Ratna Anggraeni
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala, dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Gambaran Psikososial pada Pasien Multidrug Resistant Tuberculosis dengan Gangguan Dengar Sensorineural di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Syarifah, Hayati; Amelia, Indah; Anggraeni, Ratna
Jurnal Sistem Kesehatan Vol 3, No 4 (2018): Volume 3 Nomor 4 Juni 2018
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.376 KB) | DOI: 10.24198/jsk.v3i4.18494

Abstract

Pasien Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB) diterapi dengan obat anti tuberkulosis lini kedua, seperti kanamisin. Kanamisin  bersifat ototoksik, yang menyebabkan pasien berisiko mengalami gangguan dengar sensorineural (SNHL). Gangguan dengar ini dapat memberikan efek terhadap psikososisal seseorang yang menyebabkan keterbatasan dalam mejalankan kehidupan sehari-hari (handicap).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psikososial pada pasien MDR TB dengan gangguan dengar sensorineural di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Metode penelitian ini berupa deskriptif kuantitatif yang dilakukan dari September - Desember 2016. Penelitian dilakukan pada pasien yang berobat di Poli MDR TB RSHS yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek penelitian di wawancara melalui telepon dengan menggunakan kuesioner Hearing Handicap Inventory for Adults (HHIA). Jumlah subjek pada penelitian ini sebanyak 26 responden. Hasil penelitian ini  menunjukkan sebagian besar skor HHIA terhitung rendah, meskipun dengan rentang nilai yang cukup besar (0-48). Sebagian besar responden memiliki SNHL derajat ringan di telinga kiri-kanan (SNHL ringan-ringan).  Responden dengan SNHL ringan-ringan atau ringan-sedang tidak merasakan handicap. Responden dengan SNHL derajat ringan-berat dan sedang-sedang mengalami mild-moderate handicap. Responden dengan SNHL derajat berat-berat mengalami significant handicap. Kesimpulannya, keadaan psikososial pada pasien MDR TB dengan SNHL tergantung dari derajat SNHL yang diderita.Kata Kunci: handicap, MDR TB, psikososial, SNHL
Efektivitas Terapi Kortikosteroid Intranasal pada Hipertrofi Adenoid Usia Dewasa berdasarkan Pemeriksaan Narrow Band Imaging Ratunanda, Sinta Sari; Satriyo, Jipie Iman; Samiadi, Dindy; Madiadipoera, Teti; Anggraeni, Ratna
Majalah Kedokteran Bandung Vol 48, No 4 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.465 KB) | DOI: 10.15395/mkb.v48n4.914

