Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

ANALISIS NORMATIF UPAYA PENCEGAHAN PRAKTIK PENIPUAN MELALUI MEDIA INTERNET (INTERNET FREUD) DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN KENDALANYA Busroh, Firman Freaddy; Erleni; Haryadi, Tobi
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 2 (2021): Mei
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i2.39

Abstract

Abstrak Upaya Pencegahan Praktik Penipuan Melalui Media Internet (Internet Fraud) Dalam Perspektif Hukum Internasional dilakukan melalui Resolusi Kongres PBB VIII/1990 di Wina mengenai computer related crimes mengajukan beberapa kebijakan dalam upaya mencegah praktik penipuan melalui internet (internet fraud) antara lain: a. Mengimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif, b. Melakukan modernisasi hukum pidana materiil dan hukum acara pidana; c. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer; d. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka (sensitif) warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer; e. Melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para hakim, pejabat, dan aparat penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cybercrime; f. Memperluas rules of ethics dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika; g. Mengadopsi perlindungan korban cybercrime sesuai dengan Deklarasi PBB mengenai korban, dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cybercrime; h. Mengimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya penanggulangan cybercrime; i. Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan Kejahatan (Committee on Crime Prevention and Control/CCPC) PBB untuk : Ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam mencegah praktik penipuan dengan menggunakan media internet (internet fraud) dalam perspektif hukum internasional, yaitu antara lain : a. Masyarakat dunia internasional cenderung pasif atau terbatas dalam merespon kejahatan-kejahatan cyber yang menimpa dirinya. Secara umum masyarakat luas tidak begitu memperhatikan ataupun mewaspadai fenomena kejahatan cyber. Walaupun tingkat kerugian finansial akibat kejahatan cyber sudah sangat besar, namun warga masyarakat tidak begitu tergerak untuk menyikapinya; b. Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah yang dimiliki oleh banyak negara; c. ego sektoral dari beberapa negara; d. hubungan diplomatik yang kurang baik; e. Sistem hukum yang berlaku di negara-negara lain saling berbeda, dimana hal ini sangat menyulitkan posisi perundingan untuk menyamakan persepsi tentang sistem hukum yang dianut mengenai tindak pidana penipuan melalui media internet (Internet Fraud); f. Antar negara tersebut, terkadang belum memiliki kerjasama internasional dalam menanggulangi kejahatan internasional dengan menggunakan media internet (Internet Fraud). Kata kunci : penegakan Hukum, Tindak Pidana, Praktik Penipuan Abstract Efforts to Prevent Fraud Practices Through the Internet (Internet Fraud) In the perspective of international law, this was carried out through the Resolution of the United Nations Congress VIII/1990 in Vienna regarding computer related crimes, proposing several policies in an effort to prevent fraudulent practices through the internet (internet fraud), including: a. Calling on member countries to intensify efforts to tackle computer abuse more effectively, b. Modernizing material criminal law and criminal procedural law; c. Develop computer security and preventive measures; d. Take steps to sensitize citizens, court officials and law enforcement, to the importance of preventing computer-related crimes; e. Conduct training efforts for judges, officials, and law enforcement officers regarding economic crimes and cybercrime; f. Expanding the rules of ethics in the use of computers and teaching them through the informatics curriculum; g. Adopt the protection of victims of cybercrime in accordance with the United Nations Declaration on Victims, and take steps to encourage victims to report the existence of cybercrime; h. Calling on member countries to increase international activities in efforts to combat cybercrime; i. Recommend to the United Nations Committee on Crime Prevention and Control (CCPC) to: There are several things that become obstacles in preventing fraudulent practices using the internet (internet fraud) in the perspective of international law, namely: a. The international community tends to be passive or limited in responding to cyber crimes that befall them. In general, the wider community does not pay much attention to or pay attention to the phenomenon of cyber crime. Although the level of financial losses due to cyber crimes is already very large, the community members are not very moved to respond; b. Human Resources (HR) are still low owned by many countries; c. sectoral egos of several countries; d. poor diplomatic relations; e. The legal systems that apply in other countries are different from each other, which makes it very difficult for the negotiating position to equalize the perception of the legal system adopted regarding the crime of fraud through the internet (Internet Fraud); f. Between these countries, sometimes do not have international cooperation in tackling international crimes using the internet (Internet Fraud).
LEGALITAS HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Erleni; Mujiburrahman
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 29 No. 1 (2023): Maret
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v29i1.100

