Sudaryono .
Program Studi Perencanaan Wilayah Dan Kota Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

INOVASI REKAYASA TEKNOLOGI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU KEDELAI ., Sudaryono
Buletin Palawija No 13 (2007)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai memiliki makna filosofis sebagai suatu pendekatan dalam budidaya tanaman kedelai yang menekankan pada pengelolaan tanaman, lahan, air, organisme pengganggu tanaman (OPT), sosial ekonomi, dan kelembagaan wilayah secara terpadu. Inovasi rekayasa teknologi PTT kedelai mengandung empat pengertian, yaitu (1) perbaikan, (2) pembaharuan (innovation), (3) kreasi rancangan teknologi, dan (4) pengaturan kombinasi komponen teknologi untuk budidaya tanaman kedelai agar lebih efektif dan efisien. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dikerjakan dapat dirumuskan teknologi budidaya tanaman kedelai untuk agroekologi sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan, lahan kering, lahan rawa lebak maupun lahan rawa pasang surut yang mampu meningkatkan produktivitas kedelai di masing-masing agroekologi tersebut. Penerapan PTT pada skala yang lebih luas pada daerah-daerah sentra produksi kedelai di lahan sawah dan lahan kering masam akan berhasil meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani kedelai, dan diharapkan pada gilirannya apabila diterapkan pada skala nasional akan mampu meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri. Gairah petani kedelai akan meningkat bilamana didukung kebijakan dan sistem kelembagaan yang kondusif terhadap serapan kedelai produk petani dalam negeri. Alih teknologi sekaligus sosialisasi teknologi di tingkat petani dapat dirancang dan dilaksanakan di setiap agroekologi.
Inovasi Rekayasa Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu Kedelai ., Sudaryono
Buletin Palawija No 14 (2007)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai memiliki makna filosofis sebagai suatu pendekatan dalam budidaya tanaman kedelai yang menekankan pada pengelolaan tanaman, lahan, air, organisme pengganggu tanaman (OPT), sosial ekonomi, dan kelembagaan wilayah secara terpadu. Inovasi rekayasa teknologi PTT kedelai mengandung empat pengertian, yaitu (1) perbaikan, (2) pembaharuan (innovation), (3) kreasi rancangan teknologi, dan (4) pengaturan kombinasi komponen teknologi untuk budidaya tanaman kedelai agar lebih efektif dan efisien. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dikerjakan dapat dirumuskan teknologi budidaya tanaman kedelai untuk agroekologi sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan, lahan kering, lahan rawa lebak maupun lahan rawa pasang surut yang mampu meningkatkan produktivitas kedelai di masing-masing agroekologi tersebut. Penerapan PTT pada skala yang lebih luas pada daerah-daerah sentra produksi kedelai di lahan sawah dan lahan kering masam akan berhasil meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani kedelai, dan diharapkan pada gilirannya apabila diterapkan pada skala nasional akan mampu meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri. Gairah petani kedelai akan meningkat bilamana didukung kebijakan dan sistem kelembagaan yang kondusif terhadap serapan kedelai produk petani dalam negeri. Alih teknologi sekaligus sosialisasi teknologi di tingkat petani dapat dirancang dan dilaksanakan di setiap agroekologi.
Prospek Kedelai Hitam Varietas Detam-1 dan Detam-2 Adie, M. Muchlish; ., Suharsono; ., Sudaryono
Buletin Palawija No 18 (2009)
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jawa Timur merupakan provinsi terbesar penghasil kedelai Glycine soya Merr. di Indonesia, karena memiliki luas tanam relatif tinggi sehingga menjadi penyumbang terbesar kebutuhan kedelai nasional. Dengan makin pentingnya posisi kedelai sebagai pangan fungsional, maka varietas kedelai unggul tidak semata-mata berdaya hasil tinggi, namun juga harus memenuhi pra-syarat kedelai sebagai pangan sehat dan menyehatkan, sesuai dengan kebutuhan pengguna serta berdaya saing tinggi. Selama 89 tahun (1918–2007) pemerintah Indonesia baru berhasil melepas lima varietas kedelai hitam dan pada umumnya merupakan hasil seleksi terhadap varietas lokal dan galur introduksi, kecuali Cikuray diperoleh dari seleksi terhadap persilangan antara galur No 630 dan Orba. Varietas kedelai hitam Detam-1 dan Detam-2 dilepas tahun 2008, hasil persilangan antara kedelai introduksi dengan varietas Wilis dan Kawi. Keunggulan Detam-l adalah berdaya hasil 2,51 t/ha, berukuran biji besar (14,84 g/100 biji), dan merupakan kedelai hitam pertama yang berukuran biji besar. Detam-2, berdaya hasil 2,46 t/ha dan menjadi varietas kedelai berkandungan protein paling tinggi di Indonesia (45,58 % berat kering) dan tergolong toleran kekeringan pada fase reproduktif.
Aspek Budaya Dalam Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta ., Suryanto; Djunaedi, Achmad; ., Sudaryono
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 26, No 3 (2015)
Publisher : The ITB Journal Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1308.611 KB) | DOI: 10.5614/jpwk.2015.26.3.6

