Sujaelanto
Unknown Affiliation

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

NILAI EDUKASI KEGIATAN RITUAL PURA AGUNG GIRINATA KOTA SEMARANG Sujaelanto
Widya Aksara Vol 21 No 2 (2016)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.068 KB)

Abstract

Pura Agung Girinatha tidak sekedar sebagai tempat yang suci dan sacral bagi umat Hindu kota Semarang, tetapi juga sebagai symbol dan identitas. Umat Hindu kota Semarang tediri dari berbagai suku dan asal daerah. Umat Hindu Semarang ada yang berasal dari India, Bali, Jawa dengan kondisi social yang berbeda-beda.  Umat Hindu kota Semarang menempatkan Pura Agung Girinatha bukan saja sebagai sempat yag suci dan sacral untuk tempat upacara agama, tetapi juga sebagai tempat  social keagamaan. Pura sebagai tempat social keagamaan, dipergunakan sebagai pengembangan budaya, pendidikan, sebagai tempat musyawarah warga tempek, tempat wisata religi. Mutli fungsi pura Agung Girinatha merupakan bentuk tranformasi nilai kesadaran dalam memahami, manghayati dan merefleksikan sikap keberagamaannya. Umat Hindu kota Semarang mengekspresikan emosi keagamaan mereka melalui upacara ritual keagamaan dengan menghaturkan sesaji kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Nilai edukasi dalam upacara di pura Agung Girinata terkait dengan seluruh aspek Tri Hita Karana yang di implementasikan dalam hubungan sesame komunitas Hindu Semarang, dengan masyarakat sekitar serta baktinya dengan Tuhan. Masyarakat Hindu di Kota Semarang dalam mengejawantahkan emosi keagamaannya dengan konsep ?desa mawacara? atau ?desa kalapatra?. Adaptasi dengan situasi ruang-waktu umat Hindu kota Semarang secara konsisten menunjukkan dasar keyakinan tatacara beragama mereka melalui jalan ritual.
JATI DIRI SEORANG PEMIMPIN DALAM KAKAWIN RAMAYANA Sujaelanto
Widya Aksara Vol 22 No 1 (2017)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.04 KB)

Abstract

Setiap organisasi formal maupun non formal, pasti memerlukan pemimpin. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu atau tujuan bersama. kepemimpinan adalah suatu seni untuk menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Keberhasilan kepemimpinan tergantung pada kondisi wilayah dan masyarakat yang dipimpinnya. Untuk mencapai keadaan gemah ripah loh jinawi tergantung dari usaha dan jati diri seorang pemimpin untuk memainkan nilai kepemimpinan. Ajaran kepemimpinan banyak ditemukan diberbagai sastra Hindu, termasuk dalam Kakawin Ramayana. Jati diri seorang pemimpin dapat direvitalisasi dalam ajaran Asta Barata
TRADISI SELAMATAN SERIBU HARI MASYARAKAT HINDU KABUPATEN BLITAR Sujaelanto
Widya Aksara Vol 22 No 2 (2017)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (194.322 KB)

Abstract

Selamatan merupakan ajaran tradisi Jawa untuk menyelamatkan jiwa orang yang sudah meninggal dunia. Seperti masyarakat Kabupaten Blitar baik yang beragama Hindu maupun Islam upacara selametan seribu hari dalam perjalannya mengalami perubahan. Proses dan bentuk  selamatan seribu hari di Kabupaten Blitar  masih dilaksanakan serta ada yang mengalami pergeseran bentuk ritualnya. Pergeseran bentuk pelaksanaan selamatan seribu hari disebabkan oleh pengaruh perubahan jaman. Pada jaman sekarang ini masyarakat Hindu di Kabupaten Blitar tetap melaksanakan tradisi selamatan seribu hari. Pergerasan bentuk pelaksanaan selamatan seribu hari masyarakat Hindu disesuaikan dengan tata nilai ajaran Hindu. Selamatan seribu hari menggunakan perhitungan sesuai dengan rumus-rumus tradisional. Perhitungan mencari hari pelaksanaan selamatan seribu hari dilakukan oleh tokoh masyarakat setempat. Tahapan pelaksanaan selamatan seribu hari dilaksanakan mulai dari mencari perhitungan hari, persiapan membuat sesaji dan hidangan, membangun kijing, selamatan awal, pitra puja, selamatan besar. Bentuk selamaten seribu hari masyarakat Hindu Kabupaten Blitar dari bentuk upakara adalah menggunakan ayam adalah sederhana, menggunakan kambing adalah sedang dan menggunakan sapi/ kerbau adalah selamatan dalam bentuk besar.  Penggunakan sarana upakara selamatan seribu hari merupakan simbul status social masyarakat. Nilai dalam selamatan seribu hari terdapat nilai  religi, dan nilai social.
APEM SESAJI SELAMATAN KEMATIAN BAGI MASYARAKAT HINDU DI BLITAR Sujaelanto
Widya Aksara Vol 23 No 1 (2018)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.627 KB)

