Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

BEREMPATI TERHADAP BUKU FISIK SEBAGAI PENGGAGAS WADAH PEMINATAN AKTIVITAS MEMBACA Maulidani, Rahmat; Sutanto, Agustinus
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 1 (2024): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i1.27188

Abstract

Physical books are an important part of the development of a civilization, history has repeatedly shown the huge impact of knowledge, ideas, and information that was spread directly starting from the era of Mesopotamia, Ancient Greek, Baghdad, Renaissance, and continuing until the present day. Indonesia has a stigma of low interest in reading, but socio-culture is not a natural thing but something systematic and created slowly. Pondok Cina Station has a history of causing hundreds of scholars to demonstrate and hold up KRL due to the eviction of 35 secondhand book stalls to modernize the station. A strong inner bond between scholars and literature is a reminder that physical books are not dead and need to be studied to achieve quality and widely useful socio-culture. Secondhand Bookstore and Physical Books are closely related to various educational institutions, apart from their cheap prices, they also have easy access to read the books beforehand. Secondhand Bookstore become an interesting opportunity in an empathetic movement that pays attention to one of human primitive abilities, namely cognitive. Empathizing with Secondhand Bookstores and Physical Books aims to find and examine the sweet spot that can provide a place that encourages users to be interested in literature, by using the heterotopia design method and emptiness (suwung) philosophy to give birth to a place that ignites a new culture that can be developed systematically and progressively to achieve a new era of literature. Keywords: Architecture; Bookstore; Empathy Architecture; Heterotopia; Physical Books Abstrak Buku fisik merupakan bagian penting dalam perkembangan sebuah peradaban, sejarah telah berulang kali menunjukkan dampak besar dari pengetahuan, ide, dan informasi yang disebarkan secara langsung mulai dari era Mesapotomia, Yunani Kuno, Baghdad, Renaisans, dan terus begitu hingga masa kini. Indonesia memiliki stigma minat membaca yang rendah, namun sosio-kultur bukanlah hal yang natural melainkan sesuatu yang sistematis dan diciptakan secara perlahan. Stasiun Pondok Cina memiliki sejarah yang membuat ratusan mahasiswa berdemo dan menahan KRL akibat penggusuran 35 kios buku bekas untuk modernisasi stasiun. Sebuah ikatan batin yang kuat antara mahasiswa dan literasi menjadi sebuah pemantik bahwa buku fisik belum mati dan perlu dikaji untuk menggapai sosio-kultur yang berkualitas dan bermanfaat secara meluas. Toko Buku Bekas dan Buku Fisik sangat erat hubungannya dengan berbagai lembaga pendidikan, selain karena murahnya harga juga karena mudahnya akses untuk langsung membaca sebelum membeli. Toko Buku Bekas menjadi sebuah peluang dalam gerakan empatik yang merangkul sekaligus memperhatikan salah satu kemampuan primitif manusia yaitu kognitif. Berempati terhadap Toko Buku Bekas dan Buku Fisik bertujuan untuk mencari dan menelisik titik manis yang dapat menghadirkan wadah yang mendorong penggunanya untuk tertarik dengan literatur, dengan menggunakan metode desain heterotopia dan filsafat suwung untuk melahirkan sebuah wadah pemantik kultur baru yang dapat berkembang secara sistematis dan progresif untuk menggapai era literatur yang baru.
MEMADUKAN DUNIA ANAK- ANAK MELALUI ARSITEKTUR BERMAIN: MERANCANG RUANG EDUKASI BERFOKUS SEJARAH PERMAINAN INDONESIA Karim, Fernando Janvier; Sutanto, Agustinus
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 1 (2024): APRIL
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i1.27456

