Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Comparison of Dispute Resolution in General Elections in Indonesia and Thailand Saputra, Darwin; Amiludin, Amiludin; Ahmad, Dwi Nur Fauziah; Razif, Imran Bukhari
Indonesia Law Reform Journal Vol. 4 No. 1 (2024): March, 2024
Publisher : Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/ilrej.v4i1.34868

Abstract

The history of general elections in Indonesia began in 1955 with the implementation of a Proportional Representation system, allowing voters to directly elect candidates or parties. This system underwent modifications over time, including the adoption of an open-list system in 2004. The enactment of Law No. 7 of 2017 subsequently regulated the conduct of general elections in Indonesia, emphasizing principles such as direct, general, free, secret, fair, and honest elections. In Thailand, the history of general elections commenced following the 1932 revolution that ended absolute monarchy. Despite this, Thailand has experienced numerous military coups affecting its political dynamics, notably in 2006 and 2014, sparking debates among opposing political factions. This study employs a normative and legal approach to analyze the dispute resolution systems of general elections in Indonesia, contrasting them with Thailand's specialized commission approach for similar matters. In Indonesia, the resolution of election disputes is governed by Law No. 7 of 2017, with oversight bodies including the General Election Commission and the Election Supervisory Board. Conversely, Thailand's Election Commission of Thailand plays a crucial role in resolving election disputes in accordance with the constitution. Both countries adopt different approaches in handling election disputes; Indonesia relies on judicial bodies such as the Administrative Court and the Supreme Court, whereas Thailand employs the Election Commission of Thailand as a non-judicial institution with broad authority in addressing electoral law violations. Abstrak Sejarah Pemilihan Umum di Indonesia dimulai pada tahun 1955 dengan menggunakan Sistem Proporsional, di mana pemilih dapat memilih calon secara langsung atau partai. Sistem ini mengalami modifikasi dari waktu ke waktu, termasuk penerapan stelsel daftar terbuka pada tahun 2004. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 kemudian mengatur pelaksanaan pemilihan umum dengan prinsip-prinsip seperti langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Di Thailand, sejarah pemilihan umum dimulai setelah revolusi tahun 1932 yang mengakhiri monarki absolut. Meskipun demikian, Thailand mengalami banyak kudeta militer yang mempengaruhi dinamika politiknya, termasuk kudeta pada tahun 2006 dan 2014 yang melibatkan perdebatan antara faksi-faksi politik yang berseberangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan perundang-undangan untuk menganalisis sistem penanganan sengketa pemilihan umum di Indonesia, dibandingkan dengan Thailand yang memiliki pendekatan komisi khusus untuk hal serupa. Penyelesaian sengketa pemilihan umum di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, dengan badan penyelesaian termasuk Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan umum. Di Thailand, Election Commission of Thailand memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum sesuai dengan konstitusi. Kedua negara memiliki pendekatan yang berbeda dalam menangani sengketa pemilihan umum, Indonesia melalui badan peradilan seperti Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung, sedangkan Thailand melalui Election Commission of Thailand sebagai lembaga non-peradilan yang memiliki kewenangan luas dalam menangani pelanggaran undang-undang pemilihan umum.
The Procedure of Turning A Life Sentence To A Temporary Sentence At The Penitentiary Class 1 Tangerang Amiludin, Amiludin; Sary Ayu, Fitri Nur; Umara, Undang Prasetya; Razif, Imran Bukhari
DE LEGA LATA: JURNAL ILMU HUKUM Vol 9, No 1 (2024): January-June
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30596/dll.v9i1.18150

Abstract

This study discusses the process of implementing conversion of a life sentence imprisonment to temporary imprisonment at Correctional Institution Class I Tangerang. This research aims to provide an understanding of the procedure of sentence. And identify the obstacles faced in the process implementation. The research method used is normative-empirical law with a qualitative approach.  The primary data was sourced from interviews with inmates serving life sentences in the Correctional Institution Class 1 Tangerang and from the perusal of documents concerning the regulations and policies on sentence conversion. The result showed that the sentence conversion involves several stages of administration and assessment which are handled by a number of offices involving various Technical Implementation Units, from the Tangerang Class I Correctional Institution, the Regional Office of the Ministry of Law and Human Rights, and the Directorate General of Corrections.  However, the final decision regarding a sentence conversion is in the hands of the President. Some of the faced by prisoners in applying for sentence conversion include a lack of knowledge about the application process, a breach of prison regulations within 5 years preceding the application and the inability to find a guarantor needed for Correctional Assessment. In order to overcome these obstacles, it is suggested to encourage socialization, to support education of inmates about the application process, to provide clear and easily accessible information and to evaluate and simplify the administrative process. Thus, inmates will have a better opportunity to obtain chances for a sentence conversion.
TRANSAKSI JUAL BELI TANAH GIRIK DAN KEKUATAN HUKUMNYA Amiludin, Amiludin; Ahmad, Dwi Nurfauziah; Razif, Imran Bukhari; Albab, Ulil
Jurnal Dinamika UMT Vol 8, No 1 (2023)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31000/dinamika.v8i1.10241

