Claim Missing Document
Check
Articles

Komplikasi Lambat Paska Trakeostomi Dilatasi Perkutaneus dan Intubasi Lama di Unit Perawatan Intensif Nova Maryani; Calcarina Fitriani Retno Wisudarti
Medica Arteriana (Med-Art) Vol 3, No 2 (2021): Desember 2021
Publisher : University of Muhammadiyah Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26714/medart.3.2.2021.68-74

Abstract

Latar belakang: Percutaneous Dilatation Tracheostomy (PDT) diperkenalkan pada tahun 1985, dikomersilkan di Bergen tahun 1996 dan secara luas digunakan intesivis di Intensive Care Unit (ICU) pada pasien kritis yang membutuhjan ventilasi dalam waktu lama. Prevalensi komplikasi lambat PDT meningkat sekitar 65%. Komplikasi setelah prolonged intubadi seperti granuloma larynx sekitar 44% dan granuloma muncul sekitar 4 minggu setelah ekstubasi sekitar 57%.Kasus: Kami laporkan pasien dengan stenosis trakea dan granuloma paska PDT dan prolonged intubasi sebelum PDT di ICU. Perempuan 24 tahun dengan diagnose dengan edema serebral, kontusio pulmo, fraktur multipel, laserasi hepar dan ginjal kanan, dan sepsis dirawat di ICU. Pasien terintubasi selama 8 hari dan dilakukan dilakukan tindakan PDT dan digunakan selama 25 hari. Satu minggu setelah dekanulasi, pasien mengeluh suara serak dan kesulitan bernafas di rumah. Endoscopy dan CT-scan menunjukkan pasien mengalami stenosis trakea dan granuloma laryng. Kemudian, pasien dijadwalkan untuk dilakukan prosedur reseksi anastomose trakea. Pasien perempuan dengan fraktur multipel dirawat di ICU oleh karena prolonged ET dan sepsis. Pasien intubasi selama 8 hari dan PDT selama 25 hari. Komplikasi muncul setelah 1 minggu dekanulasi. Pasien dengan beberapa faktor risiko berhubungan dengan delayed komplikasi stenosis setelah PDT, termasuk sepsis, infeksi stoma PDT, pergerakan tube PDT yang ekstensif (iritasi mekanik), dan penggunaan lebih dari 8 hari. Indikasi klinis tracheostomy setelah penggunaan intubasi dan menjaga patensi jalan nafas. Ada beberapa pencegahan stenosis trakea yang berhubungan dengan PDT, diantaranya penempatan yang tepat antara cincin 2-3 trakea. Penggunaan bronchoscopy untuk guiding dipertimbangkan sebagai prosedur standar.Kesimpulan: Salah satu komplikasi paska PDT dan prolonged intubasi pada pasien muncul sebagai stenosis trakea dan granuloma laryng. Pasien mengeluh suara serak dan kesulitan bernafas 1 minggu setelah dekanulasi.
Penggunaan Delta C-Reactive Protein dan SOFA Score Sebagai Prediktor Kematian Pasien Sepsis Nova Maryani; Akhmad Yun Jufan; Yusmein Uyun; Calcarina Fitriani Retno Wisudarti; Untung Widodo
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 11, No 1 (2023)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v11n1.2955

