent in every designer. Definitions in a dictionary need to be viewed more critically, not directly made as a rigid reference. AbstrakElemen karya arsitektur berupa bangunan biasanya diuraikan menurut peran masing-masing. Kamus sering menjadi acuan untuk memahami pengertian setiap kata, namun perlu diwaspadai karena kamus hanya memberi pengertian dasar, dan sering juga menjadi pembatas pemikiran yang kadang menghambat pengembangan lebih jauh. Sebagai contoh, dalam kamus atap didefinisikan sebagai penutup bangunan bagian atas, padahal sudah sejak lama atap digunakan juga sebagai roof garden. Di tengah banyaknya masalah dalam lingkungan, seperti krisis energi, kekurangan sumber daya tak terbarukan, pemanasan global, berbagai jenis polusi, dan lainnya, pemberdayaan elemen-elemen bangunan untuk fungsi-fungsi lain di luar peran dasarnya, akan memberi nilai tambah, menghemat biaya dan luasan ruang, dan berbagai manfaat lainnya. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, berupa perbandingan definisi dalam kamus dengan perkembangan dalam praktek arsitektur, serta analisis berbagai kemungkinan dan peluang pengembangan peran setiap eleman bangunan. Manfaat pemberdayaan elemen bangunan seperti ini dapat dikatakan sebagai rancangan yang ramah lingkungan karena sesuai dengan prinsip pengembangan berkelanjutan. Sebagai contoh, atap memberi perlindungan bagi isi bangunan terhadap pengaruh luar yang tidak nyaman, namun paparan matahari dengan panas yang berlebihan dapat dikonversi menjadi energi. Atap bangunan juga dapat menampung kegiatan manusia. Kegiatan berolahraga yagn banyak mengeluarkan energi, sebenarnya dapat dikonversikan menjadi energi listrik melalui pemberdayaan berbagai elemen bangunan. Upaya menambahkan sebanyak mungkin fungsi lain pada setiap elemen bangunan dalam proses perancangan arsitektur mungkin sebaiknya diajarkan sejak awal di perkuliahan pendidikan arsitektur sehingga akan menjadi kebiasaan yang melekat pada setiap perancang. Definisi dalam kamus perlu dilihat dengan lebih kritis, tidak langsung dijadikan sebagai acuan yang kaku. 
PENERAPAN METODE BERTAHAP DAN MEKANISME SEDERHANA UNTUK MENGGALI BAKAT ANAK-ANAK AUTISME Sulistyawan, Dominikus Martin; Liauw, Franky
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 1 (2024): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i1.27191

Abstract

Autism Spectrum Disorder (ASD) or autism is a group of neurological developmental disorders that impact social life and can manifest as difficulties in communication. The challenges faced by children with autism should not serve as a reason to treat them differently from parents or the surrounding community. They are entitled to a decent life and the same comfort as other typically developing children. Children with autism often exhibit remarkable potential and talent in various fields such as arts, music, mathematics, computer science, and more. Despite facing difficulties in communication and social interaction, they possess unique intelligence and creativity. According to a 2019 study conducted by the University of California, Davis, gradual methods such as observation, communication with parents, skills testing, collaboration with professionals, exploring activities, and providing support and praise have proven effective in uncovering the talents of children with autism. The ultimate goal of this research is to create an inclusive environment that supports the development of children with autism, enabling them to thrive and make meaningful contributions in various aspects of life. The study aims to discover the hidden talents and potentials of children aged 6-17 with autism, with the hope that it will contribute to enhancing their quality of life. Keywords: Autism; Potential; Talent Abstrak Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autisme merupakan sekelompok gangguan perkembangan neurologis yang mempengaruhi kehidupan sosial yang dapat berupa sulit untuk berkomunikasi.  Gangguan autisme yang di alami oleh anak bukan menjadi alasan bagi mereka memperoleh perlakuan yang berbeda dari orang tua maupun masyarakat sekitar. Mereka berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan memiliki kenyamanan yang sama dengan anak normal lainnya. Anak-anak penyandang autisme sering kali memiliki potensi dan bakat yang luar biasa dalam berbagai bidang seperti seni, musik, matematika, ilmu pengetahuan komputer dan lainnya. Meskipun menghadapi kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial, mereka memiliki kecerdasan dan kreativitas yang unik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh University of California, Davis pada tahun 2019 menyatakan bahwa metode bertahap seperti observasi, komunikasi dengan orang tua, pengujian keterampilan, berkolaborasi dengan professional, eksplorasi kegiatan dan dukungan dan pujian, metode-metode tersebut terbukti efektif dalam menemukan potensi bakat pada anak penyandang autisme. Penelitian ini bertujuan akhir untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung anak penyandang autisme agar mereka dapat berkembang dan memberikan kontribusi yang berarti dalam berbagai aspek kehidupan tanpa dibatasi oleh spektrum autisme yang mereka miliki dan untuk menemukan bakat dan potensi anak penyandang autisme yang masih terpendam dari anak berusia 6-17 tahun dengan harapan penelitian ini dapat membantu meningkatkan kualitas hidup mereka.
MEDALI RELASI ANTARGENERASI Susanto, Meilisa Christiani; Liauw, Franky
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 1 (2024): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i1.27454