Abstract

In the face of rapid technological development, children's games have undergone significant transformation, leading to a decline in the physicality of play and the loss of the essence of play as a crucial aspect of child development. This study combines the Montessori approach, emphasizing the importance of play in developing sensory, motor, and social skills, with the concept of empathetic architecture. The focus is on redesigning playgrounds in two different locations: Cluster PIK2 and Kampung Lumpang. Through case studies, observations, and identification of children's needs, we have created design guidelines that integrate Indonesia's play heritage and empathetic architecture principles. The design program includes the redesign of playgrounds, art installations, and mural projects. Considering the needs of children in the local context, such as accessibility and the loss of the essence of street play, this design aims to rebuild physical, sensory, and social engagement through play. Through modularity and adaptation to the context of each location, this research unites the diversity of play spaces while respecting and preserving the history of Indonesian children's games, creating spaces that celebrate joy and the values of play in child development. The ultimate achievement of this design is the realization of a redesigned playground in a holistic and sustainable manner. Children in Kampung Lumpang and Cluster PIK2 can enjoy games that support the development of their sensory, motor, and social skills, while experiencing the joy and pride of Indonesia's play heritage. By involving them in the design process, this design also achieves the accomplishment of a shared sense of ownership within the community, creating strong social bonds and bringing together two potentially separate worlds. Keywords: architecture empathy; montessori approach; play; playground Abstrak Dalam menghadapi era perkembangan teknologi yang pesat, permainan anak-anak mengalami transformasi yang signifikan, mengakibatkan penurunan fisikalitas permainan dan kehilangan esensi permainan sebagai aspek utama perkembangan anak-anak. Studi ini menggabungkan pendekatan Montessori, yang menekankan pentingnya permainan dalam pengembangan sensorik, motorik, dan keterampilan sosial, dengan konsep arsitektur empati. Fokusnya adalah merancang kembali taman bermain di dua lokasi berbeda: Cluster PIK2 dan Kampung Lumpang. Melalui studi kasus, observasi, dan identifikasi kebutuhan anak-anak, kami menciptakan panduan desain yang mengintegrasikan warisan bermain Indonesia dan prinsip-prinsip arsitektur empati. Program desain mencakup redesain taman bermain, instalasi seni, dan proyek mural. Dengan mempertimbangkan kebutuhan anak-anak dalam konteks lokal, seperti aksesibilitas dan kehilangan esensi bermain di jalanan, desain ini bertujuan untuk membangun kembali keterlibatan fisik, sensorik, dan interaksi sosial melalui permainan. Melalui modularitas dan adaptasi terhadap konteks setiap lokasi, penelitian ini menyatukan keberagaman ruang bermain dengan menghormati dan memelihara sejarah permainan anak-anak Indonesia, menciptakan ruang yang merayakan kegembiraan dan nilai-nilai bermain dalam perkembangan anak-anak. Pencapaian akhir dari desain ini adalah terwujudnya taman bermain yang dirancang ulang secara holistik dan berkesinambungan. Anak-anak di Kampung Lumpang dan Cluster PIK2 dapat menikmati permainan yang mendukung perkembangan sensorik, motorik, dan keterampilan sosial mereka, sambil merasakan kegembiraan dan kebanggaan akan warisan bermain Indonesia. Dengan melibatkan mereka dalam proses perancangan, desain ini juga mencapai pencapaian berupa rasa kepemilikan bersama dari komunitas, menciptakan ikatan sosial yang kuat dan menyatukan dua dunia yang mungkin terpisah.
PENERAPAN SISTEM BUDIDAYA IKAN BERKELANJUTAN DENGAN KONSEP NATURAL PADA RESTORASI LINGKUNGAN, SOSIAL DAN PEREKONOMIAN KAMPUNG NELAYAN KAMAL MUARA Wilianto, Juan Nathanie; Sutanto, Agustinus
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 2 (2024): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i2.30859

