Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Herpes Genitalis dengan Gambaran Klinis Tidak Khas pada Penderita AIDS Istasaputri, Keni; Djajakusumah, Tony S; Rachmadinata, Rachmadinata; Rowawi, Rasmia
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Dilaporkan sebuah kasus herpes genitalis dengan gambaran klinis yang tidak khas pada seorang laki-laki penderita Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) berusia 27 tahun. Penderita datang dengan lesi pada pubis, korpus penis, dan skrotum bagian 1/3 atas, berupa ulkus dangkal multipel,  dengan bentuk tidak teratur, tidak terdapat indurasi maupun nyeri tekan. Diagnosis kerja pada saat itu adalah ulkus genital nonspesifik yang ditegakkan setelah diagnosis banding berbagai etiologi disingkirkan melalui berbagai pemeriksaan penunjang. Pada bulan ke-6, tampak lesi baru di sekitar ulkus berupa vesikel, erosi, dan ekskoriasi, sehingga diagnosis kerja menjadi herpes genitalis. Pada pemeriksaan serologis ulang didapatkan hasil IgM anti virus herpes simpleks (VHS) (+), dan Ig G anti VHS-2 (+). Terapi topikal diberikan kompres, sedangkan untuk terapi sistemik diberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil tes resistensi. Terapi asiklovir sistemik dengan dosis 5x400 mg/hari diberikan setelah diagnosis kerja menjadi herpes genitalis.   Kata kunci: AIDS, herpes genitalis,  terapi
Sifilis Laten: Diagnosis dan Pengobatan Rowawi, Rasmia
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak   Sifilis laten merupakan stadium sifilis yang diakibatkan oleh T. pallidum yang masih menetap dalam tubuh, namun tidak menunjukkan gejala dan hanya menunjukkan hasil pemeriksaan serologis yang reaktif. Sifilis laten yang tidak diterapi dapat menetap bertahun-tahun atau seumur hidup dan dapat meningkatkan risiko terinfeksi HIV. Ibu hamil dengan sifilis laten dini akan menyebabkan sekitar 40% bayi yang dilahirkankannya tertular, 20% prematur, 10% lahir mati, dan 4% meninggal pada waktu dilahirkan. Diagnosis sifilis laten dini ditegakkan bila dalam 12 bulan terakhir ditemukan satu atau lebih dari tanda-tanda berikut ini: peningkatan titer VDRL/RPR sebanyak empat kali atau lebih; pada anamnesis didapatkan gejala sifilis primer dan sekunder; riwayat kontak seksual dengan seseorang yang didiagnosis atau diduga menderita sifilis primer atau sifilis sekunder atau sifilis laten dini; serta kontak seksual dengan seseorang dengan tes VDRL atau RPR dan TPHA reaktif. Pengobatan yang direkomendasikan untuk sifilis laten dini adalah benzatin penisilin 2,4 juta UI, IM, dosis tunggal, sedangkan pada sifilis laten lanjut, benzatin penisilin 2,4 juta UI, IM, diberikan 3 kali dengan interval satu minggu. Pemeriksaan serologis sifilis non- treponemal (VDRL atau RPR) dilakukan setelah pengobatan 3, 6, 12, dan 24 bulan untuk menilai keberhasilan pengobatan.   Kata kunci: Diagnosis, silifis laten, terapi  
Knowledge and Attitude of Senior High School Students in Jatinangor towards Sexually Transmitted Infections in 2013 Hendrana, Aisyah Riseta Aini; Mutyara, Kuswandewi; Rowawi, Rasmia
Althea Medical Journal Vol 2, No 4 (2015)
Publisher : Althea Medical Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (575.72 KB)

