Farida Setyaningsih
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

MAKNA RITUAL KUNGKUM DI UMBUL NYAI KENDAT PLUMBUNGAN KABUPATEN BAYOLALI PERSPEKTIF AGAMA HINDU Farida Setyaningsih
Widya Aksara Vol 25 No 1 (2020)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (439.124 KB)

Abstract

Kungkum ritual is a method of union between Atman and Brahman through the Meditation method in water. Kungkum focuses his concentration on the Sapta Cakra that is in the human body to activate these chakras with the aim of getting closer to God. When the chakras in the human body eat many benefits both medically and non-medically, scale and niskala. By using the concept of function in the Hindu tradition, this study discusses the procedures, meanings and values ??contained in the Kungkum ritual which is a Hindu Tradition, which is to gush or purify a person through certain practices. In discussing the meaning of kungkum ritual in Hindu tradition. Discussion of the procedures and benefits of using functions, while the meaning will be discussed on the basis of symbol theory. Kungkum rituals performed by humans in Umbul Nyai Kendat are not much different from kungkum rituals in several places. The aim of Kungkum at Umbul Nyai Kendat is to unite Atman with the Brahman within himself through the water method as a means of concentration. Concentrate on Kungkum by opening the aura that is in our body / doer which is centered on the Chakras in the body. When the chakras are active, someone who does kungkum will get many benefits such as not getting sick easily, being more sensitive to astral things and so on. After knowing the Meaning of Kungkum Rituals in Hindu Traditions, it is expected that all parties should help preserve the existence of Kungkum as a means of self-purification. This is a form of ancestral heritage that needs to be maintained. This is to add to the richness of Hindu culture and traditions that are almost extinct. After this research it is hoped that further research will emerge regarding rituals, ceremonies and ceremonies as well as ethics carried out by the community.    
BENTUK DAN MAKNA UPACARA MANUSIA YADNYA MITONI DENGAN TRADISI JAWA Farida Setyaningsih
Widya Aksara Vol 25 No 2 (2020)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam masyarakat manusia, yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai tempat waktu dan keadaan maka cara-cara yang ditempuh dalam menunjukkan rasa bhakti pada Hyang Widhi dan segala ciptaan-Nya maka perlu memahami acara Agama Hindu. Demikian juga untuk menjaga keharmonisan alam semesta inilah maka umat Hindu supaya betul-betul melaksanakan Tri hita karana sesuai dengan ajaran agama.Manusia dianugerahi pemikiran, perasaan,daya karsa dan usaha, oleh karena itu dalam rangka meningkatkan kualitasnya sebagai manusia perlu kiranya meningkatkan pengetahuan tentang sradha bakti dan karmanya untuk mewujudkan tujuan beragama Hindu yaitu Moksartham Jagadita ya ca iti Dharma. Tidak lepas dari ajaran agama pelaksanaan upacara manusia yadnya upacara Mitoni dengan tradisi Jawa ini sudah sangat langka di masyarakat Jawa melaksanakan. Oleh karena itu penulis mengangkat judul Bentuk dan Makna Upacara Manusia Yadnya Mitoni dengan tradisi Jawa. Tujuannya supaya generasi penerus mengetahui dan memahami upacara Mitoni dengan tradisi Jawa yang benar dan lengkap. Mengetahui dan memahami bentuk sesaji/banten yang dibuat dan dihaturkan, serta mengetahui dan memahami makna sesaji/banten yang dibuat, diahturkan dan prosesi yang dilaksanakannya. Sehingga semua proses dari awal, pertengahan hingga akhir dari upacara mitoni dengan tradisi jawa ini masyarakat memahami. Macam-macam peralatan yang harus dipersiapkan yaitu: Satu meja yang ditutup dengan kain putih bersih. Di atasnya ditutup lagi dengan bangun tolak, kain sindur, kain lurik, Yuyu sekandang, mayang mekak atau letrek, daun dadap srep, daun kluwih, daun alang-alang. Bahan bahan tersebut untuk lambaran waktu siraman,Bokor di isi air tujuh mata air, dan kembang setaman untuk siraman,Batok (tempurung) sebagai gayung siraman (ciduk),Boreh untuk mengosok badan pengganti sabun, Kendi dipergunakan untuk memandikan paling akhir, Dua anduk kecil untuk menyeka dan mengeringkan badan setelah siraman, Dua setengah meter kain mori dipergunakan setelah selesai siraman, Sebutir telur ayam kampung dibungkus plastik, Dua cengkir gading yang digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Dewi Wara Sembodro, Dua meter lawe atau janur kuning, Baju dalam dan nampan untuk tempat kebaya dan tujuh nyamping, dan stagen diatur rapi, Perlengkapan Kejawen kakung dengan satu pasang kain truntum. Calon ayah dan ibu berpakain komplet kejawen, calon ibu dengan rambut terurai dan tanpa perhiasan. Upacara mitoni tak terlepas dari beragam sesaji sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta. Bawah ini merupakan sesaji yang dihaturkan dalam upacara mitoni sebagai berikut: Tujuh Macam Bubur, termasuk bubur Procot, Tumpeng Kuat, yang bermakna bayi yang akan dilahirkan nanti sehat dan kuat, (Tumpeng dengan Urab-urab tanpa cabe, telur ayam rebus dan lauk yang dihias), Jajan Pasar, syaratnya harus beli di pasar (Kue, buah, makanan kecil), Rujak buah-buahan tujuh macam, dihidangkan sebaik-baiknya supaya rujaknya enak, bermakna anak yang dilahirkan menyenangkan dalam keluarga, Dawet, supaya menyegarkan, Keleman, semacam umbi-umbian, sebanyak tujuh macam.
PEREMPUAN DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI Setyaningsih; Farida Setyaningsih
Widya Aksara Vol 26 No 1 (2021)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi semua aspek kehidupan. Perkembangannya tidak hanya didominasi oleh laki-laki tetapi juga oleh perempuan. Wanita dianggap sebagai pemakai penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan pria adalah penemu. Laki-laki, secara eksplisit, berperan dalam proses sains dan teknologi. Namun, ahli ilmu pengetahuan mengajukan temuan yang menunjukkan identitas perempuan terhadap teknologi. Diperkirakan oleh mereka yang peduli dengan isu perempuan akan semakin banyak perempuan yang terlibat dalam proses penemuan di bidang iptek. Pencapaian perempuan ini tidak dapat dihindari karena mereka telah berkontribusi banyak pada pembangunan di wilayah tersebut baik diterima secara publik atau tidak.
IMPLEMENTASI PEMBIASAAN MENINGKATAKAN KARAKTER DAN PRESTASI SISWA PADA PENDIDIKAN PASRAMAN NON FORMAL DI EKS KARESIDENAN SURAKARTA Farida Setyaningsih; Putu Budiadnya; Setyaningsih; Titin Sutarti; Sujaelanto; Gayatri Sindi Mahesti
Widya Aksara Vol 27 No 1 (2022)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54714/widyaaksara.v27i1.184

