Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM VAKSINASI COVID-19 MELALUI PEMBERDAYAAN IBU-IBU ‘AISYIYAH Nova Maryani; Alfaina Wahyuni; Siti Aminah Tri Susila Estri
Prosiding Seminar Nasional Program Pengabdian Masyarakat 2021: 3. Kesehatan Keluarga dan Masyarakat
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.673 KB) | DOI: 10.18196/ppm.43.607

Abstract

Sejak awal pandemi jumlah kasus positif Covid-19 di DIY semakin bertambah. Masyarakat memiliki peran penting dalam memutus mata rantai penularan Covid-19 agar tidak menimbulkan sumber penularan baru. Vaksin untuk mencegah infeksi Covid-19 dianggap sebagai pendekatan yang paling menjanjikan untuk mengendalikan pandemik dan diharapkan bisa membentuk herd immunity pada masyarakat. Berdasarkan survey pada ibu-ibu Aisyiyah PCA Sleman didapatkan bahwa masih terdapat pemahaman yang kurang tepat mengenai vaksin dan perkembangan terkini tentang penyakit Covid-19 maka diadakanlah kegiatan seminar sosialisasi dengan tujuan agar dapat meningkatkan pengetahuan mengenai Covid-19 dan vaksinasinya sehingga nantinya mereka dapat menjadi edukator dan motivator yang selanjutnya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mengikuti program vaksinasi Covid-19 dengan sukarela. Hasil diadakannya sosialisasi didapatkan ada perbedaan rata-rata antara pretest (11.65) dan posttest (13.73) ada peningkatan pemahaman mengenai pentingnya selalu menerapkan protokol kesehatan dan perlunya vaksinasi untuk membentuk kekebalan kelompok, khususnya kelompok rentan seperti ibu hamil dan orang tua.
Komplikasi Lambat Paska Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus dan Intubasi Lama di Unit Perawatan Intensif Nova Maryani; Calcarina Fitriani Retno Wisudarti
Medica Arteriana (Med-Art) Vol 3, No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : University of Muhammadiyah Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26714/medart.3.2.2021.68-74

Abstract

Latar belakang: Percutaneous Dilatation Tracheostomy (PDT) diperkenalkan pada tahun 1985, dikomersilkan di Bergen tahun 1996 dan secara luas digunakan intesivis di Intensive Care Unit (ICU) pada pasien kritis yang membutuhjan ventilasi dalam waktu lama. Prevalensi komplikasi lambat PDT meningkat sekitar 65%. Komplikasi setelah prolonged intubadi seperti granuloma larynx sekitar 44% dan granuloma muncul sekitar 4 minggu setelah ekstubasi sekitar 57%.Kasus: Kami laporkan pasien dengan stenosis trakea dan granuloma paska PDT dan prolonged intubasi sebelum PDT di ICU. Perempuan 24 tahun dengan diagnose dengan edema serebral, kontusio pulmo, fraktur multipel, laserasi hepar dan ginjal kanan, dan sepsis dirawat di ICU. Pasien terintubasi selama 8 hari dan dilakukan dilakukan tindakan PDT dan digunakan selama 25 hari. Satu minggu setelah dekanulasi, pasien mengeluh suara serak dan kesulitan bernafas di rumah. Endoscopy dan CT-scan menunjukkan pasien mengalami stenosis trakea dan granuloma laryng. Kemudian, pasien dijadwalkan untuk dilakukan prosedur reseksi anastomose trakea. Pasien perempuan dengan fraktur multipel dirawat di ICU oleh karena prolonged ET dan sepsis. Pasien intubasi selama 8 hari dan PDT selama 25 hari. Komplikasi muncul setelah 1 minggu dekanulasi. Pasien dengan beberapa faktor risiko berhubungan dengan delayed komplikasi stenosis setelah PDT, termasuk sepsis, infeksi stoma PDT, pergerakan tube PDT yang ekstensif (iritasi mekanik), dan penggunaan lebih dari 8 hari. Indikasi klinis tracheostomy setelah penggunaan intubasi dan menjaga patensi jalan nafas. Ada beberapa pencegahan stenosis trakea yang berhubungan dengan PDT, diantaranya penempatan yang tepat antara cincin 2-3 trakea. Penggunaan bronchoscopy untuk guiding dipertimbangkan sebagai prosedur standar.Kesimpulan: Salah satu komplikasi paska PDT dan prolonged intubasi pada pasien muncul sebagai stenosis trakea dan granuloma laryng. Pasien mengeluh suara serak dan kesulitan bernafas 1 minggu setelah dekanulasi.
Gagal Spinal pada Pasien Operasi Amputasi Transfemoral dengan Debridemen dan Penatalaksanaannya Maryani, Nova; Artika, I Gusti Ngurah Rai; Sudadi
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 5 No 1 (2017): Volume 5 Number 1 (2018)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v5i1.7321

