Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Google Meet and Google Classroom on Learning History: Review from Students Perspective Marian, Ayuhel Letrik; Umasih; Sarkadi
Journal of Education Reseach and Evaluation Vol 7 No 2 (2023): May
Publisher : LPPM Undiksha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jere.v7i2.44337

Abstract

Changes in the learning process require teachers to be more creative and innovative in delivering learning. The effectiveness of online learning needs to be considered, by utilizing various platforms, including using Google Classroom and Google Meet in history learning. This study aims to analyze the students' perspectives are related to the effectiveness of the platforms used during distance learning. The method used in this research is descriptive with a quantitative approach. Respondents in this study were 39 active students, eleventh grade. Data was collected using an online questionnaire via Google Form. The results of this study indicate that as many as 81.3% of students stated that they were motivated to take part in learning because it did not require a lot of quota, and the features used on the platform were very easy to operate and very attractive. Meanwhile, 18.7% of respondents stated that they were not interested in the platforms used in online learning and needed an alternative platform. From this it appears that in general these two platforms are one of the right choices to use, which is not only appropriate for the suitability of the material, or with the characteristics of students, but also the right platform because it does not require too much of a large quota load but is sufficient in online usage that does not burdensome students.
Arsitektur Kolonial Tropis di Bandung: Sebuah Interaksi Multikultur (1906-1925) Dina Amelia; Umasih; Nur'aeni Marta
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No. 1 (2021): PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21009/periode.031.4

Abstract

This study examines the harmonization between city parks and the Dutch colonial Gouverment Bedrijven (Government Building) in Bandung in the period 1906-1925. This study aims to understand the role of the Dutch colonial in the design of Bandung as a colonial city by combining city parks and colonial architecture. This study uses the historical method with data obtained from the results of a literature review and presented in a descriptive-narrative way. This study discusses the changes in the face of the city of Bandung which was adopted from the colonial community's thinking and implemented with a typical European (Dutch) design after the increase in status to Gemeente (kotapraja) in 1906-1925. After the plan to move the capital of the Dutch East Indies from Batavia to Bandung at that time, nature became an important component that supports the improvement of the city of Bandung. The harmonization between city parks and colonial buildings formed a linkage and harmony of parks as a support for Bandung City planning at that time. Penelitian ini mengkaji tentang harmonisasi antara taman-taman kota dan Gouverment Bedrijven (Bangunan Pemerintahan) kolonial Belanda di Bandung pada rentang tahun 1906-1925. Penelitian ini bertujuan untuk memahami peran kolonial Belanda dalam perancangan Bandung menjadi sebuah kota kolonial dengan memadukan taman kota dan arsitektur bangunan khas kolonialnya. Penelitian ini menggunakan metode historis dengan data yang didapat dari hasil kajian kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-naratif. Penelitian ini membahas tentang perubahan wajah kota Bandung yang diadopsi dari pemikiran masyarakat kolonial dan diimplementasikan dengan rancangan khas Eropa (Belanda) usai peningkatan status menjadi Gemeente (kotapraja) pada tahun 1906-1925. Setelah adanya rencana pemindahan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung kala itu, alam menjadi komponen penting yang mendukung pembenahan kota Bandung Harmonisasi antara pembangunan taman kota dengan Gouverment Bedrijven atau Bangunan Pemerintahan membentuk suatu keselarasan pada pemukiman Indische Koloniaal Staad sehingga membentuk citra sebuah kota kolonial bernuansa tropis. Harmonisasi antara taman kota dan bangunan kolonial membentuk keterkaitan dan kepadanan taman sebagai penunjang perencanaan Kota Bandung saat itu.
Gelombang Kedua Gerakan Feminisme di Indonesia (1982-1998) Astri Aristiani; Abdul Syukur; Umasih
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No. 1 (2021): PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21009/periode.031.5

