Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search
Journal : Forum Penelitian Agro Ekonomi

Aksi Unjuk Rasa (dan Radikalisme) serta Penanganannya dalam Alam ”Demokrasi” di Indonesia Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 26, No 2 (2008): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v26n2.2008.132-143

Abstract

EnglishCurrently, almost every single ‘conflict’ in the society is followed by demonstration. It seems that the demonstration is a popular trend after the New Order era and more specifically such fenomenon has been reflected in the modern democracy life of the society.  Understanding about democracy is heavily depending on the eliteness maturity of someone (politic, economy, and government)  In the present ‘transitional situation’ and the absence of the ideal socio-culture-politic level, understanding about democracy will invite pros and cons among the concerned people. To express disagreement on certain public policies through demonstration could be accepted because it is in lione with “democracy”.  However, such protest along with anarchy actions and radicalism should create undesirable situation.affecting the public.  Traditionally, protest (by the people) which is responded wisely (by the government) has been long time exist within the old society (such as Java’s kingdom in the past, 16-19 century), long before the “westernization” of Indonesian community.  Coping with demonstration is no less than good attitude responses, and far from enemy impression.  Good communication and compromise based on respectful between the two sides will open an elegant solution and parallel with the constitution objectives.   IndonesianDewasa ini hampir setiap terjadi “perselisihan” di masyarakat diikuti dengan aksi unjuk rasa dari pihak yang merasa dikalahkan. Aksi unjuk rasa setelah tumbangnya Orde Baru seakan-akan telah menjadi hal yang trendy dan dinilai sebagai cerminan kehidupan peradaban masyarakat modern yang demokratis. Pemaknaan terhadap istilah demokrasi sangat tergantung pada kematangan elit (politik, ekonomi dan pemerintah) dalam memahami demokrasi. Dalam situasi “transisional” dan belum ditemukannya bentuk ideal tatanan sosio-budaya-politik sesuai amanat konstitusi pemaknaan terhadap istilah demokrasi akan mengundang pro dan kontra. Sebagai bagian dari ekpresi tidak setuju dan protes terhadap kebijakan publik, di satu sisi aksi unjuk rasa merupakan hal yang dapat diterima dan sejalan dengan tuntutan “demokrasi”; namun di sisi lain tidak jarang aksi ini diikuti dengan tindakan anarkhis dan radikalisme yang menimbulkan suasana mencekam di ruang publik. Aksi unjuk rasa secara santun (oleh rakyat) dan disikapi secara arif (oleh penguasa) telah dikenal dalam tatanan masyarakat tradisi (misalnya dalam masyarakat kerajaan di Jawa pada abad 16-19), jauh sebelum peradaban demokrasi barat (“westernisasi”) merasuki kehidupan masyarakat Indonesia. Penanganan aksi unjuk rasa yang baik adalah dengan dilandaskan pada sikap yang jauh dari saling bermusuhan, antara pengunjuk rasa dan sasaran atau yang menangani pengunjuk rasa. Melalui musyawarah yang dilandaskan pada sikap saling menghormati akan membuka jalan penyelesaian yang elegan (dan sejalan dengan tujuan konstitusi) terhadap aksi unjuk rasa.
Partisipasi petani dalam program pengembangan teknologi tanaman pangan Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 3, No 1 (1984): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v3n1.1984.28-35

Abstract

IndonesianPembinaan petani dalam proses alih teknologi tanaman pangan adalah upaya untuk merangsang tumbuhnya partisipasi petani. Desa yang memperoleh pembinaan dengan dukungan dana bantuan yang "besar" diduga memiliki tingkat partisipasi petani yang lebih tinggi. Observasi lapangan membenarkan dugaan ini, yakni bahwa petani di desa yang memperoleh pembinaan intensif memperlihatkan tingkat partisipasi yang relatif tinggi dibanding dengan desa yang lain. Perbedaan partisipasi yang menyolok terutama dalam kegiatan pola tanam, khususnya dalam alokasi penggunaan tenaga kerja. Tapi rupanya partisipasi petani di bidang perencanaan cenderung tidak terbina dengan baik. Kemungkinan hal ini karena pembinaan kurang memperhatikan unsur "personal". Pembinaan personal dengan memperhatikan aspek-aspek kelembagaan di tingkat petani seyogyanya lebih diperhatikan di masa datang.
Pengelolaan Serangga dan Pertanian Organik Berkelanjutan di Pedesaan : Menuju Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga di Abad 21 Tri Pranadji; Saptana Saptana
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 23, No 1 (2005): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v23n1.2005.38-47

