Mahbubi, Mustika
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Leukositosis Pada Pasien Dengan St-Elevation Myocardial Infarction, Apakah Perlu Diberikan Antibiotik ? – Laporan Kasus Kamalo, Angelica Joanna Charity; Mahbubi, Mustika
Jurnal Ners Vol. 8 No. 2 (2024): OKTOBER 2024
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jn.v8i2.26204

Abstract

Sindrom Koroner Akut (SKA) dapat menyebabkan aktivasi fase akut, yang mengawali rekrutmen leukosit ke lokasi miokardium yang mengalami infark. Peningkatan jumlah leukosit jauh lebih besar bila terdapat cedera signifikan terkait inflamasi iskemik.Kami mempresentasikan kasus ST-elevation Myocardial Infarction (STEMI) pada seorang pasien laki-laki berusia 72 tahun, dirawat di unit gawat darurat dengan keluhan nyeri dada dan sesak napas >12 jam dengan syok kardiogenik. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan elevasi segmen ST pada sadapan II, III dan aVF dengan blok AV total. Dari hasil laboratorium, terjadi peningkatan leukosit (26.000/uL) dan neutrofil (72,59 %), serta penurunan limfosit (19,80 %). Terapi optimal untuk STEMI inferior telah diberikan. Pasien ini tidak diberikan antibiotik. Pasien membaik dalam evaluasi. Acute myocardial infact (AMI) berhubungan dengan peradangan sistemik, tercermin pada peningkatan monosit darah tepi dan neutrofil. Peradangan dapat menyebabkan pecahnya plak aterosklerotik dan trombosis. Peningkatan jumlah leukosit mengikuti timbulnya gejala penyakit iskemi.. Limfosit juga mempunyai peran penting dalam memodulasi respon inflamasi pada tahapan proses aterosklerotik. Dalam keadaan akut, limfopenia merupakan temuan umum selama respon stres. Limfopenia telah dikaitkan dengan komplikasi mekanis dan kematian setelah infark miokard. Leukositosis pada SKA tidak memerlukan antibiotik untuk terapi khusus. Dalam hal ini, leukositosis akan kembali normal setelah terapi AMI optimal. Peningkatan leukosit merupakan prediktor independen kematian penyakit jantung koroner, yang mungkin mengindikasikan peran peradangan dalam patogenesis penyakit jantung koroner.
HUBUNGAN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN INTERVAL QTc PADA PASIEN HEMODIALISIS DI RSUD RAA SOEWONDO PATI Alwan, Muhammad Algifari Mufadhal; Mahbubi, Mustika
PREPOTIF : JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT Vol. 9 No. 2 (2025): AGUSTUS 2025
Publisher : Universitas Pahlawan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/prepotif.v9i2.47192

Abstract

Pada tahun 2017, gagal ginjal kronik (GGK) menempati urutan ke 12 sebagai penyebab utama kematian secara global dan diperikirakan akan naik ke urutan 5 pada tahun 2040. Pada pasien GGK, prevalensi pemanjangan interval QTc meningkat secara progresif seiring dengan menurunnya fungsi ginjal. Interval QTc telah diakui sebagai parameter prognostik penting dalam menilai risiko aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak, terutama pada GGK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gagal ginjal kronik dengan pemajangan interval QTc pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penelitian observasional dengan desain potong lintang dilakukan di RSUD RAA Soewondo Pati dalam periode September-November 2024. Digunakan teknik consecutive sampling untuk pengambilan data. Dilakukan elektrokardiografi saat pasien menjalani prosedur dialisis. Uji statistik menggunakan uji T tidak berpasangan. Dari 50 pasien gagal ginjal kronik 58% didominasi oleh laki-laki. Rentang usia pasien 43-65 tahun. Komorbid terbanyak pada pasien GGK adalah diabetes mellitus (38%) diikuti dengan hipertensi (30%). Interval QTc berada dalam rentang 323-610 ms dengan nilai rerata 438 ± 60 ms. Sebanyak 76% mengalami pemanjangan interval QTc saat dilakukaan prosedur hemodialisis. Diabetes mellitus dan hipertensi berhubungan secara signifikan dengan GGK (p = 0.049; PRR (95% CI) = 1,917 (1,031-3,563)) dan (p = 0.044; PRR (95% CI)) = 1,878 (1,072-3,292). Didapatkan hubungan yang secara statistik bermakna antara GGK dengan pemanjangan interval QTc (p = 0,024). Pasien dengan GGK ³ 6 bulan memiliki rerata pemanjangan interval QTc yang lebih besar yaitu 38 ms dibandingkan pasien GGK < 6 bulan.