Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pantang Larang Tidur Setelah Asar (Kajian Living Hadis Tradisi Masyarakat Desa Rongdurin Tanah Merah Bangkalan) Shobri, Alwi; Kholilurrahman, As’ad; Akbar, Riko; Hasbulloh, Moh.; Pratama, Ferdy; Maisyaroh, Siti; Chovifah, Anisatul
Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 18, No. 2 : Al Qalam (Maret 2024)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an (STIQ) Amuntai Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35931/aq.v18i2.3382

Abstract

Islam dan tradisi di Indonesia adalah dua aspek yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu contoh dari keterkaitan ini adalah pola akulturasi antara Islam dan budaya Jawa. Budaya Jawa memiliki tradisi yang kaya yang menjadi ekspresi sehari-hari masyarakat. Contohnya adalah tradisi lisan yang berbicara tentang larangan tidur setelah Asar, yang telah menjadi bagian dari kehidupan di desa Rongdurin. Kepercayaan masyarakat desa Rongdurin terhadap larangan tidur setelah Asar dianggap sebagai sesuatu yang memiliki makna dan konsekuensi mendalam. Waktu Asar dianggap sebagai momen yang sakral dan religius, dengan dampak-dampak buruk yang mungkin terjadi jika larangan tersebut dilanggar. Sehingga dalam konteks ini, muncul ungkapan lokal; “Jhubek jek tedungan marennah Asar ekaberis ghileh.” Oleh karena itu, diangkatnya penelitian ini karena didorong oleh dua faktor utama. Pertama, tujuannya adalah untuk menyelidiki eksistensi hadis Nabi yang melarang tidur setelah Ashar. Kedua, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi relevansi tradisi pantangan tidur setelah Ashar dengan aspek medis. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan model kualitatif, menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi sebagai metode pengumpulan data. Proses analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif induktif untuk menggambarkan nilai-nilai, informasi dan bentuk yang berkaitan dengan permasalahan tradisi pantangan tidur setelah Asar di desa Rongdurin. Hasil dari penelitian ini mencakup tiga aspek utama. Pertama, peneliti melacak sejarah munculnya tradisi lisan mengenai larangan tidur setelah Asar di desa Rongdurin. Kedua, peneliti mengukur stereotip masyarakat desa Rongdurin terhadap tradisi lisan ini dalam konteks praktikal. Ketiga, penelitian ini mengidentifikasi relevansi antara tradisi praksis yang ada di desa Rongdurin melalui perspektif hadis dan pengetahuan medis.
Interaksi Hadis dan Budaya: Interpretasi Ali Mustafa Yaqub dalam Kitab Al-Turuq Al-Sahihah Fi Fahm Al-Sunnah Al-Nabawiyah Khalilurrahman, As'ad; Ichwayudi, Budi; Shobri, Alwi; Akbar, Riko
Jurnal Diskursus Islam Vol 12 No 2 (2024): August
Publisher : Program Pascasarjana, UIN Alauddin Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/jdi.v12i2.43307

Abstract

The source of religious teachings is the Qur'an and hadith (sayings and actions of Prophet Muhammad). The birth of both is closely related to the culture and customs of the society at that time. The Prophet used culture as a medium to convey his message. The actions of the Prophet served as an example for humanity, especially Muslims, in the world. These behaviors and traits are referred to as the "sunnah." One example of the Prophet's habits is wearing the imamah or turban, letting his hair grow long, and many other aspects related to the Prophet's life. As devout followers, it is important to practice everything the Prophet did as a form of reverence for him. However, the challenge arises because every place has different cultures and customs. This becomes an issue when the Prophet's habits, as depicted in the hadiths, are not followed due to reasons not related to religious matters. Consequently, practices that are not considered acts of worship (ibadah) may be abandoned according to the local culture and traditions. Abstrak Sumber ajaran agama adalah al-Qur’an dan hadis. Lahirnya keduanya tidak lepas dari budaya dan kebiasaan masyarakat pada masa itu. Nabi menggunakan budaya sebagai media dalam menyampaikan risalahnya. Tindakan yang dilakukan Nabi adalah suri tauladan atau contoh untuk umat manusia khususnya muslim didunia. Prilaku dan sifat itulah disebut dengan sunnah. Salah satu contoh kebiasaan Nabi adalah menggunakan imamah atau sorban, membiarkan rambutnya panjang dan banyak lagi hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan Nabi. Sebagai umat yang taat beragama perlulah utuk mengamalkan semua yang dilakukan Nab dalam bentuk rasa cita kepada Nabi. namun masalahnya adalah setiap tempat mempunyai budaya dan istiadat yang berbeda-beda. Hal ini menjadi masalah ketika kebiasaan Nabi yang tergambar dalam kitab-kitab hadis tidak diamalkan dengan alasan bukan perkara agama. Sehingga amalan yang ranahnya bukan ibdah boleh ditinggal sesuai budaya, tradisi masyarakat setempat.
Contextualization of The Talkin Hadith in The Book Tarjamah Bulugul Maram by Ahmad Hassan Akbar, Riko; Muhid, Muhid; Nurita, Andris; Muthaharoh, Isnaini Lu'Lu' Atim
AJIS: Academic Journal of Islamic Studies Vol. 9 No. 2 (2024)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Curup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29240/ajis.v9i2.10346

Abstract

This research examines Ahmad Hassan's thoughts regarding Ahmad Hasan's thoughts on the Talkin hadith in the book Tarjamah Bulugh al-Maram. This research uses a qualitative approach. In data mining, library research is used by searching various written sources to obtain other supporting data. Data analysis in this research uses the content analysis method by discussing in depth the information content of the collected data in accordance with the research objectives and problems. The theory used is Syuhudi Ismail's contextualization theory. The results of this research are that Ahmad Hassan interprets what is meant by talkin as teaching, meaning teaching the deceased to answer the questions given by the Angels Munkar and Nakir in the grave regarding I'tikad. which must be believed while living in the world. For Ahmad Hassan, talkin is invalid and not justified because there is no explanation in the Quran and hadith.