Abstract

EnglishFirst Phase Agricultural Revolution was characterized by environmentally-friendly settled farming with its weakness of low productivity. Food crisis hampering Asian countries (1950-1960' s) raised spontaneous responses. Measures to overcome food crisis began with Central Rice Program also called as green revolution in Indonesia or Second Phase Agricultural Revolution. Until 1979, pests control was mainly approached using mass killing chemicals imported from abroad. Negative impact of chemical application was rise of new biotypes of pests such as rice plant hoppers’ attack. Progress in chemical innovation was left behind compared with new biotypes of pests Agricultural practices are managed toward monoculture pattern or  single variety to some extent. Based on those problems, it is necessary to manage agricultural system and pests control using a new approach called as Ecological Based Pest Management (EBPM). This approach will be more effective if it is applied along with Third Phase Agricultural Revolution, namely highly competitive organic farming development.IndonesianRevolusi pertanian gelombang pertama yang dicirikan oleh sistem pertanian menetap namun masih bersahabat dengan alam, memiliki titik lemah karena pencapaian produktivitas yang masih rendah. Terjadinya krisis pangan yang melanda negara-negara Asia (1950-1960-an) telah menimbulkan respon yang kurang terencana dan bersifat spontan. Upaya mengatasi krisis pangan dilakukan dengan Program Padi Sentra, yang merupakan awal revolusi hijau (green revolution) di Indonesia atau disebut Revolusi Pertanian Gelombang Kedua. Pada periode hingga 1979 pengelolaan pertanian khususnya hama serangga didekati dengan obat-obatan kimia pembunuh masal, yang merupakan produk impor dari luar. Dampak negatif yang sangat dirasakan adalah munculnya hama biotipe baru dari famili serangga, seperti kasus serangan wereng. Sampai-sampai kecepatan inovasi bahan kimia pembunuh serangga tidak mampu mengimbangi perkembangan biotipe baru serangga tersebut. Sistem pertanian digiring ke arah pola monokultur dan bahkan monovarietas. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan pengelolaan sistem pertanian dan pengelolaan serangga dengan pendekatan baru, yaitu dengan pendekatan EBPM (Ecologycal Based Pest Management). Pendekatan ini akan lebih efektif jika dikaitkan dengan dijalankannya Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga yang visinya adalah pembangunan pertanian organik yang berdaya saing tinggi. Dukungan kebijakan politik pemerintah yang baik, dan kepemimpinan negara yang kuat untuk menjalankan Revolusi Pertanian Gelombang Ketiga secara terarah dan efektif sangatlah dibutuhkan.
Pemberdayaan Lahan Kering untuk Pengembangan Agribisnis Berkelanjutan Bambang Irawan; Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 20, No 2 (2002): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v20n2.2002.60-76