Abstract

Penelitian ini berfokus pada penggunaan skor DELTA CRP dan SOFA dalam memprediksi prognosis pada pasien ICU. Penelitian observasional kohort digunakan sebagai desain. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Sardjito periode Februari–Juli 2019. Sampel dipilih menggunakan teknik pengambilan sampel berturut-turut. Para peneliti mengumpulkan 32 responden dengan sepsis dan syok sepsis yang dirawat di ICU berdasarkan kondisi ini. Skor area under curve (AUC) delta CRP menunjukkan >0,7 (0,780;CI 95%: 0,58–0,97) dengan cut-off 3 (sensitivitas=53,8%, spesifisitas=91%), menyiratkan bahwa CRP delta dapat menunjukkan keadaan pasien sepsis dan syok septik yang memburuk, tetapi kurang sensitif untuk memprediksi kematian. Sementara itu, skor AUC of SOFA >0,7 (0,787; 95% CI: 0,58–0,98) pada hari ke-0 dengan cut-off 8,5 (sensitivitas=76,9%, spesifisitas=81,8%), dan 0,836 (CI 95%: 0,67–0,99) pada hari ke-2 dengan cut-off 6 (sensitivitas=84,6%, spesifisitas=72,7%). Hal ini menunjukkan bahwa skor SOFA dapat memprediksi tingkat kematian prognostik pada pasien yang didiagnosis sepsis dan syok septik di ICU. Baik skor delta CRP dan SOFA memiliki nilai AUC lebih besar dari 0,7, tetapi hanya delta CRP yang memiliki sensitivitas rendah sebagai prognostik kematian.
The comparison score of SPEEDS, MEDS, SOFA, APACHE II, and SAPS II as predictor of sepsis mortality: A Systematic Review Nova Maryani; Calcarina Fitriani Retno Wisudarti
Asian Journal of Social and Humanities Vol. 2 No. 1 (2023): Asian Journal of Social and Humanities
Publisher : Pelopor Publikasi Akademika

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59888/ajosh.v2i1.116

Abstract

We performed the comparison of characteristics and values under the curve, including Sepsis Patient Evaluation Emergency Department Score (SPEEDS), Mortality in Emergency Department Sepsis (MEDS), Sequential Organ Failure Assessment (SOFA), Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II (APACHE II), and Simplified Acute Physiology Score (SAPS II). We searched PubMed, Science direct, ProQuest, and EBSCO for identify full-text English-language papers published between 2012-2022. We discovered that each of the five-scoring lead to mortality forecasts in sepsis patients. MEDS predicted mortality in sepsis patients better than SAPS II after 28 days but the SPEEDS was more accurate than MEDS. The SOFA score predicts mortality better than the APACHE II. APACHE II has lesser validity than SAPS II. The AUC SOFA scores have greater in diagnosing sepsis patients’ mortality than other scores. However, they are overstated, inefficient, and non-cost-effective, making SOFA scoring unfavourable in enhancing healthcare quality.
Management of restrictive and obstructive lung disease in intensive care unit: a review Listiarini, Dian Ayu; Jufan, Akhmad Yun; Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno
Sains Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 15, No 1 (2024): June 2024
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30659/sainsmed.v15i1.35660

Abstract

Lung disease is broadly divided into obstructive lung disease (OLD) and restrictive lung disease (RLD). The latter is a disorder of the parenchyma, pleura, thorax, or neuromuscular walls of the lungs, characterized by decreased total lung capacity due to reduced lung distensibility. Meanwhile, OLD causes increased resistance to flow due to the blockage of part or all of the respiratory tract from the trachea to the terminal bronchioles. These two diseases' initial symptoms and signs are common, such as shortness of breath, coughing, cyanosis, respiratory muscle retractions, snoring, and fever. Early detection is needed to recognize differences in symptoms and signs, establish a diagnosis, and carry out appropriate treatment. It is essential to differentiate between RLD and OLD because they have different therapeutic management. This review aims to discuss the management of restrictive and obstructive lung disease in intensive care unit It is drawn upon various sources, including case reports, literature reviews, systematic reviews, and meta-analyses, to provide an overview of the difference between RLD and OLD to help clinicians differentiate between RLD and OLD and provide appropriate therapeutic management. Although RLD and OLD have similar signs and symptoms, they have different pathologic processes. The leading cause of RLD is a pathological condition that causes a decrease in lung compliance. Meanwhile, the primary pathological process of OLD is an increase in airway resistance, which causes typical obstructive symptoms. Addressing this area of interest can help clinicians to provide appropriate management of both pharmacotherapy and mechanical ventilation and monitoring of respiratory mechanisms
Fluid Management for Critically Ill Patients, Based on the ROSE Concept, an Old Method but Effective Enough Agustina, Ayu Yesi; Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno; Widodo, Untung
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 5, No 1 (2024): January
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2024.005.01.02

