Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Distribusi frekuensi kebiasaan bernafas melalui mulut pada anak dengan Sindrom Down: studi cross-sectional Haq, Farsya Tsabita Al; Budiman, Hilmanda; Soewondo, Willyanti
Padjadjaran Journal of Dental Researchers and Students Vol 8, No 2 (2024): Juni 2024
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/pjdrs.v8i2.54164

Abstract

ABSTRAKPendahuluan: Sindrom Down merupakan kelainan kromosom paling umum yang disebabkan oleh terdapatnya kelebihan salinan pada kromosom 21 (trisomi 21). Sindrom Down menyebabkan gangguan perkembangan orofacial, seperti hipoplasia wajah bagian tengah serta hipotonus otot lidah dan bibir, yang dapat menimbulkan kebiasaan bernafas melalui mulut. Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan dentokraniofasial terhambat. Penelitian ini menggunakan metode pemeriksaan Massler’s water holding test yang belum pernah digunakan pada penelitian mengenai angka kebiasaan bernapas melalui mulut pada anak dengan Sindrom Down di Indonesia sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis distribusi frekuensi kebiasaan bernafas melalui mulut pada anak dengan Sindrom Down di Yayasan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) Bandung. Metode: Penelitian ini menggunakan desain deskriptif observasional secara cross sectional. Subjek merupakan anak dengan Sindrom Down usia 3–18 tahun yang telah didiagnosis Sindrom Down oleh dokter anak. Subjek dipilih melalui metode accidental sampling menghasilkan 31 anak Sindrom Down yang datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Padjadjaran (Unpad) selama periode penelitian berlangsung. Kebiasaan bernafas melalui mulut ditentukan dengan metode pemeriksaan Massler’s water holding test, subjek diminta untuk menahan air sekitar 15ml di dalam mulut dengan bibir tertutup tanpa menelan air selama 2–3 menit. Apabila durasi kurang dari 2–3 menit, subjek dianggap mengalami kebiasaan bernafas melalui mulut. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan terdapat 26 anak memiliki kebiasaan bernafas melalui mulut (83,87%) yang terdiri dari 9 anak laki-laki (34,62%) dan 17 anak perempuan (65,38%). Frekuensi usia tertinggi terdapat pada kelompok anak usia 7 tahun (15,38%).  Simpulan: Distribusi frekuensi kebiasaan bernafas melalui mulut, dengan metode pemeriksaan Massler’s water holding test, pada anak Sindrom Down di Yayasan POTADS Bandung adalah sebesar 83,87% Frequency distribution of mouth breathing in children with Down Syndrome: a cross-sectional studyntroduction: Down Syndrome is the most common chromosomal disorder caused by an extra copy of chromosome 21 (trisomy 21). Down syndrome often results in abnormal orofacial development, such as midface hypoplasia and hypotony of the muscles of the tongue and lips, which can lead to bad oral habits like mouth breathing. Mouth breathing can disturb dentocraniofacial growth and development. This study used the Massler's water holding test method that has never been used in previous studies for determining numbers of mouth breathing in children with Down syndrome in Indonesia. This study aims to determine the frequency distribution of mouth breathing among children with Down syndrome at the Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) Foundation Bandung. Method: This study used a cross-sectional descriptive observational design. The subjects of this study were children aged 3–18 years diagnosed Down Syndrome by pediatricians. An accidental sampling method was used to select 31 Down Syndrome children who visited Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Universitas Padjadjaran (Unpad) during the research period. Mouth breathing identified using the Massler's water holding test method whereas the subject was instructed to hold approximately 15 ml of water in their mouth for 2–3 minutes while keeping the lips closed and not swallowing any water. If the duration was less than 2–3 minutes, the subjects considered mouth breathing. Results: The results showed that 26 children (83.87%) breathed through their mouths. The gender-based frequency of mouth breathing showed 34,62% boys and 65,38% girls. Based on age, the 7-year-old group had the highest frequency of mouth breathing (15,38%). Conclusion: The frequency distribution of mouth breathing in children with Down Syndrome at the POTADS Foundation Bandung is 83,87%
Tingkat pengetahuan orang tua terhadap terapi myofungsional pada Down syndrome: studi cross-sectional Bachtiar, Rindu Wulandari; Soewondo, Willyanti; Primarti, Risti Saptarini
Padjadjaran Journal of Dental Researchers and Students Vol 7, No 3 (2023): Oktober 2023
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/pjdrs.v7i3.48109