Abstract

EnglishUtilization of dry land for farming activities in Indonesia is presently less optimal compared with its availability. In order to overcome the "big puzzle" of multidimensional crisis which is induced by monetary crisis in mid of 1997, more attention of the Indonesian government on dry land farming represents a key factor. The implementation of appropriate strategy in developing agribusiness in the dry land region is very important to overcome both the short term economic problem induced by the crisis, and the long term national development problem through its external benefit in reducing environment problem and natural resources degradation. In this relation, efforts required are : (1) Infrastructures development particularly in outer island of Java where most of dry land were located, (2) Arrangement of dry land use on the basis of river basin area in such away to ensure good performance of water circulation system. In this relation, development of appropriate commodities to the land use planned and land distribution forms an important strategy, (3) Policy makers especially in "Ekuin Circle" should put more attention to the development of local resources economic base. To ensure sustainable economic development the government should allocate more investment in the dry land area. IndonesianPemanfaatan lahan kering di Indonesia hingga dewasa ini  masih jauh dari optimal. Untuk menjawab "teka-teki besar" krisis multi dimensi, yang berawal dari krisis ekonomi 1997, dan memperkecil peluang terjadinya pengulangan krisis di kemudian hari, masyarakat Indonesia perlu melihat lahan kering sebagai salah satu kunci pembukanya. Pemberdayaan lahan kering  untuk pengembangan agribisnis bukan saja akan dapat membantu mengatasi stagnasi dan krisi ekonomi dalam jangka pendek, tetapi  dalam jangka panjang akan memberikan manfaat eksternal yang relatif besar di bidang penyehatan ekosistem, pemeliharaan sumberdaya alam dan pengembangan perspektif kegiatan ekonomi berwawasan kebangsaan secara lebih luas. Dalam kaitan itu tersebut beberapa upaya yang diperlukan dalam rangka pemberdayaan lahan kering yaitu: (1) Pembangunan infrastruktur ekonomi di luar Jawa di mana lahan kering terhampar luas, (2) Penataan pola pemanfaatan lahan kering terhampar relatif luas, (2) penataan pola pemanfaatan lahan kering dengan pendekatan wilayah DAS sedemikian rupa sehingga sistem lingkungan dan sirkulasi air berlangsung secara baik. Dalam kaitan ini, pengembangan komoditas pertanian yang sesuai dengan tat guna lahan dan distribusi penguasaan lahan merupakan langkah penting, (3) Perancang kebijakan pembangunan di kalangan ekuin harus lebih memperhatikan pembangunan sektor ekonomi yang berlandaskan pada kekuatan sendiri. Untuk menjamin pembangunan ekonomi secara berkelanjutan maka pemerintah perlu lebih mengarahkan investasinya ke wilayah lahan kering.
Kendala Penyerapan Peralatan Pertanian Mekanis di Jawa Timur Tri Pranadji; Rini Budianti
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 6, No 1 (1988): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v6n1.1988.36-43

Abstract

IndonesianPenerapan teknologi peralatan pertanian mekanis merupakan satu tahapan menuju industrialisasi pertanian yang bertujuan memperbesar nilai tambah untuk diarahkan pada peningkatan kesejahteraan petani. Penelitian ini mencoba mempelajari kendala penyerapan peralatan mekanis, khususnya traktor tangan untuk pengolahan tanah dan thresher dalam kegiatan panen. Dengan mengambil kasus di Jawa Timur diperoleh beberapa gambaran, antara lain: walaupun secara berangsur-angsur teknologi traktor bisa diterima petani, namun masalah kurang adanya modifikasi teknis dan kurang didukung oleh sarana perbengkelan lokal. Sistem pemasaran, yang semula disalurkan melalui program-program bantuan, dan kurangnya penguasaan pengetahuan mengenai hal ini oleh PPL juga menjadi penyebab kurang lancarnya penerimaan teknologi ini di tingkat petani. Kendala untuk thresher, terutama amsih berkembangnya teknologi-teknologi yang relatif lebih sederhana di kalangan petani penderep. Disamping itu keputusan penggunaan jenis teknologi perontokan padi ini lebih banyak ditentukan oleh buruh penderep, bawon.
Dinamika pertambahan penduduk dan pola produksi pertanian: Tinjauan atas beberapa kasus pola pertanian padi sawah di Indonesia Tri Pranadji; Andin H. Taryoto
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 9, No 2-1 (1992): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v9n2-1.1992.57-66

Abstract

IndonesianPemahaman tentang dinamika perubahan pada pola produksi pertanian pangan sebagai akibat dari adanya pertambahan penduduk masih dirasa perlu untuk dikaji lebih lanjut. Tulisan ini mencoba mengetengahkan analisis deskriptip terhadap beberapa faktor yang menunjukkan keterkaitan antara pertambahan penduduk dengan perubahan pola pertanian tanaman pangan. Dengan fokus perhatian pada pertanaman padi sawah di Indonesia, diperoleh beberapa pemahaman sebagai berikut: (1) perkembangan pola produksi pertanian tanaman pangan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pemikiran subsistensi dari pelaku-pelaku pola pertanian tanaman pangan tersebut; (2) "revolusi" pola produksi padi sawah bukan hanya mengakibatkan terjadinya perubahan pola produksi, tetapi juga mengakibatkan adanya pengurangan ragam pola konsumsi pangan; (3) terdapat kecenderungan beragamnya respons perubahan pola produksi pertanian petani terhadap pertambahan jumlah penduduk; (4) dalam kaintannya dengan stabilitas politik nasional, bayangan krisis lahan pertanian sebaiknya diantisipasi dengan program penataan penguaasan lahan yang lebih terarah; (5) perubahan pola produksi pertanian perlu diikuti dengan integrasi pola pengorganisasian petani yang mempunyai akar sosial budaya pedesaan dimana petani itu berada; dan (6) faktor preferensi individu, moral ekonomi atau institusi masyarakay pedesaan perlu untuk selalu dipertimbangkan baik adlam program swasembada pangan maupun program yang mengacu pada perwujudan pemerataan pendapatan di kalangan masyarakat pedesaan.
Gagasan Pembangunan Berbasis Kualitas Penduduk dan Tata Nilai Sosio-Budaya Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 25, No 2 (2007): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v25n2.2007.136-150