Abstract

Kampung Nelayan Kamal Muara, once a vibrant coastal community, is now ensnared in environmental and social degradation. Marine pollution, reclamation, and excessive exploitation of natural resources have triggered the death of marine life, habitat destruction, silting, and changes in ocean currents. This has not only taken away livelihoods and economies but also a sense of security, connection to the environment, cultural identity, and has the potential to turn Kamal Muara into a "placeless place." This research aims to combat degradation and rebuild a sense of place in Kamal Muara through sustainable aquaculture architecture. Literature studies have shown that sustainable aquaculture offers an innovative solution to restore coastal ecosystems, improve seawater quality, and empower communities. The research method combines qualitative and quantitative approaches. Data is collected through surveys, interviews, observations, and secondary data analysis. The results show that the aquaculture system in Kamal Muara can increase marine biodiversity, seawater quality, and fishermen's income. This system can also strengthen cultural identity and traditions. This research proves aquaculture to be an effective strategy for restoring coastal ecosystems and empowering communities in Kamal Muara. Sustainable aquaculture architecture focuses not only on ecological and economic functions but also on social and cultural aspects. Architectural designs that are sensitive to the local context and community needs can help rebuild a sense of place in Kamal Muara, counteract the phenomenon of "placelessness," and create meaningful spaces for this coastal community. Keywords:  Environmental degradation; Kamal Muara Fishing Village; Marine pollution ; Placeless place; Sustainable aquaculture Abstrak Kampung Nelayan Kamal Muara, dahulu komunitas pesisir yang dinamis, kini terjerat degradasi lingkungan dan sosial. Pencemaran laut, reklamasi, dan eksploitasi sumber daya alam berlebihan memicu kematian biota laut, kerusakan habitat, pendangkalan, dan perubahan arus laut. Hal ini tak hanya merenggut mata pencaharian dan ekonomi, tapi juga rasa aman, keterikatan dengan lingkungan, identitas budaya, dan berpotensi menjadikan Kamal Muara sebagai "placeless place". Penelitian ini hadir sebagai upaya melawan degradasi dan membangun kembali rasa tempat di Kamal Muara melalui arsitektur akuakultur berkelanjutan. Kajian literatur menunjukkan akuakultur berkelanjutan menawarkan solusi inovatif untuk memulihkan ekosistem pesisir, meningkatkan kualitas air laut, dan memberdayakan masyarakat. Metode penelitian menggabungkan kualitatif dan kuantitatif. Data dikumpulkan melalui survei, wawancara, observasi, dan analisis data sekunder. Hasil menunjukkan bahwa sistem akuakultur di Kamal Muara dapat meningkatkan keanekaragaman hayati laut, kualitas air laut, dan pendapatan nelayan. Sistem ini pun dapat memperkuat identitas budaya dan tradisi.Penelitian ini membuktikan akuakultur sebagai strategi efektif dalam memulihkan ekosistem pesisir dan memberdayakan masyarakat di Kamal Muara. Arsitektur akuakultur berkelanjutan tak hanya berfokus pada fungsi ekologis dan ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan budaya. Desain arsitektur yang sensitif terhadap konteks lokal dan kebutuhan masyarakat dapat membantu membangun kembali rasa tempat di Kamal Muara, menangkal fenomena "placeless place", dan menciptakan ruang yang bermakna bagi komunitas pesisir ini.  
TRANSFORMASI KWITANG : MENUJU PEMULIHAN IDENTITAS MELALUI PENDEKATAN ARSITEKTUR PROGRAMATIK Rozy, Davis; Sutanto, Agustinus
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 2 (2024): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i2.30869