Abstract

Hipertrofi adenoid merupakan proses perubahan ukuran adenoid yang membesar, merupakan penyebab utama hidung tersumbat. Hipertrofi adenoid dapat terjadi karena proses yang fisiologis, akibat inflamasi, atau suatu keganasan. Proses inflamasi adenoid dapat dinilai menggunakan nasoendoskopi serat lentur dengan pencahayaan narrow band imaging (NBI). Kortikosteroid intranasal menjadi pilihan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan hipertrofi adenoid pada anak, namun belum banyak diteliti penggunaannya pada hipertrofi adenoid usia dewasa. Tujuan penelitian ini menilai efektivitas terapi kortikosteroid intranasal untuk mengurangi ukuran adenoid dewasa berdasarkan pemeriksaan NBI. Penelitian dimulai bulan November 2012–Januari 2013 di poliklinik Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin (THT-KL RSHS) Bandung dengan metode kuasieksperimental open labeled pre and posttest design. Pemilihan sampel berdasarkan urutan kedatangan, ditentukan 11 subjek penelitian. Penegakan diagnosis pada subjek penelitian berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis THT, pemeriksaan nasoendoskopi serat lentur dilengkapi dengan NBI, dan dilakukan biopsi mukosa adenoid. Subjek penelitian diberikan terapi kortikosteroid intranasal selama empat minggu, kemudian dilakukan evaluasi ulang pemeriksaan NBI dan biopsi. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon, hasilnya didapatkan perbaikan nilai derajat inflamasi adenoid secara signifikan pascaterapi kortikosteroid intranasal (p<0,05). Uji McNemar didapatkan hasil signifikan untuk penurunan ukuran adenoid (p<0,05). Uji rank Spearman untuk menganalisis hubungan gambaran histopatologi dengan penilaian NBI pra dan pascaterapi, hasilnya didapatkan korelasi bermakna (p<0,05). Simpulan, kortikosteroid intranasal efektif diberikan pada inflamasi penyebab hipertrofi adenoid usia dewasa berdasarkan pemeriksaan NBI. [MKB. 2016;48(4):228–33]Kata kunci: Hipertrofi adenoid, kortikosteroid intranasal, narrow band imagingEffectiveness of Intranasal Corticosteroids Treatment on Adult Adenoid Hypertrophy based on Narrow Band Imaging ExaminationAbstractAdenoid hypertrophy is a process in which adenoid size becomes enlarged and causes clinical symptoms, especially nasal obstruction. Adenoid hypertrophy can be due to physiological, inflammatory, or malignancy processes. Adenoid inflammatory process can be assessed using a flexible fiberoptic nasoendoscopy with narrow band imaging (NBI). Intranasal corticosteroid is one of the choices to treat adenoid hypertrophy in children; however, more experiments are needed to use it in adults. This study was performed in the period of November 2012 to January 2013 at the outpatient clinic of the Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Department of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, using pre- and post-test open-labeled quasiexperimental design. Sample was selected through consecutive sampling, involving 11 subjects. Diagnosis was based on research subject’s anamnesis, ear nose and throat (ENT) physical examination, NBI-equipped fiberoptic nasoendocopy examination, and adenoid mucosal biopsy. Subjects were given intranasal corticosteroid therapy for four weeks. NBI-equipped fiberoptic nasoendocopy examination and biopsy examination were performed after therapy. Data were analyzed using Wilcoxon test, showing significant improvement of the adenoid inflammation after intranasal corticosteroids therapy (p<0.05). McNemar test results showed a significant reduction in adenoid size (p<0.05). Spearman rank test showed a significant correlation between histopathologic findings and NBI examination result (p<0.05). In conclusion, intranasal corticosteroids are effective for adult adenoid hypertrophy treatment based on NBI examination. [MKB. 2016;48(4):228–33]Key words: Adenoid hypertrophy, intranasal corticosteroids, narrow band imaging
Efektivitas Pemberian Antibiotik Disertai Lansoprazol pada Refluks Laringofaring dengan Infeksi Helicobacter pylori Nurrokhmawati, Yanti; Madiadipoera, Teti; Anggraeni, Ratna; Sarbini, Tonny Basriyadi
Majalah Kedokteran Bandung Vol 44, No 4 (2012)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (722.696 KB)