Abstract

EnglishIndonesia is one of the populous countries in the world, but lack in quality approach compared to other countries.  The straight forward indicators used to find this quality are the figures of absolute poverty, corruption level, and weakness of people’s socio-cultural capital.  Population quality should be viewed comprehensively which include physical number, economic, social, politic, and environment.  This approach should be well applied to formulate development planning for population quality, particularly consideration about socio-cultural values inherent in the community.  The socio-cultural value dimension will strongly determine the progress of the development and the level of the people’s progress in either small or big communities.  A more complete and stronger value element, specifically for composite value component, will determine the level of people’s quality, especially when someone looks at its self-support, justice, solidarity, and sustainability dimensions and generation by generation. IndonesianIndonesia memiliki jumlah penduduk yang besar di dunia, namun kemajuan di bidang kependudukan masih rendah dibanding dengan negara-negara lain. Indikator yang mudah terlihat adalah pada angka kemiskinan absolut, peringkat korupsi, serta modal sosial dan budaya yang masih lemah. Kualitas penduduk harus dilihat secara komprehensif yaitu dari sisi kuantitas fisik, ekonomi, sosial, politik dan lingkungan. Pendekatan ini harus dilakukan untuk dapat menyusun perencanaan pengembangan kualitas penduduk, terutama pertimbangan terhadap tata nilai sosial budaya yang dimiliki masyarakat. Dimensi tata-nilai sosio budaya sangat menentukan kecepatan kemajuan dan tingkat kemajuan penduduk di suatu komunitas kecil maupun besar. Dengan elemen tata nilai yang lebih lengkap dan kuat, terutama pada komponen tata nilai komposit, akan menentukan tingkat kemajuan penduduk terutama dilihat dari dimensi kemandirian, keadilan, solidaritas, dan keberlanjutan secara generasional.
Dimensi perdagangan kelapa dan kopra rakyat di Sulawesi Utara Budiman Hutabarat; Tri Pranadji; Aladin Nasution
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 11, No 2 (1993): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v11n2.1993.24-36

Abstract

IndonesianPengembangan produksi kelapa di Sulawesi Utara sangat terkait dengan perilaku pasar hasil antara atau hasil akhirnya dan keadaan industri yang mengolahnya. Fenomena-fenomena ini tidak sepenuhnya terjadi di Sulawesi Utara saja, tetapi dapat berada di wilayah lain atau di luar negeri melalui jalur perdagangan. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan keragaan perdagangan kelapa rakyat dan menyelidiki bentuk dan perilaku pasarnya, dengan melakukan pengamatan pada bulan Agustus - Oktober 1989. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini antara lain adalah : i) petani kelapa berada pada kedudukan yang paling lemah dalam sistem perdagangan kelapa; ii) persaingan diantara pedagang atau pengolah sebetulnya ada, tetapi tidak efektif karena mahalnya biaya angkutan per satuan volume, dan malahan menyebabkan persaingan yang tidak sehat, sehingga sistem pemasaran agak didominasi oleh bermodal kuat; dan akhirnya iii) industri pengolah hasil kelapa juga merupakan pedagang yang mengantar-pulaukan atau mengekspornya.
Penajaman Analisis Kelembagaan Dalam Perspektif Penelitian Sosiologi Pertanian dan Pedesaan Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 21, No 1 (2003): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v21n1.2003.12-25