Abstract

Dengan ditetapkannya budaya dan tata ruang kota sebagai penanda keistimewaan Yogyakarta dalam UU No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta, maka Yogyakarta merupakan kasus spesifik dalam Penataan Ruang, karena aspek Tata Ruang menjadi salah satu penanda Keistimewaannya. Apa yang istimewa. Apanya yang istimewa dang mengapa istimewa; apakah penanda (tata ruang kota), petanda (konsep budaya) atau makna/pesan dari hubungan antara petanda dengan penandanya yang tersirat dalam wujud tata ruang kota Yogya. Penelitian ini berupaya untuk mengenali dan memahami hubungan antara kebudayaan, tata kota dan keistimewaan Yogyakarta. Dari bukti-bukti empiris, kajian tentang kebudayan dan tata ruang kota memerlukan rentang waktu panjang, karena akan menyangkut data longitudinal (diakronik) dan lateral (sinkronik). Oleh karena itu studi ini perlu didudukkan dalam bingkai sejarah dan budaya, untuk membaca peristiwa sepanjang perkembangan kota Yogyakarta, dari HB I sampai HB IX. Kemudian untuk memahami makna kaitan antar penanda dan petanda sepanjang perjalanan perkembangan kota, maka digunakan metoda hermeneutika, khususnya Hermeneutik Paul Ricoeur. Dari hasil kajian terhadap obyek tata ruang kota yang dianggap istimewa, maka budaya yang mewujud dalam keistimewaan tata ruang kota Yogyakarta bisa dilihat dari komponen ruang kotanya maupun konfigurasi fungsi ruang kotanya. Kesimpulan penting dari penelitian ini adalah konsep budaya yang mewujud dalam tata ruang kota, yaitu monumental dan pertahanan, yang tidak ditemui di kota manapun di Indonesia. Kemudian dari sisi makna, terjadi perbedaan makna simbol-simbol tata ruang kota di era HB I dan HB IX.Kata kunci. Kebudayaan, tata ruang kota, budaya, Yogyakarta. Since Yogyakarta’s culture and spatiality were proclaimed as special features of Yogyakarta as stated in Law No. 13, 2012 on the Special Region of Yogyakarta, Yogyakarta is recognized as a specific case in spatial planning, because its spatiality is one of the attributes that make it exceptional. Why is it exceptional and how is it exceptional? Because of its attributes (the space), its signature (the cultural concept), or the meaning/message of the relationship between its attributes and signature, which is implicitly manifested in Yogyakarta’s spatiality? This research was aimed at identifying and explaining the relationship between the culture, spatial planning and special features of Yogyakarta. Research about culture and spatial planning based on empirical evidence takes a long time to complete, because it involves longitudinal and lateral (synchronic) data. Therefore, this study needed to utilize a historical and cultural framework in order to interpret events in the development of the city from the reign of Sultan Hamengkubuwono I to that of Hamengkubuwono IX. Additionally, in order to understand the meaning of the relationship between the attributes and the signature of the city throughout its development, the hermeneutic method of Paul Ricoeur was used. The results of this study of the spatial planning features of Yogyakarta that are considered exceptional reveal the culture that expresses itself in the components and functional configuration of Yogyakarta’s urban space. An important finding from this research is that there is a cultural concept that manifests itself in the city’s spatiality, i.e. monumental and defensive, which cannot be found in any other city in Indonesia. Moreover, it was found that there has been a change in the meaning of the city’s spatial symbols from the era of Hamengkubuwono I to the era of Hamengkubuwono IX. Keywords. Culture, spatial planning, culture, Yogyakarta
Bentuk Implementasi Konsep Kota Taman di Jepang: Konseptualisasi dan Prinsip Perencanaan Dalam Uraian Sejarah Ni’mah, Novi Maulida; Sudaryono, Sudaryono
Journal of Regional and City Planning Vol 20, No 1 (2009)
Publisher : The ITB Journal Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.856 KB)