Abstract

Fluid therapy is one of the most essential things in managing critical patients, such as ICU patients. Although it seems simple, this is difficult to do in this group of patients. The fluid needs of ICU patients vary according to the course of the disease. Therefore, fluids must be given according to individual needs, and each phase of the disease must be reassessed. To support this, there is a conceptual model that explains fluid administration based on the phases of the disease that the patient is going through. The ROSE concept (resuscitation, optimization, stabilization, and evacuation) describes the phases of a patient's illness and how fluids should be administered. In the resuscitation phase, the goal is lifesaving and is achieved by positive fluid balance. In the optimization phase, fluid balance is neutral and aims to save organs. In the stabilization phase, the fluid balance has started to move in a negative direction and aims to support the organs. Finally, in the evacuation phase, fluid balance is negative and organ repair has occurred. By implementing this model, it is hoped that ICU patients will have better outcomes
Efektivitas Penggunaan Ventilasi Non-Invasif pada Pasien Gagal Napas di ICU RS Dr Sardjito Baskoro, Windu Adi; Widodo, Untung; Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 1 (2015): Volume 3 Number 1 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i1.7227

Abstract

Latar belakang: Gagal napas didefi nisikan sebagai ketidak-mampuan dalam sistem respirasi untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi, ventilasi atau metabolik pada pasien. Pada pasien gagal napas yang membutuhkan intubasi dan sedasi, erat hubungannya dengan tingginya kejadian VAP (Ventilator Associated Pneumonia) dan akibatnya terjadi kenaikan angka morbiditas dan mortalitas. Saat ini, NIV merupakan alternatif untuk terapi gagal napas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan NIV serta proporsi pasien gagal napas di ICU RS Dr Sardjito Yogyakarta.Metode: Penelitian ini dilakukan secara prospektif menggunakan uji klinis acak terkontrol desain paralel randomized controlled trial (RCT) dengan randomisasi blok permutasi. Subyek penelitian adalah 30 sampel pasien dewasa. Kelompok V adalah kelompok perlakuan yang menggunakan NIV (Ventilasi Non-Invasif) dan kelompok I adalah kelompok kontrol yang mendapatkan ventilasi mekanik dengan intubasi. Untuk mendapatkan hasil yang sahih maka kedua kelompok tersebut harus sebanding, dengan melakukan randomisasi sehingga semua variabel menjadi seimbang, kecuali untuk variabel perlakuan. Dilakukan pencatatan perubahan klinis respirasi, stabilitas hemodinamik, dan analisa gas darah. Data yang dikumpulkan dianalisa dengan uji t tes. Untuk data proporsi dilakukan analisa dengan tes chi-square. Jika p-value <0,05 dikatakan ada perbedaan yang bermakna secara statistik.Hasil: Dari data demografi tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p>0,05) antara kedua kelompok penelitian. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien akan mendapatkan perlakuan NIV dan Intubasi memiliki frekuensi napas yang cepat. Untuk perlakuan NIV, diperoleh nilaip-value diperoleh 0,01>0,05, artinya terdapat hubungan bermakna antara rasio P/F dengan kadar pCO2 dan frekuensi napas pada pasien gagal napas yang diberikan tindakan NIV. Namun secara klinis terdapat perbaikan frekuensi napas setelah dilakukan NIV. Hal ini dimungkinkan karena Work of Breathing (WOB) pasien berkurang sehingga klinis respirasi membaik, serta selanjutnya terjadi perbaikan status asam basa. Hal ini berbeda pada pasien gagal napas yang mendapat perlakuan Intubasi. Dari uji statistik didapatkan, nilai p-value diperoleh 0,09>0,05, artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara rasio P/F dengan kadar pCO2 dan frekuensi napas pada pasien gagal napas yang diberikan tindakan Intubasi.Kesimpulan: Penggunaan NIV pada pasien gagal napas pada 3 jam pertama lebih efektif dalam memperbaiki klinis respirasi, kadar pCO2 dan rasio P/F dibanding penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi.
Aplikasi Klinis Analisis Gas Darah Pendekatan Stewart pada Periode Perioperatif Rahman, Farhan Ali; Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno; Pratomo, Bhirowo Yudo
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 1 (2015): Volume 3 Number 1 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i1.7232