Abstract

Refluks laringofaring adalah aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring dan dapat dipengaruhi oleh infeksi Helicobacter pylori. Regimen terapi untuk infeksi H. pylori terdiri atas proton pump inhibitor (PPI) dan dua jenis antibiotik yaitu amoksisilin dan klaritromisin. Peran PPI pada regimen ini masih diteliti. Dilakukan penelitian mengenai perbandingan efektivitas terapi antibiotik disertai PPI (lansoprazol) terhadap perbaikan gejala klinis dan kualitas hidup penderita refluks laringofaring dengan infeksi H. pylori. Penelitian ini dilakukan di Departemen THT-KL RS Dr. Hasan Sadikin Bandung periode September 2009-Desember 2010 merupakan randomized clinical trial dengan pengamatan open label.Data dianalisis dengan menggunakan uji t dan uji Mann Whitney. Penelitian ini melibatkan 26 subjek penelitian yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan regimen terapi H. pylori, berupa klaritromisin dan amoksisilin dengan lansoprazol dan kelompok kedua diberikan klaritromisin dan amoksisilin tanpa lansoprazol. Dilakukan pemeriksaan skor gejala refluks (SGR), skor temuan refluks (STR), dan penilaian kualitas hidup dengan kuesioner reflux qual short-form (RQS). Evaluasi dilakukan setelah 2 minggu. Didapatkan perbedaan bermakna (p=0,034) skor SGR pascaterapi pada kelompok perlakuan antibiotik kombinasi dengan lansoprazol. Tidak didapatkan perbedaan bermakna (p=0,169) pada perbaikan STR pascaterapi. Perbaikan skor RQS lebih baik pada kelompok perlakuan pertama dibandingkan dengan kelompok kedua (p=0,018). Disimpulkan bahwa pemberian campuran antibiotik kombinasi dan lansoprazol lebih efektif terhadap perbaikan gejala klinis dan kualitas hidup dibandingkan dengan tanpa lansoprazol. [MKB. 2012;44(4):224–32].Kata kunci: Helicobacter pylori, kualitas hidup, lansoprazol, refluks laringofaringThe Effectiveness of Antibiotics with Lansoprazole in the Treatment of Laryngopharyngeal Reflux with Helicobacter pylori InfectionAbstractLaryngopharyngeal Reflux (LPR) is a reflux of gastric content to the laryngopharyngeal and influenced by Helicobacter pylori infection. The treatment of H. pylori infection consists of proton pump inhibitor and two kinds of antibiotics, i.e. amoxicillin and clarithromycin. The role of PPI is currently being studied. The objectives of the research were to compare the effectiveness of antibiotics regimen with and without lansoprazole in reducing the level of the severity and quality of life improvement in LPR patients with H. pylori infection. Twenty six subjects were divided into two groups; the first group received antibiotics with lansoprazole and the second group received antibiotics without lansoprazole. The research subjects were assessed using reflux symptom index (RSI) questionnaire and reflux finding score (RFS) while the assessment on the quality of life was performed using reflux qual short-form (RQS) questionnaire. These data were obtained at baseline and after 2 weeks of treatment. The method was randomized clinical trial with open label observation and the analysis was conducted using t and Mann Whitney tests. There was a significant improvement in the RSI post treatment in the first group (p=0.034). The difference in RFS was not significantly different statistically between both groups (p=0.169). The RQS was significantly better statistically in the first group (p=0.018). It is concluded that treatment regimen with claritromicin, amoxycillin and lansoprazole is more effective in the treatment of LPR associated with H. pylori infection compared to without lansoprazole. [MKB. 2012;44(4):224–32].Key words: Helicobacter pylori, laryngopharyngeal reflux, lansoprazole, quality of life DOI: http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v44n4.215
GAMBARAN AUDIOGRAM PADA PASIEN TB-MDR DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG: AUDIOGRAM PROFILE OF MDR-TB PATIENTS IN HASAN SADIKIN GENERAL HOSPITAL BANDUNG Hilman, Anton; wijana, Wijana; Anggraeni, Ratna
Medica Hospitalia : Journal of Clinical Medicine Vol. 8 No. 3 (2021): Med Hosp
Publisher : RSUP Dr. Kariadi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (283.571 KB) | DOI: 10.36408/mhjcm.v8i3.613

Abstract

BACKGROUND: Multidrug-resistant tuberculosis (MDR TB) is a disease condition of TB that resistant to isoniazid and rifampin, with or without resistance to other anti-tuberculosis drugs. An important problem arising from MDR TB therapy is the ototoxicity associated with use of aminoglycosides. Monitoring of hearing function is important to evaluate ototoxic effects. OBJECTIVE: This study was conducted to determine the audiogram profile in MDR-TB patients who received kanamycin therapy in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung METHODS: A retrospective descriptive study with a cross sectional design was conducted on MDR TB patients at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung (RSHS) Bandung. The inclusion criteria of this study is all medical records of MDR TB patients at the MDR TB polyclinic RSHS Bandung in the period January 1 - December 31 2018. Exclusions criteria were a history of tympanic membrane perforation, congenital ear abnormalities, hearing loss before therapy, and incomplete medical record data. RESULTS: There were 97 patients in the study sample. MDR TB mostly affects the 18–34 year age group. At the end of the first month of therapy, audiogram changes were found in 9.3% of patients and in the fourth month, 22.7% of patients have sensorineural hearing loss with varying degrees. CONCLUSION: Changes in the audiogram profile have occurred at the end of the first month of MDR TB therapy which is characterized by sensorineural hearing loss.
Relationship between stunting and clinical ear, nose and throat disorders Wibowo, Aryo Mandraguna; Dermawan, Arif; Anggraeni, Ratna
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol. 52 No. 1 (2022): VOLUME 52, NO. 1 JANUARY - JUNE 2022
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v52i1.486