Abstract

Intergeneration relationships have a distance that is created unconsciously from everyday life. Identical to the existence of different views, there is a clash that results in an intergeneration gap. Often referred to as the generation gap, it is a condition created due to differences in experiences and attitudes between generations, which ultimately results in a gap or distance. A bridge is needed to unify intergeneration perceptions, making each generation cherish each other and coexist. Play is then considered to be one of the ways that can bridge the intergeneration gap that has been created to date. In a game there are various goals, victory being the most commonly encountered goal. Trophies or medals are identical as a form of appreciation for winning a competition or game. Like playing, it is hoped that there will be a game of definition from the appreciation for victory. No longer in the form of physical things like medals but in the form of intergeneration relationships. Qualitative and comparative data collection methods from a collection of journals and books. The target of this research is to show the positive side of playing together between generations, in order to strengthen intergeneration relationships. Keywords:  Cherish; Coexist; Intergeneration; Playing; Strengthen Abstrak Hubungan antargenerasi memiliki jarak yang tercipta tanpa disadari dari kehidupan sehari-hari. Identik dengan adanya perbedaan pandangan, terjadi benturan yang mengakibatkan kesenjangan antargenerasi. Sering disebut dengan kesenjangan generasi atau generation gap yang merupakan suatu kondisi yang tercipta karena adanya perbedaan pengalaman dan sikap antargenerasi, sehingga pada akhirnya menghasilkan kesenjangan atau jarak. Diperlukan jembatan untuk menyatukan persepsi antargenerasi, menjadikan setiap generasi saling menghargai dan hidup berdampingan. Bermain kemudian dianggap menjadi salah satu cara yang mampu menjembatani kesenjangan antargenerasi yang telah tercipta hingga saat ini. Dalam sebuah permainan ada berbagai tujuan, kemenangan menjadi tujuan yang paling sering ditemui. Piala ataupun medali identik sebagai bentuk apresiasi akan kemenangan atas suatu perlombaan atau permainan. Layaknya bermain, diharapkan terjadi permainan definisi dari bentuk apresiasi kemenangan. Tak lagi berupa hal fisik layaknya medali namun berwujud atas terjalinnya hubungan relasi antargenerasi. Metode pengumpulan data kualitatif dan komparatif dari kumpulan jurnal dan buku. Target penelitian ini agar dapat menunjukkan sisi positif dari bermain bersama antargenerasi, demi mempererat hubungan antargenerasi.
PEMANFAATAN AIR LIMBAH SEBAGAI SUMBER DAYA KAMPUNG APUNG Adeline, Pricillia; Liauw, Franky
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 1 (2024): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i1.27455