Abstract

ABSTRAK Pendahuluan: Down syndrome merupakan kelainan genetik yang berhubungan dengan penambahan kromosom 21 dan masih menjadi salah satu kelainan cacat lahir yang paling sering terjadi. Salah satu karakteristik fisik yang khas dan sering dijumpai adalah hipotonia otot termasuk otot orofasial dan otot lidah. Penanganan hipotonia otot harus diatasi dengan terapi myofungsional yang dilakukan secara rutin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan orang tua terhadap terapi myofungsional pada Down syndrome di Yayasan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS). Metode: Jenis penelitian ini adalah dengan desain survei cross sectional.  Sampel diperoleh dengan metode purposive sampling menghasilkan 96 sampel penelitian dari POTADS. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner melalui perangkat google form. Data yang didapatkan dinilai dan persentase nilai pengetahuan orang tua akan dikategorikan dalam tiga kategori yaitu baik, cukup, dan kurang. Tingkat pengetahuan orang tua terhadap terapi myofungsional pada Down syndrome akan dikelompokkan menjadi dua yaitu orang tua yang pernah mendapat informasi dan belum pernah mendapat informasi. Hasil: Hasil analisis data dari 96 responden terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang pernah mendapat informasi dengan hasil tingkat pengetahuan termasuk pada kategori baik (70,27%) dan yang belum pernah mendapat informasi dengan hasil tingkat pengetahuan termasuk pada kategori kurang (45,77%). Simpulan: Tingkat pengetahuan orang tua terhadap terapi myofungsional pada anak Down syndrome di Yayasan POTADS, berada pada kategori baik bagi kelompok yang pernah mendapatkan informasi dan kategori kurang bagi kelompok yang belum pernah mendapatkan informasi mengenai terapi myofungsional. KATA KUNCI: Sindrom Down, Pengetahuan, Terapi MyofungsionalThe level of parental knowledge regarding myofunctional therapy in Down's syndrome: cross-sectional studyABSTRACT Introduction: Down syndrome is a genetic disorder associated with the addition of chromosome 21 and is still one of the most common birth defects. One of the distinctive physical characteristics  found is muscle hypotonia, including the orofacial muscles and tongue muscles. Management of muscle hypotonia must be treated with myofunctional therapy, which is carried out routinely. The purpose of this study is to obtain data on the level of parents’ knowledge regarding myofunctional therapy for Down syndrome at the Association of Parents of Children with Down Syndrome (POTADS). Methods: The type of research is a cross-sectional survey design.  The purposive sampling method was used to collect samples,resulting in 96 research samples from POTADS. Data collection was carried out using a questionnaire via the Google Form tool. The data obtained was assessed, and the percentage level of parental knowledge was categorized into three categories: good, sufficient, and poor. The level of parental knowledge regarding myofunctional therapy in Down syndrome was divided into two groups: those who had received information and those who had not. Results: The results of data analysis from 96 respondents were divided into two groups, namely the group that had received information with the results of the level of knowledge included in the good category (70.27%) and those who had never received information with the results of the level of knowledge included in the poor category (45.77%). Conclusion: The level of parental knowledge regarding myofunctional therapy in Down’s syndrome at the POTADS Foundation is in the good category for the group who received information and the poor category for the group who  never received information about myofunctional therapyKEY WORDS: Down Syndrome, Knowledge, Myofunctional Therapy
Distribusi frekuensi hipokalsifikasi gigi tetap pada penyandang sindrom down: studi cross-sectional Budiman, Amelia Ambarwati; Andisetyanto, Prima; Soewondo, Willyanti
Padjadjaran Journal of Dental Researchers and Students Vol 8, No 2 (2024): Juni 2024
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/pjdrs.v8i2.54130