Abstract

Background: Sexually transmitted infections (STIs) are major health problem. Until today, the prevalence of STIs is still high and the incidence is increasing. Almost half of STIs new cases occur in adolescents andyoung adults. It is assumed that there is a positive correlation of knowledge about STIs with attitude and practices; therefore, giving proper information of STIs to adolescents could influence their safe sexual practices, and further, it can prevent STIs to occur. The objective of this study is to discover knowledge and attitude of senior high school students in Jatinangor towards STIs.Methods: This descriptive study was conducted in Sekolah Menengah Atas Persatuan Guru Republik Indonesia (SMA PGRI) Jatinangor and Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Jatinangor from May to September 2013. Questionnaires were completed by 278 respondents selected by stratified cluster random sampling.Results: More than half respondents had poor knowledge about STIs (56.5%) while 53.2% of the respondents had positive attitude towards STIs. Most mentioned choices as the information source of STIs were teacher(66.5%), followed by television/radio (45.3%), friends (37.8%), newspaper/magazine (21.2%), mother (16.2%), sibling (7.2%), and father (6.5%). Conclusions: More detail information about STIs is needed by adolescents as a way to encourage safe sexual practices. Teacher and parents are expected to be the source information of STIs while mass media can alsobe used to educate adolescents. Education on STIs for teachers is also needed since they are as the main source for educating the adolescents. [AMJ.2015;2(4):568–74] DOI: 10.15850/amj.v2n4.655
Manifestasi Erupsi Alergi Obat Antiretroviral Pada Pasien HIV/AIDS di Klinik Teratai Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode 2005 – 2014 Armeinesya, Siska; Rowawi, Rasmia; Hamda, Muhammad Ersyad
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 4, No 1 (2018): Volume 4 Nomor 1 September 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (217.647 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v4i1.19186

Abstract

Kasus human immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) telah menjadi masalah kesehatan dunia. High active antiretroviral therapy (HAART) telah menurunkan angka kematian dan kesakitan pada pasien HIV. Pasien HIV memilki risiko tinggi mengalami erupsi alergi obat dibandingkan masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi manifestasi erupsi alergi obat ARV pada pasien HIV/AIDS periode 2005–2014 di Klinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional. Data dikumpulkan dari rekam medis pasien HIV/AIDS dengan erupsi alergi obat ARV di Klinik Teratai RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2005–2014. Dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 111 pasien HIV/AIDS mengalami erupsi alergi obat karena ARV. Erupsi alergi obat ARV banyak terjadi pada wanita (55%) dan pada rentang usia 20-29 tahun (55%). Jumlah CD4 pada pasien HIV/AIDS dengan erupsi alergi obat saat pertama kali terdiagnosis HIV terbanyak adalah <200 sel/mm3 (55%). Manifestasi kulit yang paling umum terjadi adalah ruam makulopapular (89,7%). Reaksi erupsi alergi obat umumnya disebabkan oleh nevirapin (82,5%). Dari penelitian ini didapatkan bahwa ruam makulopapular merupakan manifestasi erupsi alergi obat ARV yang paling sering muncul. Obat yang paling banyak ditemukan menyebabkan erupsi alergi obat adalah nevirapin. Kata kunci: erupsi alergi obat, HIV/AIDS, obat ARV
Neurosifilis Asimtomatik Pada Pasien Sifilis Sekunder Dengan Koinfeksi Human Immunodeficiency Virus Febrina, Dia; Cahyawari, Dartri; Roslina, Nina; Rowawi, Rasmia; Achdiat, Pati Aji
Syifa'Medika Vol 8, No 1 (2017): Syifa' MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Faculty of Medicine

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32502/sm.v8i1.1353

Abstract

Neurosifilis merupakan infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan invasi sawar darah otak oleh Treponema pallidum yang umumnya terjadi pada pasien sifiis koinfeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV). Neurosifilis umumnya terjadi pada sifilis tersier, tetapi dapat pula terjadi pada stadium lainnya, termasuk stadium sekunder. Diagnosis neurosifilis asimtomatik ditegakkan apabila didapatkan serum venereal disease research laboratory (VDRL) yang positif tanpa tanda dan gejala neurologis disertai satu dari karakteristik berikut pada pemeriksaan liquor cerebrospinal (LCS): (1) jumlah leukosit > 10/mm3; (2) protein total > 50 mg/dL; (3) hasil VDRL reaktif. Dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 35 tahun dengan sifilis sekunder koinfeksi HIV tanpa ditemukannya tanda dan gejala neurologis. Kecurigaan neurosifilis pada pasien ini disebabkan oleh kegagalan terapi pada sifilis sekunder, status HIV dengan jumlah CD4+ 106/mm3, dan serum VDRL 1:256. Diagnosis neurosifilis pada laporan kasus ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan LCS yang menunjukkan hasil VDRL yang reaktif, peningkatan jumlah leukosit dan protein total. Pasien ini diberikan penisilin G prokain 2,4 juta unit tanpa probenesid yang diberikan secara intramuskular selama 14 hari. Pada pasien sifilis koinfeksi HIV dapat dicurigai neurosifilis apabila ditemukan salah satu karakteristik berikut: (1) tidak terjadi penurunan titer VDRL setelah terapi benzatin penisilin; (2) serum VDRL/rapid plasma reagin (RPR) ? 1:32; (3) jumlah CD4+ < 350 sel/mm3. Kegagalan terapi pada sifilis sekunder dapat disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum pada sistem saraf pusat. Simpulan, dilaporkan satu pasien usia 35 tahun dengan neurosifilis asimtomatik yang diberikan terapi penisilin G prokain 2,4 juta unit tanpa probenesid selama 14 hari. Pemeriksaan serum VDRL pada bulan ketiga pasca terapi belum mengalami penurunan titer.
Knowledge and Attitude of Senior High School Students in Jatinangor towards Sexually Transmitted Infections in 2013 Aisyah Riseta Aini Hendrana; Kuswandewi Mutyara; Rasmia Rowawi
Althea Medical Journal Vol 2, No 4 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (575.72 KB)