Abstract

Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak, jika hal tersebut tertanam dan terpatri dalam diri setiap insan sejak dini, hal tersebut merupakan awal yang baik bagi setiap Pendidikan anak bangsa untuk menjalani proses selanjutnya. Melihat betapa pentingnya pembiasaan meningkatkan karakter dan prestasi siswa, maka peneliti mengambil 3 rumusan masalah yaitu; jenis pembiasaan apa yang digunakan untuk meningkatkan karakter dan prestasi siswa pada Pendidikan Pasraman Non Forma di Eks Karesidenan Surakarta, bagaimana implementasi pembiasaan untuk meningkatkan karakter dan prestasi siswa pada Pendidikan Pasraman Non Formal di Eks Karesidenan Surakarta, dan bagaimana dampak implementasi pembiasaan terhadap karakter dan prestasi siswa pada Pendidikan Pasraman Non Forma di Eks Karesidenan Surakarta. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji dari rumusan masalah supaya bermanfaat secara teoritis maupun praktis dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara, dokumentasi, observasi, partisipan dan kepustakaan. Penelitian ini mengunakan teori pembiasaan klasik untuk membedah rumusan masalah 1, teori pembentukan karakter digunakan untuk membedah rumusan masalah 2, dan teori dampak untuk membedah rumusan masalah 3. Sehingga dapat ditarik simpulan jenis pembiasaan antara Pasraman satu dengan yang lainnya bisa ada beberapa yang sama, juga ada jenis pembiasaan yang berbeda, dalam implementasi pembiasaan juga ada yang sama dan ada yang berbeda, dalam arti ada yang rajin, kurang raji, fokus, lebih fokus, dan kurang fokus, bahkan ada yang rutin, telaten, tepat waktu sesuai jadwal yang ditentukan namun ada juga yang kurang disiplin, sehingga dampaknya juga berbeda terhadap peningkatan karakter dan prestasi siswa pada Pendidikan Pasraman Non Formal di Eks Karesidenan Surakarta. i
Svarga, naraka, and moksa in svargarohaṇaparva : (the perception of Hindus in Bali) I Made Gami Sandi Untara; Farida Setyaningsih; Ni Made Sumaryani
Life and Death: Journal of Eschatology Vol. 1 No. 1: (July) 2023
Publisher : Institute for Advanced Science Social, and Sustainable Future

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61511/lad.v1i1.2023.191

Abstract

Death is not the end of life nor the limit of life; it is the gate of eternity. Only through death can immortality be achieved, and indirectly, everyone who wants to achieve immortality must first experience physical death. Life after death is related to Svarga, Naraka, and Moksa concepts. Hinduism has various texts that discuss Svarga, Naraka, and Moksa, one of which is Svargarohaṇaparva. The Svargarohaṇaparva text is the last of the eighteen parvas in the Mahābhārata tale and one of the texts dealing with svarga, Naraka, and moksa. This article is the result of a qualitative study that examines svarga, Naraka, and moksa in Svargarohaṇaparva and the perceptions of Hindus in Bali using the Hermeneutic Hans-Georg Gadamer approach. The perception of Hindus in Bali regarding svarga, Naraka, and moksa in Svargarohaṇaparva is that svarga enjoyed by people who had died when their life was always doing good; Naraka will be enjoyed by the spirit of a person who has always done bad or harmful things throughout his life; and moksha is enjoyed by limited circles, especially those who are considered holy. This is the same as what is contained in Balinese literary works, such as Geguritan Bhima Svarga, Putru Pasaji, Atma Prasangsa, Kakawin Aji Palayon, Geguritan I Japatvan, and Bagus Diarsa. However, the depiction of the atmosphere of svarga in Balinese literature shows more of the local atmosphere and Balinese traditions, such as the Meru-shaped svarga building, which is synonymous with sacred buildings in Bali. In addition, the perceptions of Hindus in Bali regarding svarga, Naraka, and moksa are also expressed in behavior, sacred buildings, and the surrounding environment, as well as religious ceremonies that reflect the concepts of svarga, Naraka, and moksa.