Abstract

ABSTRAKPendahuluan: Sindrom Down (Trisomi 21) merupakan kelainan genetik yaitu adanya kromosom ekstra pada kromosom 21. Kelainan pada penyandang Sindrom Down dapat memengaruhi berbagai faktor dan memiliki ciri fisik yang khas, salah satunya adalah anomali gigi, termasuk kelainan struktur email gigi yaitu hipokalsifikasi email. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi hipokalsifikasi gigi tetap pada penyandang Sindrom Down. Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik survei cross-sectional. Subjek yang diperoleh dengan metode accidental sampling menghasilkan sebanyak 30 anak penyandang Sindrom Down dari Yayasan POTADS, terdiri dari 13 laki-laki dan 17 perempuan. Anak penyandang Sindrom Down adalah anak yang telah didiagnosis mengalami Sindrom Down oleh dokter anak. Hipokalsifikasi email merupakan kelainan struktur email yaitu adanya bercak tidak tembus cahaya, buram sampai berwarna keputihan, dan berwarna kecoklatan. Pemeriksaan hipokalsifikasi email dapat dilakukan melalui pemeriksaan klinis dengan pencahayaan yang cukup. Analisis data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil: Frekuensi hipokalsifikasi email pada gigi tetap penyandang Sindrom Down sebesar 33,33%; terdiri dari 26,67% pada gigi insisivus sentral, 3,33% pada gigi molar pertama, dan 3,33% pada gigi insisivus sentral dan molar pertama. Berdasarkan jenis kelamin 13,33% pada laki-laki dan 20% pada perempuan, berdasarkan usia 3,33% pada 7 tahun, 6,67% pada 11 tahun, 3,33% pada 12 tahun, 3,33% pada 13 tahun, 3,33% pada 14 tahun, 6,67% pada 17 tahun, 3,33% pada 21 tahun, dan 3,33% pada 22 tahun. Simpulan: Distribusi frekuensi hipokalsifikasi email pada gigi tetap penyandang Sindrom Down sebesar 33,33%, Hipokalsifikasi paling banyak terjadi pada gigi insisivus sentral dan lebih banyak terjadi pada penderita berjenis kelamin perempuan. Frequency distribution of hypocalcification on permanent teeth in people with down syndrome at POTADS Bandung Foundation: a cross-sectional studyIntroduction: Down Syndrome (Trisomy 21) is a genetic disorder, namely the presence of an extra chromosome on chromosome 21. Abnormalities in people with Down Syndrome can influence various factors and have distinctive physical characteristics, one of which is dental anomalies, including abnormalities in the structure of tooth enamel, enamel hypocalcification. The aim of this study was to determine the frequency distribution of hypocalcification of permanent teeth in people with Down Syndrome. Methods: This research uses descriptive methods with cross-sectional survey techniques. Subjects were obtained using the accidental sampling method, resulting in 30 children with Down Syndrome from POTADS Foundation, consisting of 13 boys and 17 girls. All children had been diagnosed with Down Syndrome by a pediatrician. Enamel hypocalcification is an abnormality in the structure of the enamel, characterized by the presence of opaque to whitish and brownish spots. Examination of enamel hypocalcification can be done through clinical examination with sufficient lighting. Data analysis used frequency dstribution. Results: The frequency of enamel hypocalcification on permanent teeth of people with Down Syndrome was 33.33%; consisting of 26.67% in central incisors, 3.33% in first molars, and 3.33% in central incisors and first molars. Distribution by gender showed 13.33% in boys and 20% in girls, based on age 3.33% at 7 years, 6.67% at 11 years, 3.33% at 12 years, 3.33% at 13 years, 3.33% at 14 years, 6.67% at 17 years, 3.33% at 21 years, and 3.33% at 22 years. Conclusions: The frequency distribution of enamel hypocalcification in the permanent teeth of individuals with Down Syndrome in Bandung was 33.33%. Hypocalcification was most common in central incisors and more prevalent in women.
Prevalensi anomali gigi pada Down syndrome : scoping review Riyadi, Auliya Yasyfi; Soewondo, Willyanti; Riyanti, Eriska
Padjadjaran Journal of Dental Researchers and Students Vol 9, No 1 (2025): February 2025
Publisher : Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/pjdrs.v9i1.57122

Abstract

Customized feeding plate for nutritional and respiratory support in an infant with Pierre Robin sequence and cleft palate complicated by severe respiratory infections: A case report Jayanti, Claudia NR.; Anugerah, Evelyn; Soewondo, Willyanti; Pasha, Asep K.; Puratmaja, Galuhafiar
Narra J Vol. 5 No. 2 (2025): August 2025
Publisher : Narra Sains Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52225/narra.v5i2.2175

Abstract

Pierre Robin sequence (PRS) is a congenital condition characterized by micrognathia, glossoptosis, and airway obstruction, often accompanied by cleft palate. Feeding difficulties and respiratory compromise pose significant challenges in early management. While feeding plates are commonly used to improve feeding and airway stability, their application in infants with severe respiratory infections remains underreported. The aim of this study was to describe the challenges of impression-taking and feeding plate fabrication in an infant with PRS complicated by multiple congenital anomalies and severe respiratory complications, including bilateral pneumonia. A 23-day-old male infant was referred to the pediatric dentistry department of Pandega General Hospital, Pangandaran, Indonesia, with the chief complaints of feeding difficulties, recurrent choking episodes, and respiratory distress. The patient was diagnosed with PRS with a cleft palate, complicated by congenital tuberculosis and bilateral pneumonia, exacerbating respiratory compromise. Given the patient's fragile condition, impression-taking was performed with strict airway precautions, including lateral positioning, continuous oxygen monitoring, and suction readiness. High-viscosity alginate and a perforated stock tray were used to minimize aspiration risk. Two clinicians ensured airway security throughout the procedure. A customized acrylic feeding plate was fabricated with a palatal extension to prevent nasal regurgitation and a contoured surface to aid tongue positioning. The plate was polished for comfort, adjusted for retention, and fitted to accommodate maxillary growth, ensuring safe and effective feeding support. Within one month, the infant’s weight increased from 2,200 g to 3,100 g, choking episodes significantly decreased, and a transition from orogastric tube to bottle feeding was achieved. In conclusion, this case highlights the feasibility and benefits of feeding plate adaptation in PRS management, even in the presence of severe respiratory infections. A non-invasive approach using a feeding plate can serve as an initial intervention before surgical correction, particularly in fragile neonates.
PERAWATAN GIGI DAN MULUT PADA ANAK DENGAN INTELLECTUAL DISABILITY RINGAN DALAM ANESTESI UMUM (Laporan Kasus) Pratidina, Naninda Berliana; Puspa Pertiwi, Arlette Suzy; Riyanti, Eriska; Soewondo, Willyanti
Cakradonya Dental Journal Vol 12, No 2 (2020): Agustus 2020
Publisher : FKG Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/cdj.v12i2.17830

