Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PENGRUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DI LINTAS BATAS NEGARA MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL Junginger, Abigail A. J.
LEX ET SOCIETATIS Vol 9, No 1 (2021): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35796/les.v9i1.32054

Abstract

Tujuan dilakukannya peneltian ini adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum dalam kaitannya dengan pencemaran dan pengrusakan lingkungan laut lintas batas Negara dan bagaimana upaya negara meminta pertanggung jawaban atas pengrusakan dan pencemaran lingkungan laut di lintas batas Negara. Dengan menggunakan metode peneltian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Indonesia mengambil tindakan tegas dalam kasus perusakan dan pencemaran lingkungan laut yang terjadi di jalur lintas batas negaranya. Dalam kasus ini Indonesia berhak mendapat kompensasi ganti kerugian dari pelaku pencemaran lingkungan laut yang terjadi wilayah perairan Indonesia, bahkan dalam ketentuan hukum internasional juga sudah diatur mengenai setiap Negara yang melakukan perbuatan melanggar aturan hukum internasional harus mendapatkan sanksi dan dapat memberikan ganti kerugian terhadap Negara yang menjadi dampak dari pencemaran lingkungan laut tersebut. Dalam kasus seperti demikian sangatlah penting untuk mendapatkan perhatian penuh dari pihak pemerintah internasional untuk segera menangani kasus tersebut agar supaya Negara yang menjadi pelaku pencemaran lingkungan laut itu langsung membayar kompensasi ganti rugi kepada Negara yang menjadi korban pencemaran lingkungan lautnya. 2. Upaya Negara Indonesia dalam meminta pertanggungjawaban atas perusakan dan pencemaran lingkungan laut di wilayah yurisdiksi Negara Indonesia adalah dengan cara melakukan pengajuan kepada pemerintah internasional dalam hal ini melalui pengadilan internasional yang menangani kasus atas perusakan dan pencemaran lingkungan laut di lintas batas Negara. Indonesia mempunyai kewenangan sebagai Negara pantai untuk dapat mengajukan ganti rugi kepada Negara pelaku pencemaran itu menurut hukum nasionalnya. Agar supaya dalam kasus ini benar-benar pihak merupakan pelaku pencemar dapat mematuhi setiap prosedur yang berlaku baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional di wilayah yurisdiksi negara yang menjadi korban pencemaran tersebut.Kata kunci: Pertanggungjawaban, Pengrusakan dan Pencemaran, Lingkungan Laut,  Lintas Batas Negara, Instrument Hukum Internasional.
Kebijakan Pemerintah terhadap Perlindungan Hukum bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia Junginger, Abigail A. J.; Ismed, Mohamad; Sartono, Sartono
ULIL ALBAB : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 3 No. 12: November 2024
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jim.v3i12.5655

Abstract

Perdagangan manusia atau human traficking merupakan kejahatan luar biasa yang mana korban utamanya adalah perempuan dan anak-anak. Masalah traficking di Indonesia sudah lama terjadi dan sampai saat ini masih belum ada upaya pencegahan yang akurat untuk memberantas para oknum-oknum yang menjadi pelaku utama dari pada perdagangan manusia. Perlindungan hukum terkait perdagangan manusia di Republik Indonesia sudah diatur dalam UU TPPO, tetapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum pemerintah maupun aparat penegak hukum masih belum relatif dalam penerapannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan korban pidana perdagangan orang di wilayah Republik Indonesia serta pertanggujawaban dari pada pelaku. Para pelaku dari perdagangan manusia acap kali memakai berbagai macam modus menarik untuk memikat para calon korban, modus yang di lakukan oleh pelaku pada umumnya seperti, mengiming-imingi dengan pengahasilan yang tinggi (gaji yang tinggi), mendapatkan uang tambahan dari hasil pekerjaanya (dalam hal ini bonus), serta tutur kata yang lembut agar calon korban tertarik untuk mengikuti mekanisme dari pelaku. Korban dari perdagangan manusia tersebut merupakan masyarakat yang memiliki SDM rendah, hanya tamatan SMP, tinggal di daerah terpencil/ terpolosok, serta memiliki perekonomian yang sulit sehingga mengakibatkan para calon korban tertarik untuk melakukan pekerjaan yang di tawarkan oleh pelaku.