Abstract

Apem adalah kue yang rasanya lezat dan manis dan bahkan jajan ini dibeberapa tempat menjadi ikon kuliner. Kue tradisional ini selain rasanya lezat ternyata memiliki nilai filosofis. Bagi orang Jawa, kue Apem menjadi bagian sesaji upacara  kematian. Upacara yang mempergunakan Apem tidak saja umat Hindu Jawa, tetapi masyarakat non Hindu juga menggunakan Apem sebagai upacara tertentu. Apem sebagai sarana sesaji upacara, tidak saja digunakan oleh masyarakat Hindu Jawa, tetapi masyarakat Cirebon, Klaten, Yogya, Sunda, Madura dan bahkan sebagain masyarakat Hindu di India juga menggunakan Apem sebagai sarana persembahan. Masyarakat Hindu di Blitar, sesaji Apem digunakan untuk selamatan kematian. Selamaten kematian mulai dari tiga hari sampai selamatan seribu hari selalu menggunakan kue Apem. Kue Apem dalam acara selamaten kematian dimaknai sebagai symbol untuk mengantar sang Atman agar diberikan jalan yang terang menuju alam abadi.
SESAJI KEARIFAN LOKAL UPACARA TAUR DI CANDI PRAMBANAN 2018 Sujaelanto
Widya Aksara Vol 23 No 2 (2018)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (239.525 KB)

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengungkap sesaji upacara Taur di candi Prambanan. Upacara Taur adalah upacara pembersihan alam atau memprasida bumi.  Kebiasaan yang sudah berlalu, pelaksanaan Upacara Taur di Prambanan menggunakan sesaji tradisi dari Bali. Upacara Taur di Candi Prambanan pada bulan Maret 2018 berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya, perbedaannya adalah sesaji Taur menggunakan sesaji kearifan local. Penggunaan sesaji sesuai kearifan local Jawa untuk menjawab anggapan pelaksanaan upacara Hindu tidak selalu seperti tradisi di Bali. Sesaji kearifan local upacara Taur di Prambanan melalui proses sosialisasi dengan melakukan Sarasehan Pinandeta di Klaten yang dihadiri tiga Pandita.  Sarasehan menghasilkan konsep sesaji sesuai kearifan local yakni; Tumpeng Agung, Tumpeng Palang, Tumpeng Gurih Kuning, Tumpeng Pras, Sego Liwed,Sego Golong Lulud, Sekar Setaman, Gedang  Ayu, Jajang Wudug Wulung, Gunungan, Gecok, Jenang Ombak-ombak, Jenang Arang Kambang, Jenang Menir, Nasi monco warno,  Jenang monco warno, Jenang Tolak balak, Jenang  Katul Lateng.
WEDA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT HINDU JAWA Sujaelanto
Widya Aksara Vol 24 No 1 (2019)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (206.429 KB)

Abstract

The Vedas are Hindu scriptures whose values ??must be believed. Thousand-year-old Vedas come from the mainland of the Sindhu river valley and spread to all corners of the world, not to mention that Indonesia also received the influence of the teachings of the Vedas. Vedic values ??are critical to the local culture so that it further strengthens the foundation of civilization. In Indponesia, the Vedas became a foothold for the Hindu occupation. In Java the vedas were adopted not only as holy books, but also as valuable knowledge. The concept of Vedas is widely used by Javanese people to mark truth, or to point to a place. The Hindu community in Java, explores the vines not only through the form of ceremonies, but also becomes part of the lifestyle and symbol of diversity. Vedic verses are not much displayed in the corner of the family room or temple, but the reflection of the Vedic value echoes in the joints of Javanese society. Hndu in Java slowly began to revitalize the values ??of the Vedic teachings through Dharmagita activities, pesantian, pasraman activities, Hindu young generation actions. In order to echo the teachings of the Vedas need synergistic work between religious leaders, families, religious assemblies to formally elevate the Vedic scriptures.
KETUHANAN DALAM KENA UPANISAD Sujaelanto
Widya Aksara Vol 24 No 2 (2019)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (470.264 KB)