Abstract

 Penelitian ini meninjau generalisasi sejarah implementati konsep Garden City di Jepang. Dengan menggunakan metode analisis isi, penelitian ini menjelaskan, menginterpretasikan dan menemukan perubahan-perubahan fenomena tersebut dari berbagai literature. Implementasi konsep Garden City di Jepang berkaitan dengan sejarah terbukanya Jepang setelah Restorasi Meiji.Pelajaran yang dapat ditarik dari prinsip-prinsip Jepang seperti ‘Semangat Jepang Kuno’ dan ‘Memerintah untuk Kepentingan Masyarakat’ menjadi suatu alternatif untuk pembangunan sesuai dengan konteks Garden City di Jepang. Diawali dengan prinsip ruralisasi sebagai suatu solusi untuk masalah perkotaan dan perdesaan, konsep Garden City kemudian berkembang menjadi solusi untuk ketersediaan rumah sebagai akibat dari pembangunan kota. Tidak digunakannya lagi prinsip self contained-self sufficient berakibat pada tata guna lahan dan komunitas dengan karakter yang homogen.Kata kunci: sejarah, konsep Garden City concept, prinsip-prinsip perencanaan, Jepang This research reviews the generalization of the historical description of the Garden City concept implementation in Japan. By using content analysis method, this research explained, interpreted, and found its changes phenomena which found from many related literatures. The implementation of Garden City concept in Japan is related from the history of Japan’s opening after the Meiji Restoration. Lessons learned based on the Japan principle ‘Spirit of the Old Japan’ and ‘Rule For the Benefit of the People’ became the new form of knowledge in the context of alternative solution for development as it seen in the conceptualization development of the Garden City in Japan’s context. Started with the ruralization principle as a solution step for both the urban and rural problems, the Garden City concept then developed in to suburban settlement area as a solution for the housing availability caused by the city development. By no longer using the self contained-self sufficient principle, there was an impact in the land use and the community that formed with the homogeneous characteristic.Keywords: history, Garden City concept, planning principles, Japan.
Paradigma Lokalisme Dalam Perencanaan Spasial Sudaryono, Sudaryono
Journal of Regional and City Planning Vol 17, No 1 (2006)
Publisher : The ITB Journal Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (133.514 KB)

Abstract

This article attempts to offer the paradigm of localism as an umbrella for spatial planning. It emphasizes that today; in the practical world of planning works in Indonesia there is a strong need to take local values (to include social, cultural, and local politics) as basis for spatial planning. Six planning parameters are proposed to bring the paradigm into the real world, they are: (i) the radius of uniqueness (ii) spatial existence, (iii) spatial defense, (iv) local community strengthens (v) local solution, and (vi) moral obligation of planner.Keywords: localism, spatial planning, local uniqueness, local politics, spatial security, moral obligation
PEMANFAATAN BIOGAS DARI LIMBAH KOTORAN TERNAK SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK Studi kasus di Desa Sutenjaya, Lembang, Jawa Barat = Utilization of Biogas from Animal Waste as Electrical Energy Source Case Study: Sutenjaya, Lembang ., Sudaryono
Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 14 No. 1 (2013)
Publisher : Center for Environmental Technology - Agency for Assessment and Application of Technology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29122/jtl.v14i1.1436