Abstract

Kondisi keseimbangan asam basa sangat berpengaruh terhadap perubahan fi siologi pasien secara keseluruhan. Gangguan asam basa perioperatif potensial terjadi pada kondisi preoperatif gawat darurat, durante operasi, paska operasi, dan kondisi kritis di ruang intensif. Ketika dikonfi rmasi dengan manifestasi klinis pasien, analisis gas darah (AGD) dapat menunjang diagnosis dan penatalaksanaan. Pendekatan Stewart yang melibatkan strong ion difference (SID), asam lemah (ATOT), dan tekanan parsial karbondioksida (PaCO2) dapat melihat keseluruhan proses yang terlibat dalam gangguan asam basa secara lebih luas. Dokter anestesi dapat menggunakan pendekatan Stewart untuk menegakkan diagnostik yang lebih tepat dalam masalah keseimbangan asam basa serta menentukan terapi, pilihan cairan, dan strategi ventilasi mekanik yang sesuai untuk kesembuhan pasien.
Manajemen dan Komplikasi Transfusi Masif Anggraini, Diana; Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno; Pratomo, Bhirowo Yudho
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 1 (2015): Volume 3 Number 1 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i1.7233

Abstract

Perdarahan tidak terkontrol yang membutuhkan transfusi masif sering terjadi pada operasi mayor dan trauma. Perdarahan mayor merupakan salah satu penyebab kematian. Penanganan perdarahan masif meliputi ekspansi volum, optimalisasi oksigenasi jaringan dengan transfusi sel darah merah, dan koreksi koagulopati. Transfusi masif mempunyai survival yang jelek. Dilaporkan terdapat mortalitas sekitar 45-67%. Usia pasien, durasi dan beratnya syok, DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), dan jumlah darah yang ditransfusikan mempengaruhi hasil akhir. Angka mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan berbagai komorbid. Peningkatan mortalitas berhubungan dengan jumlah PRBC (Packed Red Blood Cell) yang ditransfusikan (22%, 30%, 50%, dan 59% pada grup yang menerima secara berurutan 1-10 unit, 11-20 unit, 21-40 unit, dan > 40 unit).
Anestesi pada Diabetes Mellitus Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno; Widyastuti, Yunita; Krisdiyantoro, Nova
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 3 (2016): Volume 3 Number 3 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i3.7256

Abstract

Di Indonesia diperkirakan sekitar 25% penderita DM akan menjalani anestesi dan pembedahan, sehingga ahli anestesi akan banyak berhadapan dengan penderita DM yang membutuhkan operasi, baik elektif maupun emergency. Angka mortalitas penderita DM yang mengalami pembedahan kurang lebih 5 kali lebih tinggi dari penderita non DM. Kunci untuk mengelola kadar glukosa darah pra bedah pada pasien diabetik adalah menetapkan sasaran yang jelas dan kemudian memantau kadar glukosa darah cukup sering untuk menyesuaikan terapi guna mencapai sasaran tersebut. Pengelolaan glukosa darah selama dan setelah operasijuga menentukan keberhasilan tatalaksana anestesi pada pasien DM.
Penatalaksanaan Paliatif Pasien dengan Nyeri Kanker Nugraha, Achmad Fauzani; Mahmud; Wisudarti, Calcarina Fitriani Retno
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 4 No 1 (2016): Volume 4 Number 1 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v4i1.7268

Abstract

Kanker masih merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan di seluruh dunia. Penatalaksanaan paliatif berperan secara efektif dalam mengontrol gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit progresif serta keluarganya. Penatalaksanaan paliatif merupakan multidisiplin spesialisasi yang diantaranyaberperan dalam penanganan nyeri kanker Beberapa studi menunjukkan peningkatan survival pasien kanker dengan kontrol nyeri yang agresif. Nyeri pada kanker bisa karena nyeri visceral, nyeri somaatik, dan nyeri neuropatik. Berbagai modalitas digunakan untuk intervensi nyeri pada pasien kanker, misal farmakologi, epidural maupun tindakan intervensi yang lain.