Abstract

Upanisad is part of the Vedas. Upanisad book is the beginning of the history of the development of Hindu thought that contributes to the development of Hindu philosophy. There is a variable between upanisad and one other and there are things that are highlighted. In general, upanisad teaches about God, Spirit, Karma, Maya, and Awidya. Kena upanisad consists of 35 main sloka / mantra and 4 sloka as an ornament. Kena upanisad teaches about the nature of God as a controller, mobilizer, life-giver in every life that is dubbed as Brahman. Etah Brahman in Kena as expressed with his eyes, eyes, ears, breaths, thoughts. Belief in God subject to upanisad is Pantheism and Monism    
IDENTIFIKASI DEWA-DEWA DALAM REG WEDA MANDALA I Sujaelanto
Widya Aksara Vol 25 No 2 (2020)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Reg weda adalah kitab suci Hindu berbentuk mantra yang dipercaya sebagai wahyu Tuhan dan diterima oleh maha rsi. Mantra reg weda menggunakan bahasa Sanskerta yang kaya dengan nilai estetika dan tersusun sangat rapi dengan menggunakan bentuk chanda yang indah. Reg Weda Mandala I adalah bagian Weda Sruti yang terdiri 1944 mantra yang tersebar dalam 192 sukta. Setiap Sukta terdapat beberapa mantra yang dinyanyikan melalui candha. Selain itu di setiap Sukta terdapat berbagai nama rsi, dewa yang dipuja. Masih banyak anggapan dan membandingkan jikalau dewa yang banyak itu disamakan dengan Tuhan. Itu pengertian yang tidak benar. Dewa adalah salah satu sifat Tuhan. Dewa-dewa dalam Hindu sangat banyak jumlahnya. Walaupun nama dewa banyak, tetapi Hindu hanya menganut pada Tuhan yang esa. Nama dewa-dewa apa saja yang terdapat dalam Reg weda mandala I ?. Dalam artikel ini akan membahas nama-nama dewa. Dalam pengumpulan data untuk mengidentifikasi nama dewa menggunakan metode simak dan baca berulang-ulang. Buku sumber utama sebagai bahan penggalian data adalah Reg Weda oleh Gede Puja,SH.MA dan W Sandhi,BA tahun terbit 1979/80 cetakan kedua tanpa ada nama penerbit. Dari hasil yang didapat bahwa nama dewa-dewa dalam Reg Weda Mandala I adalah ; Agni, Aditi/aditya, Anu, Apah, Anna, Aptrina, Aryama, Aswa, Aswin, Banaspati, Barhi, Bhaga, Bharati, Bhawayavya, Brahmanaspati, Brhaspati, Daksina, Dasagwa, Drawinoda, Dwara, Drahyu, Dyaus, Gana, Hotara, illa, Indu, Indra, Jatawada, Kesina, Kutsa, Mahi, Marutt, Maghawa, Matariswa, Mitra, Narasamsa, Nasatya, Parjaya, Parwata, Pertiwi, Prachet, Prajapati, Puru, Pushan, Rati, Rbhu, Romasa, Rudra, Sadasapati, Sadhya, Sacra, Saraswati, Satakratu, Sawita, Sindhu, Soma, Sunrta, Surya, Swaha, Swanarya Danastuti, Tanunapat, Trita, Twastar, Ulukhala, Usanakta, Usas, Utarardha, Waja, Waiswanara, Wak, Waruna/Baruna, Wasu, Wata, Wayu/Bayu, Wibhwan, Wisnu, Wiswadewa, Yadus, Yupa.
AKTUALISASI DAN PENCIPTAAN GEGURITAN SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN DI PASRAMAN WISNU SAKTI DESA TAMBAKAN, KECAMATAN JOGONALAN, KABUPATEN KLATEN Supriyadi; Dewi Ayu Wisnu Wardani; Sujaelanto