Abstract

Kwitang, a neighborhood in Central Jakarta, is famous for its pencak silat skills and for being a hotspot for book lovers. Before Kwitang became known as a legendary book center, in 1953, the area was still quiet due to the lack of activity. The situation changed when Toko Buku Kwitang 13 and book carts arrived, attracting children and making the area lively. However, change came with the local government's crackdown which led to the dispersal of traders and a decline in book sales. The Kwitang area struggles to attract buyers also because of the shift in interest to digital formats such as e-books. The existence of disruption 4.0 and declining literacy towards books have reduced the number of visitors, especially during the pandemic. This research uses the documentation method and qualitative descriptive analysis. The programmatic architectural concept approach can redevelop the identity of the Kwitang Area as a literacy and cultural center, and maintain its identity as a lively and dynamic destination for book lovers. It is hoped that with this step, Kwitang Area can become an area attractor and restore the identity that develops and remains relevant in the midst of changing times. This effort involves the addition of modified functions that support social, cultural, and economic interactions, as well as the introduction of various facilities and activities that are relevant to the times. Keywords: Kwitang; 4.0 Disruption; Programatic Architecture Abstrak Kwitang, sebuah kelurahan di Jakarta Pusat, terkenal karena keahlian pencak silat dan menjadi pusat perhatian bagi para pecinta buku. Sebelum Kwitang dikenal sebagai sentra buku legendaris, pada tahun 1953, kawasan ini masih sepi karena minimnya aktivitas. Situasi berubah ketika Toko Buku Kwitang 13 dan gerobak buku hadir, menarik minat banyak anak dan menjadikan kawasan tersebut ramai. Namun, perubahan terjadi dengan adanya penertiban oleh pemerintah daerah yang menyebabkan penyebaran pedagang dan penurunan penjualan buku. Kawasan Kwitang kesulitan menarik pembeli juga karena adanya pergeseran minat ke format digital seperti e-book. Adanya disrupsi 4.0 dan menurunnya literasi terhadap buku telah mengurangi jumlah pengunjung, terutama selama pandemi. Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dan analisis deskriptif kualitatif. Adanya pendekatan konsep arsitektur programatik dapat mengembangkan kembali identitas Kawasan Kwitang sebagai pusat literasi dan budaya, serta mempertahankan identitasnya sebagai destinasi yang ramai dan dinamis bagi pencinta buku. Diharapkan dengan langkah ini, Kawasan Kwitang dapat menjadi atraktor kawasan dan mengembalikan identitas yang berkembang dan tetap relevan di tengah perubahan zaman. Upaya ini melibatkan penambahan fungsi-fungsi termodifikasi yang mendukung interaksi sosial, budaya, dan ekonomi, serta pengenalan berbagai fasilitas dan kegiatan yang relevan dengan perkembangan zaman.
REVITALISASI TAPAK EX-KANTOR BORSUMIJ MEDAN MENJADI FASILITAS PENDUKUNG UMKM DENGAN METODE ARSITEKTUR SIMBIOSIS Jovan, Felicia; Sutanto, Agustinus
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 6 No. 2 (2024): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v6i2.30870