Abstract

Abstrak Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ketentuan hukum positif Indonesia tidak secara tegas melarang tentang perkawinan beda agama. Namun dari ketentuan-ketentuan yang ada serta posisi Indonesia sebagai negara yang non sekuler maka dimaknai bahwa di Indonesia tidak dapat dilangsungkan perkawinan beda agama. Hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan penelitian kepustakaan. Hal ini bertujuan untuk mempelajari lebih jauh terkait dengan pengaturan perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kesimpulan dari penelitian ini adalah keabsahan perkawinan beda agama tetap dikembalikan kepada hukum agamanya masing-masing, sedangkan berkaitan dengan hubungan keperdataan yang timbul dari perkawinan, apabila perkawinan tersebut telah mendapat pengakuan secara hukum, maka semuanya dianggap sah dan dilindungi oleh hukum sedangkan untuk mengatasi kekosongan hukum yang disebabkan ketidaktegasan Undang-Undang Perkawinan dalam mengatur perkawinan beda agama tersebut yaknidengan melihat Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Kata Kunci : Perkawinan Beda Agama; Kekosongan Hukum; Undang-undang Perkawinan Abstract Marriage in Indonesia is regulated in the Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 1974 concerning Marriage and the Instruction of the President of the Republic of Indonesia Number 1 of 1991 concerning the Compilation of Islamic Law. These two products of legislation regulate issues related to marriage, including inter-religious marriages. In the Law of the Republic of Indonesia Number 1 of 1974 concerning Marriage, article 2 paragraph (1) it is stated: "Marriage is legal, if it is carried out according to the law of each religion and belief". The provisions of Indonesia's positive law do not explicitly prohibit interfaith marriages. However, from the existing provisions and Indonesia's position as a non-secular country, it is interpreted that in Indonesia interfaith marriages cannot be held. Marriage law in Indonesia does not specifically regulate the marriage of interfaith couples so that there is a legal vacuum. Regarding the validity of marriage, marriage is carried out according to religion and belief as regulated in Article 2 paragraph (1) of the UUP. This research uses normative legal research, using a statute approach and library research. It aims to study further related to the regulation of interfaith marriages in Law Number 1 of 1974. The conclusion of this study is that the validity of interfaith marriages remains to be returned to the laws of their respective religions, while relating to civil relations arising from marriage, if the marriage has received legal recognition, then everything is considered valid and protected by law, while to overcome the legal vacuum caused by the indecisiveness of the Marriage Law in regulating interfaith marriages, namely by looking at Article 35 letter a of Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration. Keywords: Interfaith Marriage; Legal Void; Marriage Law
Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Nasional: Antara Legalitas dan Realitas Sosial Erleni; Mujiburrahman
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 29 No. 1 (2023)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Interfaith marriage in Indonesia continues to spark legal debate because Law No. 1 of 1974 only recognizes marriages as valid if they comply with the religious laws of each party, without explicitly regulating interfaith marriages. This situation creates a legal vacuum, so that couples of different faiths often seek alternatives to legalize their marriages. This normative study shows that the validity of marriage remains dependent on the religious rules of each party, while civil recognition may refer to provisions in the Population Administration Law. Therefore, regulatory clarity is needed to ensure legal certainty and protect the rights of citizens.
Kekuatan Mengikat Dari Keputusan Arbitrase Dihubungkan Dengan Sifat Final & Binding Erleni; Meidya Wulandari; Oktariani; Ocky Yogananta; Fery Arifandi
Consensus : Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3 No. 3 (2025)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Contemporary business actors often use arbitration, a method of resolving disputes outside of court. Arbitrase di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif. More and more cases are being registered with the Indonesian National Arbitration Board. Arbitrasi semakin penting dalam penyelesaian sengketa bisnis nasional dan internasional karena banyaknya kontrak bisnis atau perdagangan yang mencakup klausul arbitrase. Arbitration awards are final and binding, because arbitration follows the principle of final and binding. The decision immediately has permanent legal force from the moment it is pronounced because the arbitration decision is final and binding. Therefore, no further legal recourse can be taken against that decision. Article 70 provides the disputing parties with the opportunity to raise objections, while Article 60 states that the arbitration decision is final and has permanent legal force.