Abstract

The growth of the dairy industry in Indonesia is expected to be an attraction for the local farmers. The increasing number of breeders will have a negative impact on the increase of waste generated.Waste from the farm business can be a solid waste, gas and liquid waste. Animal husbandary waste can be processed to produce biogas as an energy alternative to oil burner and premium drive electricgenerators. From the measurement of CH4 content ranged from (56.67 - 62.8 %), while the CO2 content ranged between (36.36 - 42.64 %). This value is between methane and carbon dioxide content of the theoretical limit. Gasbio volume generated during the 24 hours ranged of 4.218 - 6.198M3, or the average of the gas produced as much: 5,096 M3 per day. Electricity generated = 3.822 kWh. Electricity power genset of 500 watt can burn for 7 hours. The results of laboratory analysis of sludge solids can be seen that the C / N ratio is still relatively high at 42.6, whereas the C / N ratio, which allowed ranged of 15-25. The C value is very high due to the organic composting process is too short, the element N is very low because the nitrogen is still in the complex chain that required the administration of N fastening bacteria such as : Azotobacter, Azotomonas, Pseudomonas.Keywords: cattle manure, biogas, energy listrk, compostAbstrakPertumbuhan industri susu olahan di Indonesia diharapkan akan mampu menjadi daya tarik bagi peternak lokal. Meningkatnya jumlah peternak akan berdampak negatif terhadap meningkatkanlimbah yang dihasilkan. Limbah dari usaha peternakan tersebut dapat berupa limbah padat, gas dan limbah cair. Limbah peternakana dapat diproses untuk menghasilkan biogas sebagai energi alternatif pengganti minyak kompor dan premium menggerakan generator listrik. Dari hasil pengukuran kandungan CH4 berkisar antara (56,67 – 62.8%), sedang kandungan CO2 berkisar antara (36.36 – 42,64%). Nilai tersebut berada diantara kandungan metan dan karbon dioksida pada batas secara teori. Volume gasbio yang dihasilkan selama 24 jam berkisar antara (4,218 - 6,198) M3,atau rata-rata gas yang dihasilkan sebanyak : 5,096 M3 perhari. Listrik yang dihasilkan = 3,822 kWh. Genset dengan daya 500 Watt maka listrik bisa menyala selama 7 jam. Dari hasil analisislaboratorium terhadap padatan sludge dapat diketahui bahwa C/N ratio tergolong masih tinggi yaitu 42,6, padahal C/N ratio yang diizinkan berkisar antara 15 – 25. Hal ini disebabkan karena Corganiknya sangat tinggi akibat proses komposing masih terlalu singkat, unsur N sangat rendah karena nitrogen masih dalam rantai yang kompleks sehingga diperlukan pemberian bakteripenambat N, diantaranya adalah: bakteri Azotobacter, Azotomonas, Pseudomonas. Kata kunci: Kotoran ternak, biogas, energi listrk, kompos
EVALUASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN KAYU PUTIH KABUPATEN BURU, PROVINSI MALUKU ., Sudaryono
Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 11 No. 1 (2010)
Publisher : Center for Environmental Technology - Agency for Assessment and Application of Technology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (728.569 KB) | DOI: 10.29122/jtl.v11i1.1228

Abstract

Maluku province is also famous as a producer of cajeput oil in Indonesia’s number one, but its potential until now have not been optimally utilized in accordance with the carrying capacity of land for public welfare. Melaleuca Cajeputi Roxb have not managed intensively as industrial plants, consequently low production. Based on the results of land suitability assessment, pewilayahan eucalyptus trees on the island of Buru include areas that are not so large, that is 188,743 ha or 20.60% of the total area of the island of Buru, with the details:Land is very suitable (S1) covering 54,832 hectares, or 6 percent of the total land area,mainly scattered in the northern part of Buru District, the floodplain physiography. Enough suitable land class (S2) on Buru Island reached a total area of 45,404 hectares of territory, with the main limiting factor is the rainfall and slope. Class marginal land suitable (S3) with severe limiting factor on regional conditions and slope roots reach a total area of 88,507 hectares.Class of land not available for this moment (N1) reached 513,937 hectares with a very heavy barrier so that if the current efforts will be made to harm the environment or very costly. Spread primarily on physiography tectonics with sloping hills more than 25 percent and its height more than 400 m above sea level. Land Not Available forever (N2) are lands that have very severe limiting factor, so for good both physically and economically impossible to be undertaken.Keywords: capability, suitability, land, cajuput oil
PENGARUH PUPUK HAYATI DAN TANAMAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)TERHADAP PENYERAPAN LOGAM BERAT TEMBAGA (Cu) DAN TIMBAL (Pb) PADA LAHAN BERPASIR ., Sudaryono
Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 11 No. 2 (2010)
Publisher : Center for Environmental Technology - Agency for Assessment and Application of Technology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (281.807 KB) | DOI: 10.29122/jtl.v11i2.1212