Abstract

Globalization and developments over time create changes in all aspects including buildings and architecture, especially changes and developments in urbanization and cities, population growth which creates urban architecture that is oriented towards more efficient land use by prioritizing products or brands rather than places or people, technological developments as well. supports large-scale development in a shorter time with 'standards', does not reflect or respond to surrounding conditions, creates buildings that make up a city that have the same shape, nature and characteristics of most developing cities both in Indonesia and abroad. world, eliminating the uniqueness and characteristics of the region. This research will discuss one of the abandoned buildings in Medan which has been abandoned for around 50 years, a Dutch heritage building with a Dutch colonial architectural style which is a combination of classical architectural style, with more modern geometry. The method that will be used in this research is regional analysis which also consists of collecting the development and history of the area using the Revitalization with Symbiotic Architecture design method, to create space from abandoned buildings into something useful for the surrounding community that connects the past, present and future. front. The results of the research are the construction of buildings with facilities to support MSME activities, identifying locations in trade zones to support MSME actors, support local brands and support regional economic development Keywords:  Neglected; Revitalization; symbiosis Abstrak Globalisasi dan perkembangan zaman menciptakan perubahan dalam segala aspek termasuk bangunan dan arsitektur, terutama perubahan dan perkembangan urbanisasi dan perkotaan, pertumbuhan populasi yang menciptakan arsitektur perkotaan yang berorientasi pada pemanfaatan lahan yang lebih efisien dengan mementingkan tentang produk atau brand daripada tentang place atau person perkembangan teknologi juga mendukung pembangunan berskala besar dalam waktu yang lebih singkat dengan “standar”, tidak mencerminkan ataupun merespon terhadap keadaan sekitar, menciptakan bangunan-bangunan yang membentuk sebuah kota memiliki bentuk, sifat, dan karakteristik  yang sama pada sebagian besar kota yang berkembang baik di Indonesia maupun di dunia, menghilangkan keunikan dan karakteristik kawasan. Penelitian ini akan membahas tentang salah-satu bangunan terbengkalai di Medan yang sudah ditelantarkan sekitar 50 tahun lamanya, bangunan peninggalan Belanda dengan gaya arsitektur kolonial Belanda yang berupa perpaduan gaya arsitektur klasik, dengan geometri yang lebih modern. Metode yang akan digunakan dalam penelitian kali ini berupa analisis kawasan yang juga berupa pengumpulan perkembangan dan sejarah kawasan dengan metode perancangan Revitalisasi dengan Arsitektur Simbiosis, untuk menciptakan ruang dari bangunan yang terbengkalai menjadi sesuatu bermanfaat bagi masyarakat sekitar yang menghubungkan antara masa lalu, masa kini dan masa depan. Hasil dari penelitian berupa pembentukan bangunan dengan fasilitas untuk mendukung kegiatan UMKM mengenal lokasi yang berada pada zona perdagangan untuk mendukung pelaku UMKM, mendukung brand lokal dan mendukung perkembangan ekonomi kawasan.
LANDMARK WATER WHISPER DI WADUK RIA RIO, PULOMAS DEMI MEREGENERASI KUALITAS AIR Hellery, Patricia; Sutanto, Agustinus
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 7 No. 2 (2025): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v7i2.35562

Abstract

The phenomenon of quality degradation in the Ria Rio Reservoir, Pulomas is an example of negligence arising from the decline in water quality and activities that are continuously ignored. The decline and passivity are the main issues faced. This requires innovative solutions to restore the water ecosystem and raise awareness of the importance of water quality. With the approach of “behavioral architecture”, this study explores the potential integration of "Water Whisper" as a monumental structure that functions dually: a visual representation of the relationship between humans-water-nature and a catalyst for water purification and education. The purpose is to analyze how the architectural design of "Water Whisper" through integrated technology, can increase the understanding and involvement of urban communities towards water quality issues in the Ria Rio Reservoir. The research method involves observation of reservoir conditions, precedent studies and literature studies on regenerative landmark design and natural water purification technology. The analysis includes the potential location of landmarks, integration of purification systems, and projections of impacts on community awareness and behavior. The spatial novelty lies in the application of the interactive landmark concept as a solution to increase awareness and action on the decline in water quality in urban environments. The expected outcome is that the effective “Water Whisper” model not only raises awareness in the Ria Rio Reservoir, but can also be replicated to address similar issues in other urban areas. Keywords:  behavioral architecture; landmark; regenerative; water quality Abstrak Fenomena degradasi kualitas di area Waduk Ria Rio, Pulomas merupakan contoh kelalaian yang timbul dari penurunan kualitas air dan aktivitas yang terus dibiarkan. Berkurangnya serta sikap pasif menjadi isu utama yang dihadapi. Masalah ini memerlukan solusi inovatif untuk memulihkan ekosistem air dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kualitas air. Dengan pendekatan arsitektur perilaku, penelitian ini mengeksplorasi potensi integrasi "Water Whisper" sebagai struktur monumental yang berfungsi ganda: representasi visual keterkaitan manusia-air-alam dan katalisator pemurnian air serta edukasi. Tujuan penelitian adalah menganalisis bagaimana desain arsitektur "Water Whisper", melalui teknologi terintegrasi, dapat meningkatkan pemahaman dan keterlibatan masyarakat urban terhadap isu kualitas air di Waduk Ria Rio. Metode penelitian melibatkan observasi kondisi waduk, studi preseden dan literatur desain landmark regeneratif serta teknologi pemurnian air alami. Analisis meliputi potensi lokasi landmark, integrasi sistem pemurnian, dan proyeksi dampak terhadap kesadaran serta perilaku masyarakat. Kebaruan keruangan terletak pada penerapan konsep landmark interaktif sebagai solusi peningkatan kesadaran dan tindakan terhadap penurunan kualitas air di lingkungan urban. Hasil yang diharapkan adalah model "Water Whisper" yang efektif tidak hanya meningkatkan kesadaran di Waduk Ria Rio, namun juga dapat direplikasi untuk mengatasi masalah serupa di wilayah perkotaan lainnya.
WATER – ENERGY NEXUS: ARSITEKTUR SISTEM PENGELOLAAN AIR DAN ENERGI ALTERNATIF DI KAMPUNG TELUK GONG – JAKARTA UTARA Salsabila, Annisa Diva; Sutanto, Agustinus
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 7 No. 2 (2025): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v7i2.35563