Abstract

The New Order government created its own gender politics. They adopted the concept of "Motherism" and viewed women as mothers and wives. The life of the independent feminism movement in the period 1982-1998 had to experience cat-and-cat with the New Order government, so it is not uncommon for some of these organizations to be illegal. In the midst of repressive government attitudes, the independent feminism movement is challenged. But it was able to go through with a mature strategy, so that many of them were able to survive until the New Order was dethroned, even able to cooperate with the international feminism movement. Then at the time of the May 1998 riots, independent feminism movements either at the center orpu areas synergized with each other to voice freedom. This study aims to examine the dynamics of life of the second wave of feminism movement in Indonesia in 1982-1998. This study uses historical methods whose data is obtained from interviews, literature studies and presented descriptively-narratively. Pemerintah Orde Baru menciptakan politik gender tersendiri. Mereka mengadopsi konsep “Ibuisme” dan memandang perempuan sebagai ibu dan istri. Kehidupan gerakan feminisme independen pada periode 1982-1998 harus mengalami kucing-kucingan dengan pemerintah Orde Baru, sehingga tidak jarang dari beberapa organisasi ini bersifat ilegal. Di tengah sikap pemerintah yang represif, gerakan feminisme independen banyak mendapat tantangan. Namun hal tersebut mampu dilalui dengan strategi yang matang, sehingga banyak dari mereka yang mampu bertahan hingga Orde Baru lengser, bahkan bisa menjalin kerjasama dengan gerakan feminisme internasional. Kemudian pada saat kerusuhan Mei 1998, gerakan feminisme independen baik yang berada di pusat ataupu daerah saling bersinergi untuk menyuarakan kebebasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mengenai dinamika kehidupan gelombang kedua gerakan feminisme di Indonesia pada tahun 1982-1998. Penelitian ini menggunakan metode historis yang datanya didapat dari hasil wawancara, kajian kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-naratif.
DJAMALUDDIN “ADINEGORO” (1904-1967): TOKOH DI BALIK PENGHARGAAN TERTINGGI JURNALISTIK DI INDONESIA Jauhari, Fadhilah; Umasih; Syukur, Abdul
PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah Vol. 3 No. 2 (2021): PERIODE: Jurnal Sejarah dan Pendidikan Sejarah
Publisher : Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21009/periode.032.1

Abstract

Djamaluddin Datuk Maradjo Sutan is an Indonesian Journalism Pioneer from Talawi, West Sumatra. However, he is better known by his pseudonym which leads to the Javanese name Adinegoro. The name Adinegoro itself was immortalized by the Indonesian Journalists Association (PWI) as the name of the highest journalism award in Indonesia since 1974. Making someone's name for an award, of course, that person has an important role in his field. Djamaluddin was the first Indonesian to study journalism directly from his home country, Germany. After returning from Europe, he is always asked or chosen to serve as a leader in a newspaper or magazine in Indonesia. Not only that, his focus on writing abroad, which always captivated readers, made him a journalist who covered the Round Table Conference in The Hague, the Netherlands at the end of 1949. Djamaluddin was also active in giving his views on the nationalization of the Aneta news agency. Djamaluddin's concern is also given to young people who want to study journalism in Indonesia. This study aims to examine the role of Djamaluddin "Adinegoro" in the world of journalism in Indonesia. The research method used is the historical or historical writing method. Djamaluddin Datuk Maradjo Sutan merupakan Pelopor Jurnalistik Indonesia yang berasal dari Talawi, Sumatera Barat. Namun ia lebih dikenal dengan nama samarannya yang mengarah ke nama Jawa yaitu Adinegoro. Nama Adinegoro sendiri diabadikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai nama penghargaan tertinggi jurnalistik di Indonesia sejak tahun 1974. Menjadikan nama seseorang untuk sebuah penghargaan pastinya orang tersebut memiliki peran penting dalam bidangnya. Djamaluddin adalah orang Indonesia pertama yang belajar ilmu jurnalistik langsung dari negara asalnya yaitu Jerman. Sepulangnya dari Eropa, ia selalu diminta atau dipilih menjabat sebagai pemimpin dalam surat kabar atau majalah di Indonesia. Tak hanya itu fokus penulisan luar negerinya yang selalu memikat para pembaca membuat ia terpilih menjadi jurnalis yang meliput Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada akhir tahun 1949. Djamaluddin juga aktif memberikan pandangannya tentang nasionalisasi kantor berita Aneta. Kepedulian Djamaluddin juga diberikan untuk kaum muda yang ingin belajar ilmu jurnalistik di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji peran Djamaluddin “Adinegoro” dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penulisan sejarah atau historis.