Abstract

In general, coastal areas have the physical and chemical properties of lessfertile land with an extreme dry climate, so that only a few plants that can live,including Jatropha curcas L. To enhance fertility and improve soil physicalproperties, need the addition of organic fertilizer. Source of compost canbe derived from a variety of wastes, including household waste and landfill.Quality compost landfill taken from Piyungan, Yogyakarta, has a high content of organic C, pH neutral, low N concentration, with the ratio C/N is very high. But compost landfill has an obstacle in the form of heavy metal containing high Cu and Pb. To prevent accumulation heavy metals into plant tissue or clean up heavy metals from the soil it was attempted by phytoremediation using jatropha plantation and bio-fertilizer that contains bacteria Azotobacter sp and Pseudomonas sp.From the research results can be informed that: (1) The city compost and biological fertilizers, can increase soil fertility with increasing nutrient content in soil. (2) Biofertilizers could inhibit the accumulation of copper (Cu) and lead (Pb) into Jatropha curcas L., (3)Jatropha plant can be classified as phytoremediation plants, because it can absorption heavy metals into leaf tissue.Key words: landfill compost , bio fertilizer, jatropha plants, heavy metals
Aspek Budaya Dalam Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta (Cultural Aspect in the Speciality of Yogyakarta Urban Spatial Planning) Suryanto .; Achmad Djunaedi; Sudaryono .
Journal of Regional and City Planning Vol. 26 No. 3 (2015)
Publisher : The Institute for Research and Community Services, Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/jpwk.2015.26.3.6

Abstract

Dengan ditetapkannya budaya dan tata ruang kota sebagai penanda keistimewaan Yogyakarta dalam UU No. 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta, maka Yogyakarta merupakan kasus spesifik dalam Penataan Ruang, karena aspek Tata Ruang menjadi salah satu penanda Keistimewaannya. Apa yang istimewa. Apanya yang istimewa dang mengapa istimewa; apakah penanda (tata ruang kota), petanda (konsep budaya) atau makna/pesan dari hubungan antara petanda dengan penandanya yang tersirat dalam wujud tata ruang kota Yogya. Penelitian ini berupaya untuk mengenali dan memahami hubungan antara kebudayaan, tata kota dan keistimewaan Yogyakarta. Dari bukti-bukti empiris, kajian tentang kebudayan dan tata ruang kota memerlukan rentang waktu panjang, karena akan menyangkut data longitudinal (diakronik) dan lateral (sinkronik). Oleh karena itu studi ini perlu didudukkan dalam bingkai sejarah dan budaya, untuk membaca peristiwa sepanjang perkembangan kota Yogyakarta, dari HB I sampai HB IX. Kemudian untuk memahami makna kaitan antar penanda dan petanda sepanjang perjalanan perkembangan kota, maka digunakan metoda hermeneutika, khususnya Hermeneutik Paul Ricoeur. Dari hasil kajian terhadap obyek tata ruang kota yang dianggap istimewa, maka budaya yang mewujud dalam keistimewaan tata ruang kota Yogyakarta bisa dilihat dari komponen ruang kotanya maupun konfigurasi fungsi ruang kotanya. Kesimpulan penting dari penelitian ini adalah konsep budaya yang mewujud dalam tata ruang kota, yaitu monumental dan pertahanan, yang tidak ditemui di kota manapun di Indonesia. Kemudian dari sisi makna, terjadi perbedaan makna simbol-simbol tata ruang kota di era HB I dan HB IX.Kata kunci. Kebudayaan, tata ruang kota, budaya, Yogyakarta. Since Yogyakarta's culture and spatiality were proclaimed as special features of Yogyakarta as stated in Law No. 13, 2012 on the Special Region of Yogyakarta, Yogyakarta is recognized as a specific case in spatial planning, because its spatiality is one of the attributes that make it exceptional. Why is it exceptional and how is it exceptional? Because of its attributes (the space), its signature (the cultural concept), or the meaning/message of the relationship between its attributes and signature, which is implicitly manifested in Yogyakarta's spatiality? This research was aimed at identifying and explaining the relationship between the culture, spatial planning and special features of Yogyakarta. Research about culture and spatial planning based on empirical evidence takes a long time to complete, because it involves longitudinal and lateral (synchronic) data. Therefore, this study needed to utilize a historical and cultural framework in order to interpret events in the development of the city from the reign of Sultan Hamengkubuwono I to that of Hamengkubuwono IX. Additionally, in order to understand the meaning of the relationship between the attributes and the signature of the city throughout its development, the hermeneutic method of Paul Ricoeur was used. The results of this study of the spatial planning features of Yogyakarta that are considered exceptional reveal the culture that expresses itself in the components and functional configuration of Yogyakarta's urban space. An important finding from this research is that there is a cultural concept that manifests itself in the city's spatiality, i.e. monumental and defensive, which cannot be found in any other city in Indonesia. Moreover, it was found that there has been a change in the meaning of the city's spatial symbols from the era of Hamengkubuwono I to the era of Hamengkubuwono IX. Keywords. Culture, spatial planning, culture, Yogyakarta