Abstract

Kampung Teluk Gong in North Jakarta is currently facing a critical shortage of clean water due to waste pollution and inadequate sanitation infrastructure. This paper presents a regenerative architectural solution through the Water–Energy Nexus approach, which integrates rainwater and floodwater treatment systems into clean water sources while utilizing them as an alternative energy supply. The study is focused on a micro-site scale using a community-based design approach, without exploring broader aspects such as policy, macroeconomic considerations, or city-wide utility systems. The scope is limited to: (1) social and site analysis in Kampung Teluk Gong; (2) the application of simple technologies such as water filtration and structure-based micro-hydro systems; and (3) spatial programming that responds to local climate and community habits. The “Oasis of Peace” project serves as a conceptual reference for sustainable water systems, but only as a programmatic inspiration. The design centers on a multifunctional building with three primary zones: sustainable housing, clean water distribution, and social-educational spaces. The findings indicate that a modular stepwell design can contextually address basic water and energy needs. This paper does not include technical simulations or numerical efficiency calculations, thus offering opportunities for future research on structural and technological aspects. Keywords: architecture; clean water; regenerative; residential; village Abstrak Kampung Teluk Gong di Jakarta Utara saat ini menghadapi masalah ketersediaan air bersih akibat pencemaran limbah dan kurangnya infrastruktur sanitasi. Tulisan ini menguraikan solusi arsitektur regeneratif dengan pendekatan Water–Energy Nexus, yang mencakup penggabungan sistem pengolahan air hujan dan banjir menjadi air bersih serta pemanfaatannya sebagai sumber energi alternatif. Penelitian ini berfokus pada skala tapak mikro dengan pendekatan desain yang berbasis komunitas, tanpa mengkaji aspek kebijakan, ekonomi makro, atau sistem utilitas kota secara umum. Pembahasan terbatas pada: (1) analisis sosial dan lokasi di Kampung Teluk Gong; (2) penggunaan teknologi sederhana seperti filtrasi air dan mikrohidro berbasis struktur; serta (3) pengembangan program ruang yang responsif terhadap iklim dan kebiasaan masyarakat. Studi kasus "Oasis of Peace" dijadikan acuan untuk konsep sistem air berkelanjutan, tetapi hanya sebagai sumber inspirasi untuk program. Desain berfokus pada gedung serbaguna dengan tiga area utama: hunian berkelanjutan, penyediaan air bersih, dan tempat sosial untuk pendidikan. Temuan menunjukkan bahwa rancangan stepwell dapat memenuhi kebutuhan mendasar akan air dan energi masyarakat secara kontekstual. Jurnal ini tidak menyertakan simulasi teknis sistem air atau perhitungan efisiensi energi secara numerik, sehingga memberikan peluang penelitian lebih lanjut pada aspek struktural dan teknologi di masa yang akan datang.
DAPUR KOMUNITAS SEBAGAI MEDIUM REGENERATIF SOSIAL DAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMUKIMAN AIR KAMPUNG APUNG Tantheo, Richard; Sutanto, Agustinus
Jurnal Sains, Teknologi, Urban, Perancangan, Arsitektur (Stupa) Vol. 7 No. 2 (2025): OKTOBER
Publisher : Jurusan Arsitektur dan Perencanaan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/stupa.v7i2.35564