Widya Aksara Vol 26 No 1 (2021)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pura Wisnu Sakti secara historis memiliki kebudayaan geguritan yang kini sudah jarang digunakan. Padahal, geguritan memiliki fungsi sebagai media transformasi pengetahuan ataupun pendidikan moral kepada anak yang dibacakan. Hal ini menjadi menarik untuk diaktualisasikan kembali. Selain itu, penciptaan menjadi lebih menarik karena pelestarian dan pengaktualisasiannya menjadi lebih efektif. Dalam penciptaannya tentu mempertimbangkan berbagai faktor: daya tangkap anak, penyesuaian zaman, serta penanaman nilai-nilai agama. Dari latar belakang yang hadir, terumuskan dua pertanyaan yang harus dipecahkan, yakni: 1) Kenapa aktualisasi dan penciptaan geguritan dilakukan?, 2) Bagaimana aktualisasi dan penciptaan geguritan dilakukan? Dalam penelitian yang dilakukan, metode partisipatoris menjadi metode yang dirasa paling ideal, karena posisi dari peneliti merupakan insider dari objek penelitian. Selain itu, penelitian yang dilakukan merupakan penelitian terapan, sehingga metode ini sangat mendukung dalam pelaksanaannya. Dalam penelitian yang dilakukan, teori yang digunakan adalah teori konstruktivisme, teori revitalisasi, dan teori penciptaan. Dari penelitian yang sudah dilakukan, terdapat kesimpulan bahwa ada empat faktor yang melandasi aktualisasi dan penciptaan geguritan patut untuk dilakukan: 1) Faktor latar belakang, 2) Faktor Pelestarian, 3) Faktor Geguritan, 4) Faktor Pasraman. Pengaktualisasian dan penciptaan geguritan berhasil dilakukan, meskipun belum sepenuhnya maksimal. Meskipun begitu, penelitian terapan memang tidak secara instan dapat terselesaikan, karena harus melalui proses yang panjang. Tahapan-tahapan dari proses pengaktualisasian dan penciptaan mengacu pada teori-teori yang digunakan. Hasil yang didapatkan menyatakan bahwa teori-teori tersebut terbukti mampu untukdiaplikasikan.
AGAMA HINDU PELESTARI BUDAYA LOKAL Putu Budiadnya; Sujaelanto
Widya Aksara Vol 26 No 1 (2021)
Publisher : Lembaga Penerbit Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perwujudan dari rasa syukur ini dilakukan Umat Hindu dalam sebuah penyelenggaraan upacara atau odalan yang umumnya dikenal dengan pelaksanaan yadnya atau korban suci. Bebantenan di Bali merupakan ciri khas yang unik dengan mengaitkan daya cipta yang religius serta mengandung budaya seni dan adat yang bercirikan pada Desa-Kala-Patra (tempat, waktu dan keadaan tradisi masyarakat pendukungnya). Budaya merupakan segala hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Segala bentuk cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi adalah hal – hal yang muncul karena budi dan akal manusia. Budaya merupakan pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Ada tiga kerangka dasar dalam pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama Hindu, antara lain: 1). Tattwa (pengetahuan tentang filsafat), 2). Etika, (pengetahuan tentang sopan santun, tata krama) 3). Upacara atau ritual (pengetahuan tentang yajna) Ketiga kerangka dasar tersebut tidak berdiri sendiri tetapi merupakan suatu kesatuan yang harus dimiliki. Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut : Bagaimana hubungan agama Hindu dan Budaya lokal?, Bagaimana Agama Hindu Melestarikan budaya lokal? Terdapat hubungan yang sangat erat dan selaras antara budaya dan agama Hindu dimana menjiwai budaya yang ada. Baik itu dalam bentuk dharma gita, seni tari, seni tabuh, upacara keagamaan, pakaian adat, maupun bangunan suci. Semua itu merupakan bentuk usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bernafaskan ajaran – ajaran Weda.Jenis – jenis budaya yang ada dalam agama Hindu antara lain : Dharma Gita, Seni Tari, Seni Tabuh, Upacara Keagamaan, Pakaian Adat, dan Bangunan Suci. Dari setiap budaya yang telah di paparkan tadi di atas dapat dibuktikan adanya unsur kehinduan yang menjiwai masing – masing budaya sebagai bentuk ekspresi dari pengamalan ajaran agama Hindu