Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Neurosifilis Asimtomatik Pada Pasien Sifilis Sekunder Dengan Koinfeksi Human Immunodeficiency Virus Febrina, Dia; Cahyawari, Dartri; Roslina, Nina; Rowawi, Rasmia; Achdiat, Pati Aji
Syifa'Medika Vol 8, No 1 (2017): Syifa' MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32502/sm.v8i1.1353

Abstract

Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan invasi sawar darah otak oleh Treponema pallidum yang umumnya terjadi pada pasien sifiis koinfeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV). Neurosifilis umumnya terjadi pada sifilis tersier, tetapi dapat pula terjadi pada stadium lainnya, termasuk stadium sekunder. Diagnosis neurosifilis asimtomatik ditegakkan apabila didapatkan serum venereal disease research laboratory (VDRL) yang positif tanpa tanda dan gejala neurologis disertai satu dari karakteristik berikut pada pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS): (1) jumlah leukosit > 10/mm3; (2) protein total > 50 mg/dL; (3) hasil VDRL reaktif. Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 35 tahun dengan sifilis sekunder koinfeksi HIV tanpa ditemukannya tanda dan gejala neurologis. Kecurigaan neurosifilis pada pasien ini disebabkan oleh kegagalan terapi pada sifilis sekunder, status HIV dengan jumlah CD4+ 106/mm3, dan serum VDRL 1:256. Diagnosis neurosifilis pada laporan kasus ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS yang menunjukkan hasil VDRL yang reaktif, peningkatan jumlah leukosit dan protein total. Pasien ini diberikan penisilin G prokain 2,4 juta unit tanpa probenesid yang diberikan secara intramuskular selama 14 hari. Pada pasien sifilis koinfeksi HIV dapat dicurigai neurosifilis apabila ditemukan salah satu karakteristik berikut: (1) tidak terjadi penurunan titer VDRL setelah terapi benzatin penisilin; (2) serum VDRL/rapid plasma reagin (RPR) ? 1:32; (3) jumlah CD4+ < 350 sel/mm3. Kegagalan terapi pada sifilis sekunder dapat disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum pada sistem saraf pusat. Simpulan, dilaporkan satu pasien usia 35 tahun dengan neurosifilis asimtomatik yang diberikan terapi penisilin G prokain 2,4 juta unit tanpa probenesid selama 14 hari. Pemeriksaan serum VDRL pada bulan ketiga pasca terapi belum mengalami penurunan titer.
Efek Samping Kortikosteroid Topikal Jangka Lama pada Wajah Febrina, Dia; Hindritiani, Reti; Ruchiatan, Kartika
Syifa'Medika Vol 8, No 2 (2018): Syifa' MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32502/sm.v8i2.1347

Abstract

Efek samping penggunaan kortikosteroid topikal (KT) jangka panjang antara lain berupa hipertrikosis, telangiektasis, dan dispigmentasi. KT sering digunakan sebagai kombinasi dengan tretinoin dan hidrokuinon untuk terapi melasma, tetapi penggunaannya juga banyak disalahgunakan untuk memutihkan kulit wajah. Tujuan kasus ini untuk melaporkan efek samping penggunaan KT jangka panjang. Dilaporkan dua kasus dengan berbagai efek samping akibat penggunaan KT jangka panjang pada wajah. Pasien yang pertama diduga sudah menggunakan KT selama empat tahun untuk terapi melasma, sedangkan pasien kedua diduga sudah menggunakan KT selama sepuluh tahun untuk mencerahkan kulit wajah. Pemeriksaan fisik kedua pasien didapatkan hipertrikosis, telangiektasis, dan makula eritema pada wajah. Pada pasien pertama terdapat pula makula hipopigmentasi di kedua pipi. Penatalaksanaan kedua pasien ini yaitu menghentikan penggunaan KT, dan diberikan emolien, tabir surya, serta retinoid topikal. Pada pengamatan hari ke-37 didapatkan perbaikan klinis berupa berkurangnya eritema. Penggunaan KT jangka panjang dapat menimbulkan efek samping hipertrikosis, telangiektasis, dan dispigmentasi seperti pada kedua pasien ini. Penggunaan KT harus memperhatikan indikasi dan durasi penggunaan agar efek samping dapat dicegah.
Comparison of the Effectiveness of Topical 5-Fluorouracil, Topical Calcipotriol, and Liquid Nitrogen Cryosurgery in Seborrhoeic Keratosis Sutedja, Eva Krishna; Suwarsa, Oki; Febrina, Dia; Wibowo , Raka Ghufran; Tasbun, Felix
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Vol. 37 No. 3 (2025): DECEMBER
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/bikkk.V37.3.2025.172-178

Abstract

Background: Seborrhoeic keratosis (SK) is a benign tumor composed of epidermal keratinocytes occurs most frequently in the elderly. The action of 5-fluorouracil (FU) cream and calcipotrienes on keratinocyte development and has been shown beneficial for SK. Purpose: To compare the effectiveness of 5-FU and calcipotriol topical with cryosurgery. Methods: Eighteen SK patients with 54 skin lesions were enlisted, which were separated into three groups. The first group received topical 5-FU twice daily, the second group received one 10-second freeze-thaw cycle of liquid nitrogen cryosurgery, and the third group received topical calcipotriol twice daily. The success of therapy was assessed based on the reduction in baseline lesion size, and observations were made every two weeks for three months. Result: This study found that at the 12th week, the mean percentage of decrease in lesion size in group I was 34.6%, group II was 100%, and group III was 6.18%. Statistically, there was a significant difference in the decrease in lesion size in groups treated with cryosurgery (p value<0.001). The most common side effect in group I was discomfort, whereas in group II it was hyperpigmentation. Patients from group III reported no negative effects. Conclusion: Topical 5-FU and topical calcipotriol are less effective than cryosurgery in SK in terms of reducing lesion size. However, topical 5-FU reduced the size of lesions more than topical calcipotriol.