Abstract

ABSTRACTBackground: Stunting is an impediment marker for child welfare. Based on the United Nations Nutrition report, in 2018, as many as 50.5 million children worldwide under the age of 5 years were wasting and 150.8 million were stunting. Stunting is associated with morbidity, mortality, stunted-child- development, decreased learning capacity, increased risk of infection, and decreased productivity. Until now, stunting is still a problem in many countries, including Indonesia which calls for serious solution. Stunting is associated with deficiencies of micronutrients such as vitamins A, D, zinc and iron resulting in impaired physical development and decreased immune system. In the field of ORL-HNS, stunting in toddlers could cause various disorders such as impaired hearing development, otitis media, rhinitis, and tonsillitis. Purpose: To describe the relationship between stunting and clinical abnormalities occurrence in the ORL-HNS, to increase awareness of stunting prevention and the related ORL-HNS disorders, and to be a reference for further research of ORL-HNS disorders in stunting patients. Literature review: Stunting or failure to thrive is a condition that describes a chronic undernutrition status during a child’s growth and development since the beginning of life, which is represented by a z-score of height for age less than minus two standard deviations based on the WHO growth standard curve. Conclusion: Stunting is a condition caused by an unbalanced nutritional intake during the golden period, not by growth hormone abnormalities, nor by certain diseases. Micronutrient deficiency could have a role in the occurrence of several clinical abnormalities of ORL-HNS in stunting children.ABSTRAKLatar belakang: Stunting merupakan penanda untuk kesejahteraan anak. Berdasarkan laporan United Nations Nutrition pada tahun 2018 sebanyak 50,5 juta anak di seluruh dunia yang berusia di bawah 5 tahun mengalami wasting dan sebanyak 150,8 juta mengalami stunting. Stunting berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, terhambatnya perkembangan anak, penurunan kapasitas belajar, peningkatan risiko infeksi, dan penurunan produktivitas. Hingga saat ini, stunting masih menjadi salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan di banyak negara, termasuk di Indonesia. Stunting berhubungan dengan defisiensi mikronutrien seperti vitamin A, D, zink dan zat besi yang berakibat terganggunya perkembangan fisik dan penurunan sistem imunitas. Di bidang THT-KL, stunting pada balita diduga dapat menimbulkan berbagai kelainan seperti gangguan perkembangan pendengaran, otitis media, rinitis, dan tonsilitis. Tujuan: Untuk menggambarkan adanya hubungan stunting dengan terjadinya kelainan klinis di bidang THT–KL, meningkatkan kewaspadaan untuk mencegah stunting dan    kelainan THT-KL yang berhubungan dengan stunting, serta dapat menjadi rujukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi gangguan THT-KL pada pasien dengan stunting. Tinjauan pustaka: Stunting atau gagal tumbuh adalah suatu kondisi yang menggambarkan status gizi kurang yang memiliki sifat kronis pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak sejak awal masa kehidupan yang dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur kurang dari minus dua standar deviasi berdasarkan kurva standar pertumbuhan WHO. Kesimpulan: Stunting merupakan kondisi yang disebabkan oleh kurang seimbangnya asupan gizi pada masa periode emas, bukan disebabkan oleh kelainan hormon  pertumbuhan maupun akibat dari penyakit tertentu. Hasil dari beberapa penelitian mengungkapkan bahwa defisiensi mikronutrien dapat berperan terhadap terjadinya beberapa kelainan klinis THT–KL pada anak dengan stunting.
Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Cortisol Serum Pada Induksi Etomidat Anggraeni, Ratna; Satoto, Hariyo; Nurcahyo, Widya Istanto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 1 (2011): JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i1.6451

Abstract

Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200 mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30 subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi 244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan 2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.