Abstract

Intellectual disability (ID) mengacu pada sekelompok gangguan pada fungsi adaptif dan intelektual serta terjadi sebelum usia dewasa. ID bukan merupakan satu kesatuan, melainkan gejala umum dari disfungsi sistem saraf. Laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pentingnya perawatan gigi pada anak ID ringan dengan anestesi umum. Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun datang ke Poliklinik Kedokteran Gigi Anak RSGM Universitas Padjadjaran dengan keluhan gigi yang kotor dan berbau tidak sedap yang sudah terjadi sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Pasien didiagnosis ID ringan sejak usia 3 tahun. Pemeriksaan fisik, ekstra oral, radiografi toraks dan laboratorium menunjukkan tidak ada kelainan signifikan. Pemeriksaan intraoral: pulpitis reversibel pada gigi 55, 53, 63, 65, 75, dan 85, pulpitis ireversibel pada gigi 54, nekrosis pulpa pada gigi 64, 73, 74, 83, dan, 84, serta gingivitis marginalis kronis pada rahang atas dan bawah. Perawatan yang dilakukan adalah skeling dan profilaksis rahang atas dan bawah, aplikasi fluor topikal serta ekstraksi gigi 54, 64, 74, 73, 83 dan 84 dalam anestesi umum. Pasien merespon baik terhadap perawatan yang dilakukan. Perawatan gigi dan mulut dengan anestesi umum untuk penyandang ID dapat dijadikan pilihan pada pasien yang tidak kooperatif. Dokter gigi anak berperan penting dalam peningkatan kesehatan gigi dan rongga mulut pada penyandang ID.
ORAL TREATMENT IN MILD INTELLECTUAL DISABILITY CHILDREN UNDER GENERAL ANESTHESIA (A Case Report) Pratidina, Naninda Berliana; Pertiwi, Arlette Suzy Puspa; Riyanti, Eriska; Soewondo, Willyanti
Cakradonya Dental Journal Vol 12, No 1 (2020): Februari 2020
Publisher : FKG Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/cdj.v12i1.16179

Abstract

Intellectual Disability (ID) mengacu pada sekelompok gangguan pada fungsi adaptif dan intelektual serta usia onset sebelum maturitas tercapai. ID bukan merupakan satu kesatuan, melainkan gejala umum dari disfungsi sistem saraf. Laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pentingnya perawatan gigi pada anak ID ringan dengan anestesi umum. Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun datang ke Poliklinik Kedokteran Gigi Anak RSGM UNPAD dengan keluhan gigi yang kotor dan berbau tidak sedap, hal ini sudah terjadi sejak kurang lebih 2 tahun yang lalu. Pasien dan ibunya pernah ke dokter gigi, tetapi tidak dapat dilakukan perawatan. Pasien didiagnosis ID ringan sejak usia 3 tahun. Pemeriksaan fisik, ekstra oral, radiografi thorax dan laboratorium menunjukkan tidak ada kelainan signifikan. Pemeriksaan intraoral menunjukkan pulpitis reversibel gigi 55, 53, 63, 65, 75, dan 85, pulpitis irreversible gigi 54, nekrosis pulpa gigi 64, 73, 74, 83, dan, 84, serta gingivitis marginalis kronis rahang atas dan bawah. Perawatan yang dilakukan adalah skeling dan profilaksis rahang atas dan bawah, aplikasi fluor topikal serta ekstraksi gigi 54, 64, 74, 73, 83 dan 84 dalam anestesi umum. Pasien merespon baik terhadap perawatan yang dilakukan. Perawatan gigi dan mulut dengan anestesi umum untuk penyandang ID dapat dijadikan pilihan pada pasien yang tidak kooperatif. Dokter gigi anak berperan penting dalam peningkatan kesehatan gigi dan rongga mulut pada penyandang ID.Kata kunci: Intellectual disability, Anestesi umum, Special Care Dentistry