Abstract

Background: Sexually transmitted infections (STIs) are major health problem. Until today, the prevalence of STIs is still high and the incidence is increasing. Almost half of STIs new cases occur in adolescents andyoung adults. It is assumed that there is a positive correlation of knowledge about STIs with attitude and practices; therefore, giving proper information of STIs to adolescents could influence their safe sexual practices, and further, it can prevent STIs to occur. The objective of this study is to discover knowledge and attitude of senior high school students in Jatinangor towards STIs.Methods: This descriptive study was conducted in Sekolah Menengah Atas Persatuan Guru Republik Indonesia (SMA PGRI) Jatinangor and Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Jatinangor from May to September 2013. Questionnaires were completed by 278 respondents selected by stratified cluster random sampling.Results: More than half respondents had poor knowledge about STIs (56.5%) while 53.2% of the respondents had positive attitude towards STIs. Most mentioned choices as the information source of STIs were teacher(66.5%), followed by television/radio (45.3%), friends (37.8%), newspaper/magazine (21.2%), mother (16.2%), sibling (7.2%), and father (6.5%). Conclusions: More detail information about STIs is needed by adolescents as a way to encourage safe sexual practices. Teacher and parents are expected to be the source information of STIs while mass media can alsobe used to educate adolescents. Education on STIs for teachers is also needed since they are as the main source for educating the adolescents. [AMJ.2015;2(4):568–74] DOI: 10.15850/amj.v2n4.655
CIRCINATE BALANOPOSTHITIS AS A POSSIBLE CLINICAL MANIFESTATION OF GONOCOCCAL INFECTION Pati Aji Achdiat; Rasmia Rowawi; Gynaecia Lamsu
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol 18, No 3 (2018): Volume 18 Nomor 3 Desember 2018
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/jks.v18i3.18019

Abstract

Abstract. Balanitis is defined as inflammation of the glans penis, while balanoposthitis is an inflammation of the glans penis and prepuce. Balanitis/balanoposthitis due to Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae) is rarely reported. A case of balanoposthitis in a man clinically manifested as circinate balanoposthitis was reported to show the possibility of gonococcal infection manifested as circinate balanoposthitis. Bacterial examination with Gram staining and polymerase chain reaction (PCR) examinations from the lesions denoted the appearance of intracellular and extracellular Gram negative diplococcus bacteria and positive for Chlamydia trachomatis (C. trachomatis). Serological examination showed the reactive results for syphilis. The patient received oral medications of 400 mg cefixime single dose and 1-gram azithromycin single dose, also 2.4 million international unit (IU) intramuscular per week for 3 weeks. The gonococcal infection as the cause of balanoposthitis should be put in the differential diagnosis and any possible examination should be done to establish the most plausible etiology.Key words: balanitis, balanoposthitis, gonococcal balanoposthitis, circinate balanoposthitis
TINGKAT PENGETAHUAN PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN KOMPLIKASINYA PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI JATINANGOR Pati Aji Achdiat; Rasmia Rowawi; Dina Fatmasari; Reyshiani Johan
Dharmakarya Vol 8, No 1 (2019): Maret 2019
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (37.603 KB) | DOI: 10.24198/dharmakarya.v8i1.19534

