This study aims to analyze the implementation of the supervisory function from the perspective of staff empowerment at Class IIA Kerobokan Correctional Facility. The prison faces significant challenges, including severe overcrowding-with an occupancy rate exceeding 254% of its ideal capacity-along with limited human resources and inadequate facilities. A qualitative descriptive approach was used, employing data collection techniques such as interviews, observation, and documentation involving prison staff, inmates, and relevant stakeholders. The implementation framework proposed by George Edward III, which includes communication, resources, disposition, and bureaucratic structure, served as the basis for analysis. The findings reveal that the supervisory function is not yet optimal due to a lack of human resources, insufficient training, and high workloads. Although communication among staff is generally effective, implementation remains constrained by limited infrastructure and the absence of supportive technologies. While staff exhibit a generally positive disposition, this needs to be reinforced by a more adaptive bureaucratic structure and concrete policy support. Therefore, empowering staff through capacity building, regular training, and the provision of adequate facilities is essential to enhance supervisory effectiveness and the success of inmate rehabilitation programs. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi fungsi pengawasan dalam perspektif pemberdayaan petugas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kerobokan. Lapas ini menghadapi tantangan serius berupa overkapasitas dengan tingkat hunian mencapai lebih dari 254% dari kapasitas ideal, serta keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi terhadap petugas lapas, narapidana, dan pemangku kepentingan terkait. Teori implementasi kebijakan George Edward III digunakan sebagai kerangka analisis dengan indikator komunikasi, sumber daya, disposisi (sikap), dan struktur birokrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi pengawasan belum berjalan optimal akibat keterbatasan SDM, kurangnya pelatihan, dan beban kerja tinggi. Meskipun komunikasi antar petugas cukup baik, implementasi pengawasan masih terkendala oleh minimnya fasilitas fisik dan sistem pendukung teknologi. Disposisi petugas yang umumnya positif perlu didukung oleh struktur birokrasi yang lebih adaptif dan dukungan kebijakan yang nyata. Oleh karena itu, pemberdayaan petugas melalui peningkatan kapasitas, pelatihan rutin, dan penyediaan sarana prasarana yang memadai menjadi faktor penting untuk meningkatkan efektivitas pengawasan dan keberhasilan program pembinaan. Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Pemberdayaan Petugas, Pengawasan, Lapas, Overkapasitas