Abstract

EnglishOpinion of the experts in institutional and sociological fields are very important in agriculture and rural development policy settings. This paper describes conceptual framework of institution with respect to perspectives of agricultural and rural sociology research. Some aspects to institutional research to know further to accelerate agriculture and rural development are: firstly, institutional aspect is crucial in directing and accelerating planned social change especially in the agrarian rural community. Secondly, aspects of technology development and adoption, economic, social, law and political development, public infrastructure, agroecosystem and natural resources management are essential indicators to take into account. Thirdly, human resource competence, progressive value system, leadership, social structure and organization, social management, law and governance are institutional elements to assess more intensely.IndonesianPerumusan kebijakan pembangunan pertanian dan pedesaan sangat memerlukan masukan dari para analis kelembagaan atau sosiologis. Tulisan ini menyajikan kerangka penganalisaan kelembagan dalam perspektif penelitian sosiologi pertanian dan pedesaan. Berbagai aspek yang perlu dipahami dalam penelitian kelembagaan untuk mempercepat dan mempertajam pembangunan pertanian dan pedesaan adalah: pertama, aspek kelembagaan sangat berperan penting dalam mengarahkan dan mempercepat perubahan sosial yang direncanakan (social planned change), terutama pada masyarakat pedesaan yang masih sarat dengan peradaban agraris (agrarian stage). Kedua, aspek perkembangan dan adopsi teknologi, perkembangan ekonomi, sosial, hukum dan politik, pengelolaan infrastruktur publik, dan pengelolaan agroekosistem dan sumberdaya alam merupakan indikator yang harus dipertimbangkan secara serius dalam perubahan sosial yang direncanakan atau pembangunan pertanian dan pedesaan. Ketiga, komponen kelembagaan yang penting dikaji serius adalah kompetensi sumberdaya manusia, tata nilai maju, kepemimpinan, struktur dan organisasi sosial, manajemen sosial, dan hukum dan pemerintahan.
Kajian ekologi kebudayaan terhadap sektor informal di perkotaan: suatu proses adaptasi ketidakseimbangan interaksi Kota-Desa akibat Industralisasi Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 10, No 2-1 (1993): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v10n2-1.1993.38-45

Abstract

IndonesianDitinjau dari segi ekologi kebudayaan, interaksi antara kota dan desa mencerminkan "integrasi" dua sistem masyarakat yang mempunyai tingkat evolusi yang berbeda. Karena perbedaan ini sangat mungkin terjadi bahwa hubungan antara kota ("industri") dan desa ("pertanian") mengandung indikasi adanya ketidakseimbangan atau kesenjangan dua sistem masyarakat yang seolah-olah secara vertikal tampak terintegrasi dengan baik. Tulisan ini mengetengahkan bahwa munculnya sektor informal di perkotaan diduga sebagai bagian proses adaptasi adanya ketidakseimbangan tersebut. Dengan menelusuri dari adanya aliran energi, bahan dan informasi secara timbal balik antara ekosistem masyarakat industri di perkotaan dan ekosistem maasyarakat pertanian di pedesaan diperoleh beberapa gambaran, pertama, indsutrialisasi yang relatif cepat di perkotaan menjadi salahsatu sebab strategis mengapa hubungan antara sistem masyarakat perkotaan dan pedesaan menjadi tidak seimbang. Adanya ketidakseimbangan ini pada gilirannya menempatkan sistem masyarakat pedesaan sebagai subordinasi masyarakat perkotaan. Kedua, akibat adanya daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang semakin menipis, segolongan masyarakat pedesaan yang ingin tetap bisa bertahan dan ingin hidup lebih baik berupaya beradaptasi hidup di lingkungan masyarakat perkotaan melalui wahana sektor informal. Ketiga, berkembangnya sektor informal di perkotaan hendaknya tidak dipandang sebagai fakta sosial yang harus diterima begitu saja, melainkan perlu kiranya dipandang juga sebagai adanya gejala kesenjangan dalam pembangunan, misalnya di bidang ekonomi, pendidikan, infrastruktur fisk dan politik. Keempat, penataan keorganisasian yang tampak masih luput dari jangkauan tujuan peningkatan  pertisipasi rakyat dan pemerataan seyogyanya menmperoleh sorotan yang lebih wajar. Kelima, untuk itulah kiranya bisa diusulkan agar pola pembangunan yang secara operasional selama ini lebih berorientasi pada pertumbuhan ("kota") menjadi lebih ke pemerintahan, misalnya melalui strategi "dorong gelombang".