Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

DAMPAK KREDIT PROGRAM KKPE DALAM PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI DI TINGKAT PETERNAK DI JAWA TENGAH Dahri Dahri; Parulian Hutagaol; Hermanto Siregar; Pantjar Simatupang
Jurnal Manajemen & Agribisnis Vol. 12 No. 2 (2015): Vol.12 No. 2, Juli 2015
Publisher : School of Business, Bogor Agricultural University (SB-IPB)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1037.981 KB) | DOI: 10.17358/jma.12.2.115

Abstract

The impact of energy and food security credits (KKPE) to the cattle farming performance at the farm level is importan tto be studied related to improving the welfare of the cattle farmers and also the achievement of self-sufficiency in food, especially meat self-sufficiency.  The number of KKPE distributed since 2007, continued to increase from year to year, but the performance of the livestock subsector is not yet fully accordance with the expectations.  Therefore, the objective of  this study is to analyze the impact of KKPE to the number of cattle owned by the farmer, employment and income of the cattle farming.  The main data used are primary data collected through interviews using a questionnaire to124 cattle farmers recipient and non recipientKKPE in Central Java and determined using purposive sampling method.  Results ofthe study usingLinear regression models of the ordinary least squares (OLS) approach indicates that KKPE provide a positive influence on the number of cattle owned by farmers, employment and income of the cattle farming where the influence of  the KKPE are all significant except for the impact on business income of cattle.  Thus, in order to encourage the improvement of the welfare of farmers and the achievement of self-sufficiency in meat, KKPE needs to be developed with the control the credit delivery system is able to provide incentives for farmers to continue to expand its cattle farming.Keywords:  Cattle farmer, impact of the KKPE, KKPE Credit program, OLSABSTRAKDampak kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) terhadap kinerja usaha sapi di tingkat peternak merupakan hal yang penting untuk dikaji terkait dengan upaya peningkatan kesejahateraan peternak dan juga pencapaian swasembada pangan, khususnya swasembada daging.  Nilai KKPE yang disalurkan sejak tahun 2007, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun kinerja subsektor peternakan belum sepenuhnya sesuai dengan harapan.  Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak KKPE terhadap jumlah sapi yang dipelihara, penyerapan tenaga kerja serta pendapatan usaha sapi peternak.  Data utama yang digunakan berupa data primer yang dikumpulkan  melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner pada 124 peternak sapi penerima dan non penerima KKPE di Jawa Tengah dimana sampel peternak tersebut ditentukan dengan menggunakan metode  purposive sampling.  Hasil studi dengan menggunakan Model Regresi Linier Sederhana  (Linear regression models of the ordinary least square (OLS) approach) menunjukkan bahwa KKPE memberikan pengaruh yang positif terhadap jumlah sapi yang dimiliki peternak, penyerapan tenaga kerja. Pengaruh tersebut semuanya signifikan, kecuali untuk dampaknya terhadap pendapatan usaha sapi.  Dengan demikian, untuk dapat mendorong peningkatan kesejahteraan peternak dan pencapaian swasembada daging, KKPE perlu terus dikembangkan dengan pengendalian pada sistem penyaluran kredit yang mampu memberikan insentif bagi peternak untuk terus mengembangkan usahanya.Kata kunci:  Kredit program KKPE, dampak KKPE,  peternak sapi, OLS
IMPACT OF TRANSPORTATION COSTS AND INFRASTRUCTURE QUALITY ON INDONESIAN IMPORTS Tanti Novianti; Yusman Syaukat; Mangara Tambunan; Pantjar Simatupang
Economic Journal of Emerging Markets Volume 5 Issue 2, 2013
Publisher : Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/ejem.vol5.iss2.art1