Abstract

Tanah memegang peran sentral dalam dinamika pembangunan, terutama dalam konteks hukum agraria Indonesia yang diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), terdapat dualisme aturan hukum, yang mengakibatkan ketidaksetaraan dalam perlakuan hukum terhadap tanah. Fenomena seperti peningkatan jumlah penduduk, kelangkaan tanah, perubahan fungsi lahan, dan persaingan intensif dalam pemanfaatan tanah menimbulkan tantangan kompleks. UUPA mendefinisikan tanah sebagai permukaan bumi dan bawahnya, termasuk ruang angkasa dan kekayaan alam di dalamnya. Tanah girik, tanah tanpa sertifikat dan status hak eksklusif, menunjukkan ketidaksetaraan perlindungan hukum. Peralihan hak atas tanah dapat terjadi melalui peristiwa hukum seperti warisan atau kesepakatan antara pihak yang memberikan dan menerima. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait perlindungan kepemilikan tanah, terutama dalam jual beli tanah girik, menciptakan masalah hukum. Tulisan ini membahas kekuatan hukum jual beli tanah girik dan syarat-syaratnya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan deskriptif analitis. Hasil dan pembahasan menyoroti proses jual beli tanah girik, persyaratan formal dan materiil, serta perbedaan dengan hukum adat dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penulis menyimpulkan bahwa transaksi jual beli tanah girik yang dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat memberikan kekuatan hukum lebih, terutama dengan dikeluarkannya Akta Jual Beli (AJB). Kualitas hukum jual beli tanah girik dipengaruhi oleh perubahan peran girik setelah UUPA, diakui sebagai surat keterangan objek hak atas tanah. Meskipun sertifikat diakui sebagai bukti kepemilikan terkuat, tanah girik dapat diubah menjadi AJB dengan kekuatan hukum yang lebih kuat melalui PPAT.Penelitian ini memberikan gambaran mendalam mengenai permasalahan hukum terkait tanah girik dan menekankan pentingnya pemahaman masyarakat serta regulasi yang jelas untuk memastikan perlindungan hukum yang adil terhadap hak atas tanah.Kata Kunci: Tanah, Jual Beli, Kekuatan Hukum
Kepastian Hukum Pengenaan BPHTB kepada Pemilik Tanah dan / atau Bangunan yang Belum Bersetifikat dalam Rangka Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Azminazilah, Azminazilah; Darmaini, Yohanna; Amiludin, Amiludin; Ahmad, Dwi Nurfauziah; Razif, Imran Bukhari
Officium Notarium Vol. 3 No. 2: NOVEMBER 2023
Publisher : Faculty of Law Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/JON.vol3.iss2.art5

Abstract

Land is the most important agrarian aspect of a country which has cultural, political, social, and economic value. The need for registration by the land owner, where this registration is carried out at the land office can guarantee land control by a party by obtaining a land certificate. The certificate exists as proof that the party occupies and controls and has rights to the land. Disputes often lead to chaos or disparities due to commotion between communities fighting over land rights. Land Registration According to Article 1 Paragraph 1 of Government Regulation Number 24 of 1997 is the continuation of activities carried out by public bodies in a place that are continuous and regular, including sorting, handling, bookkeeping, as well as presenting and maintaining actual and juridical information. information, as a guide and note, regarding a collection of information. The Land Rights Registrar can revoke tax levies if there is valid evidence through an authentic deed of land maintenance and registration. This tax collection will later be deposited by the Land Rights Registrar to the regional revenue office usually abbreviated to the Regional Revenue Office to provide legal certainty and protection for interested parties. Land registration activities are a form of government concern and fees for registering land and building rights are a form of tax on land registration. This tax is to ensure the continuity of land rights owned by individuals or entities over that land.Key Word: Registration, Tax, Conflict, Dispute, Legal Certainty AbstrakTanah sebagai aspek agraria terpenting dalam negara yang mempunyai nilai budaya, politik, sosial dan ekonomi. Perlunya pendaftaran oleh pemilik tanah, dimana pendaftaran ini dilakukan pada kantor pertanahan dapat menjamin penguasaan tanah oleh suatu pihak dengan diperolehnya sertifikat tanah. Sertifikat tersebut ada sebagai bukti bahwa pihak tersebut menempati dan menguasai serta memiliki hak atas tanah. Sengketa seringkali menimbulkan kekacauan atau kesenjangan karena adanya keributan antar sesama masyarakat dalam memperebutkan hak atas tanah. Pendaftaran Tanah Menurut Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah kelanjutan kegiatan yang dilakukan oleh badan publik di suatu tempat yang bersifat terus menerus dan biasa, meliputi penyortiran, penanganan, pembukuan, serta penyajian dan pemeliharaan informasi yang aktual dan yuridis. Informasi, sebagai pedoman dan catatan, mengenai kumpulan informasi. Pencatat Hak Atas Tanah dapat mencabut pungutan pajak apabila terdapat bukti yang sah melalui akta otentik pemeliharaan dan pendaftaran tanah. Pemungutan pajak inilah yang nantinya disetorkan oleh Pencatat Hak Atas Tanah kepada kantor pendapatan daerah atau biasa disingkat Kantor Pendapatan Daerah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Kegiatan pendaftaran tanah sebagai wujud kepedulian pemerintah dan biaya pendaftaran hak atas tanah dan bangunan sebagai bentuk pajak atas pendaftaran tanah tersebut. Pajak tersebut untuk menjamin keberlangsungan hak atas tanah yang dimiliki oleh orang pribadi atau badan atas tanah tersebut.Kata-kata Kunci: Pendaftaran, Pajak, Konflik, Sengketa, Kepastian Hukum