Abstract

Kampung Apung is a slum located in Kapuk, West Jakarta. This place was formerly a Chinese and Malay ethnic cemetery known as Tanah Bengkok. Due to urgent housing needs in 1960, The locals built settlements at the edges of the cemetery, forming a settlement called Kapuk Teko.mKapuk Teko filled with rice fields and greenery. In 1979,  excessive land reclamation was carried out due to the establishment of warehouses and industrial facilities, resulting in a reduction in land elevation. The continuous flood occurred due to the low lying terrain, leading wastewater from the slum and industries to fill the lower land permanently, and afterwards the slum is known as Kampung Apung. The floods faced a various problems, such as disrupted food chain ecosystem, physical degradation, and the residents’ quality of life. Algaes and water hyscinths began to appear on the wastewater surface as the result.Nevertheless, the “disaster” for the locals can be utilized as a resource for Kampung Apung. The methods used are descriptive, interviews, and direct observation. The program presented is a support community program with the aim of balancing the ecosystem and increasing the quality of life, and addressing physical degradation in Kampung Apung. Keywords:  Ecosystem; Physical degradation; Slums; Wastewater Abstrak Kampung Apung merupakan kampung kota yang berlokasi di Kapuk, Jakarta Barat. Wilayah kampung ini dulunya merupakan area pemakaman etnis Cina dan Melayu yang dikenal dengan sebutan Tanah Bengkok. Dikarenakan kebutuhan mendesak akan tempat tinggal, pada tahun 1960, penduduk setempat membangun pemukiman di sekitar tepi pemakaman, yang secara perlahan membentuk pemukiman yang dinamakan Kapuk Teko. Kapuk Teko mempunyai ciri khas kampung yang kaya akan persawahan dan penghijauan. Pada tahun 1979, dilakukan pengurukan tanah secara berlebihan disekeliling pemukiman untuk kebutuhan pembangunan pergudangan dan industri. Pengurukan tersebut menciptakan cekungan pada lahan Kapuk Teko. Karena terjadinya banjir terus menerus dan pembuangan limbah air dari rumah tinggal dan industri, mengakibatkan tergenangnya air secara permanen, membuat pemukiman tersebut menjadi dikenal dengan Kampung Apung. Genangan permanen tersebut menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem, memicu degradasi fisik rumah tinggal, dan menurunkan kualitas hidup warga. Alga dan eceng gondok mulai bermunculan di permukaan air sebagai dampak genangan air limbah. Meskipun demikian, “bencana” bagi warga sekitar ternyata dapat dimanfaatkan bagi sumber daya Kampung Apung. Metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif, wawancara, dan observasi secara langsung. Program yang dihadirkan merupakan program pendamping warga yang dibuat dengan harapan agar dapat membantu mengembalikan keseimbangan ekosistem, meningkatkan kualitas hidup warga, serta degradasi fisik di Kampung Apung.
BATIK BERKELANJUTAN: TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN DI KAWASAN KARET KUNINGAN Putro, Angel; Liauw, Franky
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 2 (2024): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i2.30955

Abstract

A placeless place is a place or environment that has lost its identity or distinctive characteristics that differentiate that place from other places. One area of ​​contemporary Jakarta that has lost its characteristics is Karet Kuningan, South Jakarta. Initially, the Karet Kuningan area was a fairly well-known center for batik making and batik convection. However, batik workshops have now been evicted and moved to Cikarang, Bekasi because their waste pollutes the environment, the Karet area which is the Golden Triangle (business area), and Karet which is the center of urbanization and infrastructure development. Today's advances in architecture and technology have developed very rapidly, so that factory waste can also be processed through water treatment so that it becomes environmentally friendly and safe for health. This can renew the identity of Karet Kuningan as an environmentally friendly stamped batik area and can become a new job opportunity for the local community. The aim of this research is to give a new identity to batik in the Karet Kuningan area that is environmentally friendly and to show visitors and architectural residents an introduction to environmentally friendly batik. The research method used is a qualitative approach by collecting data on the novelty of technology for making environmentally friendly batik and surveying the location of the current condition of Brass Rubber so that batik can be accepted by all groups. Keywords: architecture; batik; waste; water-treatment Abstrak Placeless place adalah suatu tempat atau lingkungan yang kehilangan jati dirinya atau karakteristik khas yang membedakan tempat tersebut dengan tempat yang lainnya. Salah satu wilayah Jakarta masa kini yang telah kehilangan karakteristiknya adalah Karet Kuningan, Jakarta Selatan. Awalnya wilayah Karet Kuningan merupakan pusat pembuatan batik dan konveksi batik yang cukup terkenal. Namun bengkel batik pun kini telah digusur dan dipindahkan ke Cikarang, Bekasi karena limbahnya yang mencemari lingkungan, wilayah Karet yang menjadi Segitiga Emas (kawasan bisnis), dan Karet yang menjadi pusat urbanisasi dan perkembangan infrastruktur. Kemajuan arsitektur dan teknologi masa kini sudah berkembang sangat pesat, sehingga dalam pengolahan dalam limbah pabrik pun dapat diolah melalui water treatment sehingga menjadi ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Hal ini dapat memperbaharui identitas dari Karet Kuningan sebagai kawasan batik cap ramah lingkungan dan dapat menjadi lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan identitas baru terhadap batik di kawasan Karet Kuningan yang ramah lingkungan dan memperlihatkan kepada para pengunjung maupun warga arsitektur dalam pengenalan batik yang ramah lingkungan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan mengumpulkan data kebaruan teknologi membuat batik yang ramah lingkungan dan survei lokasi kondisi Karet Kuningan masa kini agar batik dapat diterima oleh semua kalangan.