Abstract

Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. World Health Organization (WHO) pada tahun 2016 menyatakan terdapat lebih dari 1 juta orang menderita IMS setiap hari. IMS memiliki pengaruh yang sangat besar pada kesehatan seksual dan reproduktif di seluruh dunia. Komplikasi dari IMS dapat menyebabkan kemandulan, gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker, dan memudahkan seseorang terkena infeksi human immunodeficiency diseases (HIV). Tingkat pengetahuan masyarakat diketahui berkorelasi dengan tingginya kejadian IMS di masyarakat khususnya remaja. Peningkatan pengetahuan dengan penyebaran informasi seperti kegiatan penyuluhan tentang IMS dan komplikasinya merupakan salah satu upaya penting yang harus dilakukan untuk mengurangi angka kejadian IMS di masyarakat. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PPM) berupa penyuluhan ini dilakukan di SMA Negeri Jatinangor, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang. Peserta penyuluhan yaitu siswa dengan total peserta 50 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Setiap lembar kuesioner terdiri dari 10 pertanyaan, yang meliputi definisi, jenis-jenis penyakit, cara penularan, tanda dan gejala, komplikasi, dan pencegahan IMS. Tingkat pengetahuan seluruh siswa SMA tentang IMS dan komplikasinya sebelum dilakukan penyuluhan masih cukup, yaitu 38,2% pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar oleh peserta penyuluhan. Penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang jenis-jenis penyakit IMS dan komplikasinya. Siswa SMA diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam penyebaran informasi penyuluhan pada keluarga dan masyarakat, sehingga dapat menurunkan angka kejadian dan penularan IMS pada masyarakat.
Mycoplasma Genitalium Infection Prevalence in Patients with Human Immunodeficiency Virus Rini Rasianti; Hartati Dharmadji; Risa Miliawati; Diah Puspitosari; Feilicia Henrica Teja; Rasmia Rowawi; Rahmatdinata Rahmatdinata; Tony Djajakusumah
International Journal of Integrated Health Sciences Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1350.322 KB)

Abstract

Objective: To determine the prevalence of Mycoplasma genitalium (M. genitalium) infection in HIV positive patients by PCR examination in Teratai Clinic of Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung in order to reduce sexually transmitted diseases, especially M. genitalium infection in HIV positive patients.Methods: This study was a cross-sectional study with consecutive sampling methods. Eighty one HIV positive patients attending the Teratai Clinic of Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung were recruited to be the subjects of this study. All subjects underwent history taking, physical examination, and PCR examination for M. genitalium. Specimens were taken from cervical smear in females and first void urine in male.Results: The prevalence of M. genitalium based on the PCR examination in HIV positive patients attended to Teratai Clinic Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung was 9%. Conclusions: Mycoplasmal infection identification based on PCR examination should be considered for routine screening test to reduce the incidence of sexually transmitted diseases in HIV positive patients.Keywords: Human immunodeficiency virus, Mycoplama genitalium, polymerase chain reaction DOI: 10.15850/ijihs.v2n1.274
Gonorrhoea Infection Prevalence in Human Immunodeficiency Virus Positive Patients Based on Polymerase Chain Reaction Examination Diah Puspitosari; Asmaja Soedarwoto; Dendi Sandiono; Feilicia Henrica Teja; Rini Rasianti; Rasmia Rowawi; Rahmatdinata Rahmatdinata; Tony Djajakusumah
International Journal of Integrated Health Sciences Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1354.653 KB)

Abstract

Objective: To determine the prevalence of gonorrhoea infection in male and female HIV positive patients based on polymerase chain reaction (PCR)  examination at the Teratai Clinic, Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.Methods: This study was conducted in July, 2012 at the Teratai Clinic, while the PCR examination was performed at the Molecular Biology Laboratory of Microbiology Department, Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran, Bandung. This was a cross-sectional observational study. The subjects were 81 HIV positive patients who were taken in consecutive admission. They underwent history taking and physical examination. Samples were taken from urethral swab in males and cervical swab in females for PCR examination.Results: The PCR examination result was positive for gonorrhea in 36% subjects. From all male subjects participating in the study, 37% were positive while 33% of the female subjects were also positive for gonorrhea. Conclusions: The prevalence of gonorrhoea infection in male and female HIV positive patients at the Teratai Clinic, Dr. Hasan  Sadikin  General Hospital  Bandung is quite high, i.e 37% and 33%, respectively.Keywords: Gonorrhoea, human immunodeficiency virus, polymerase chain reaction, prevalence DOI: 10.15850/ijihs.v2n1.270