Abstract

Kampung Apung is an urban village located in West Jakarta, much of which is now submerged under water. This village was formerly known as Tanah Bengkok, an area that served as a cemetery for Chinese and Malay ethnic communities. In the 1960s, due to the urgent need for housing, local residents began settling along the edges of the cemetery, gradually forming a residential area called Kapuk Teko. Then, in 1979, industrial development led to excessive land filling around the settlement. This land filling created a basin-like depression in the Kapuk Teko area. As a result of continuous flooding and the lack of water drainage from this basin, water has remained stagnant permanently, causing the settlement to become known as Kampung Apung, or the "Floating Village."Due to its hidden location and its unique characteristic of being situated on water, the general public remains largely unaware of the village’s true condition. The lack of communal spaces and clean water in Kampung Apung has become a major issue. The grassy field that once served as a gathering place for the community has now been submerged, leaving residents without a space to come together. The absence of public spaces such as parks, squares, or community centers means that residents have no place to relax, exercise, or hold recreational activities. Furthermore, although it may appear clear, well water in Kampung Apung does not meet clean water standards and cannot be used without treatment.The methods used in this study include descriptive analysis, interviews, and direct observation. The results indicate the urgent need for a community kitchen program that can function as a regenerative hub—reviving communal space, strengthening social resilience, and fostering a healthier micro-ecosystem. Keywords: community; food; kitchen; social; water Abstrak Kampung Apung merupakan sebuah kampung kota di Jakarta Barat yang sebagian besarnya kini tergenang di atas air. Kampung ini dulunya dikenal dengan sebutan Tanah Bengkok yang merupakan area pemakaman etnis Cina dan Melayu. Pada tahun 1960, dikarenakan kebutuhan mendesak akan tempat tinggal, penduduk setempat membangun permukiman di sekitar tepi pemakaman yang secara perlahan membentuk permukiman yang dinamakan Kapuk Teko. Lalu pada tahun 1979, dibangun industri sehingga dilakukannya pengurukan tanah secara berlebihan di sekeliling permukiman. Pengurukan ini mengakibatkan munculnya cekungan pada lahan Kapuk Teko. Kemudian karena terjadinya  banjir secara terus menerus dan tidak adanya aliran air keluar dari cekungan tersebut, mengakibatkan air tergenang secara permanen, membuat permukiman ini dikenal dengan Kampung Apung. Karena lokasi tersembunyi dan ciri khas yang unik dengan berada diatas air, sehingga masyarakat umum tidak terbayangi kondisi kampung ini. Keterbatasan ruang komunitas dan air bersih di Kampung Apung menjadi sebuah permasalahan besar. Warga yang dulunya berkumpul di lapangan rumput untuk berkomunitas, kini sudah hilang tergenang oleh air yang ada. Hal ini menyebabkan warga tidak dapat berkumpul karena tidak mempunyai ruang untuk berkomunitas. Ketiadaan ruang publik seperti taman, alun-alun, atau pusat komunitas menyebabkan warga tidak memiliki tempat untuk bersantai, berolahraga, atau mengadakan kegiatan rekreasi. Selain itu, meskipun tampak jernih, air sumur di Kampung Apung tidak memenuhi standar air bersih, sehingga tidak dapat langsung dimanfaatkan tanpa pengolahan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, wawancara, dan observasi secara langsung. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dibutuhkannya sebuah program yaitu dapur komunitas dapat berfungsi sebagai simpul regeneratif yang mampu mengembalikan fungsi ruang komunal, memperkuat ketahanan sosial, serta mendorong ekosistem mikro yang lebih sehat.