Abstract

A man 64 years old had a traffic accident 12 hours ago, resulting in crush injury on regio left femur and cruris. This man has fasted and for 8 hours and was planned to undergo debridement and transfemoral amputation surgery by orthopedics. The hemodynamic profile of this patient preoperative: stable with HB 8.4, had two colfs of PRC blood transfusion. Vital sign BP 110/55, HR 110x/minute, RR 22x/minute, SpO2 97%. The anesthesia technique planned for the surgery is spinal block anasthesia. Fluid preloading RL 500 ml, intravenous analgesics fentanyl 25 mcq, sitting position, spinal anesthesia L4-L5, CSF (+), blood (-), agent: bupivacaine 0,5 % hyperbaric 15 mg + fentanyl 25 mcq, aspiration (+) barbotage until 4cc. Thus, supine position after spinal anesthesia. Pin Prick result, Sensoric test (-), Motoric Bromage 0, evaluated until 10 minutes, just parasthesia. Pin prick, result sensoric test no sensoric. Block declared failed, conversion to General Anesthesia LMA. Operation held for 2 hours, post-operative patient transfers to High Unit Care.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dengan Multipel Komorbid Maryani, Nova; Akhmad Yun Jufan; Bowo Adiyanto
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 11 No 1 (2023)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v11i1.12862

Abstract

Background: COPD is a common disease, can prevent and cure, but sometimes its difficult to diagnose and misdiagnose. Hence, patient couldn’t have the correct treatment. Case: A man 76 years old transfer from district hospital with diagnose COPD with multiple comorbid such as CAP, AKI, and CHF cf III needs to hemodialysis. One month before hospitalization, patient complaint dyspnea and become worst in last 1 week. The quality of dyspnea increasing by activity and cough. Cough with white sputum. He has intubated and give treatment for COPD and other comorbids. Patient hospitalize in ICU for 12 days and after that transfer to HCU for further treatment. Discussion: Intubation and weaning process for COPD patient was very challenging. Patient has treatment 12 days in ICU have COPD medical support based on diagnosa and management ventilation with NIV and NRM after autoextubate on day 5. Clinical and imaging evaluation shows us the recovery of pneumonia and pulmo edema that’s help patient to breathing easily even COPD needs more times to resolve. Results: COPD with multiple comorbid disease make the intesivist more difficult to wean and manage the treatment. Keywords: COPD, Cor Pulmonale, ICU
Faktor Risiko Komorbid pada Mortalitas Sepsis Pramono, Ardi; Maryani, Nova; Wardhani, Ufita Dauma Ummi Nusuka; Ramadhan, Muhammad Tahfiz; Afaki, Sajida Fihrisa
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 13, No 2 (2025)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v13n2.4426

Abstract

Sepsis merupakan disfungsi organ yang disebabkan oleh respons berlebihan tubuh terhadap infeksi dan dapat mengancam jiwa. Secara global, insiden sepsis di rumah sakit mencapai 189 kasus per 100.000 orang per tahun dengan tingkat moralitas 26,7%. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi luaran pasien adalah komorbiditas. Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilakukan untuk menilai faktor risiko komorbid yang berhubungan dengan kematian pasien sepsis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping pada tahun 2022–2023. Berdasarkan data rekam medik diperoleh 55 subjek dengan sepsis, baik yang meninggal maupun hidup, dengan komorbid meliputi gangguan paru, gangguan jantung, gangguan ginjal, gangguan saraf, dan diabetes mellitus. Analisis menggunakan uji chi-square menunjukkan bahwa dari lima faktor komorbid yang dianalisis, dua faktor berhubungan signifikan dengan mortalitas, yaitu gangguan paru dan gangguan ginjal (p<0,05).
The comparison score of SPEEDS, MEDS, SOFA, APACHE II, and SAPS II as predictor of sepsis mortality: A Systematic Review Maryani, Nova; Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno
Asian Journal of Social and Humanities Vol. 2 No. 1 (2023): Asian Journal of Social and Humanities
Publisher : Pelopor Publikasi Akademika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59888/ajosh.v2i1.116

Abstract

We performed the comparison of characteristics and values under the curve, including Sepsis Patient Evaluation Emergency Department Score (SPEEDS), Mortality in Emergency Department Sepsis (MEDS), Sequential Organ Failure Assessment (SOFA), Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II), and Simplified Acute Physiology Score (SAPS II). We searched PubMed, Science direct, ProQuest, and EBSCO for identify full-text English-language papers published between 2012-2022. We discovered that each of the five-scoring lead to mortality forecasts in sepsis patients. MEDS predicted mortality in sepsis patients better than SAPS II after 28 days but the SPEEDS was more accurate than MEDS. The SOFA score predicts mortality better than the APACHE II. APACHE II has lesser validity than SAPS II. The AUC SOFA scores have greater in diagnosing sepsis patients’ mortality than other scores. However, they are overstated, inefficient, and non-cost-effective, making SOFA scoring unfavourable in enhancing healthcare quality.