Abstract

AbstractThis article investigates the impact of sea and air transportation cost, as well as infrastructure quality, to Indonesia’s import. Employing a panel regression model to seek for the answer, the paper find that cost reduction for sea transportation has greater impact on the Indonesia’s import volume compared to the air transportation. This paper also finds that Indonesia’s infrastructure quality has a significant positive impact on Indonesia’s import. The quality of ports, roads, and Linear Connectivity International Shipping (LSCI) are significant factors affecting import volume by sea transportation mode. Meanwhile, import volume by air transportation is significantly affected by the quality of the roads and airports.Keyword: Transportation costs, sea and air transportation infastructure qualities, volume of importJEL classification numbers: D24, H54, F13AbstrakPaper ini menyelidiki pengaruh biaya transportasi laut dan udara dan kualitas infrastruktur erhadap impor Indonesia. Dengan menggunakan model regresi data panel, paper ini menemukan bahwa koefisien biaya transportasi untuk impor menggunakan transportasi laut lebih besar dibandingkan melalui udara. Dengan kata lain, turunnya biaya transportasi laut memiliki dampak yang lebih besar pada volume impor Indonesia dibandingkan melalui transportasi udara. Kualitas infrastruktur Indonesia memiliki dampak positif yang signifikan terhadap impor. Kualitas pelabuhan, jalan, dan Linear Connectivity International Shipping (LSCI) merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi impor Indonesia melalui moda transportasi laut. Sementara itu, volume impor melalui moda transportasi udara dipengaruhi signifikan oleh kualitas jalan dan bandara udara. Kata kunci: Biaya transportasi, kualitas infrastruktur laut dan udara, volume impor JEL classification numbers: D24, H54, F13
Dampak Alokasi Bantuan Modal dan Tenaga Kerja Keluarga terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Petani di Nusa Tenggara Timur Ferdy Adif I. Fallo; Bonar Marulitua Sinaga; Sri Hartoyo; Pantjar Simatupang
Jurnal Agro Ekonomi Vol 36, No 2 (2018): Jurnal Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/jae.v36n2.2018.113-134

Abstract

English East Nusa Tenggara is the province with the highest poverty prevalence in Indonesia. One of the government's efforts to overcome poverty in the area is the capital assistance program for farm households. This research aimed to analyze the impacts of capital support and household labor allocation on the welfare of farm households in East Nusa Tenggara. The survey for data collection was conducted from in South Central Timor and Kupang Regencies of East Nusa Tenggara Province February to July 2017 with samples of 118 farmer households. Data analysis was conducted by developing an econometric simulation model based on farm-household economic theory. The results showed that increasing capital aid allocation for livestock business decreased the welfare, but increasing investment for livestock business, allocation of capital support for nonfarm business, and allocation of family labor for nonfarm business in single case had an impact on improving the welfare of farmer's household. The best combination consisted of increasing investment for livestock business, allocation of capital support for nonfarm business, and family labor allocation for nonfarm business. Increasing the allocation of family labor for nonfarm business is an important policy because it singly or in combination had an impact on improving the welfare of farm households.IndonesianNusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan prevalensi kemiskinan tertinggi di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di daerah tersebut adalah program bantuan modal kepada rumah tangga petani. Penelitian bertujuan untuk menganalisis dampak alokasi bantuan modal dan tenaga kerja rumah tangga terhadap kesejahteraan rumah tangga petani. Survei pengumpulan data dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur pada bulan Februari hingga Juli 2017 dengan sampel sebanyak 118 rumah tangga petani. Analisis dilakukan dengan membangun model simulasi ekonometrik berbasis teori ekonomi rumah tangga petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan alokasi bantuan modal untuk usaha ternak menurunkan kesejahteraan, namun peningkatan investasi untuk usaha ternak, alokasi bantuan modal untuk usaha non pertanian, dan alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha non pertanian secara tunggal berdampak meningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani. Kombinasi terbaik ialah kombinasi peningkatan investasi untuk usaha ternak, alokasi bantuan modal untuk usaha nonpertanian, dan alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha nonpertanian. Peningkatan alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha nonpertanian merupakan kebijakan yang cukup penting karena secara tunggal maupun kombinasi berdampak meningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani.
Agricultural Development Policy Strategies for Indonesia : Enhancing the Contribution of Agriculture to Poverty Reduction and Food Security I Wayan Rusastra; nFN Sumaryanto; Pantjar Simatupang
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 23, No 2 (2005): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v23n2.2005.84-101

Abstract

IndonesianTujuan penulisan paper ini adalah mendeskripsikan status ketahanan pangan nasional, kebijakan stra-tegis terkait dalam pengentasan kemiskinan, dan kebijakan pembangunan pertanian dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani. Dalam satu dasa warsa terakhir ini, terdapat indikasi instabilitas ketahanan pangan yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan ketergantungan impor pangan. Peningkatan kinerja pembangunan pertanian dan pedesaan diyakini akan memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan aksesibilitas dan ketahanan pangan rumah tangga. Sedikitnya terdapat empat program pemerintah terkait dengan pengentasan kemiskinan, yaitu pengadaan beras bersubsidi, program padat karya, program pemberdayaan usaha mikro/ kecil/menengah, dan dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak untuk golongan miskin. Dalam rangka penguatan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, kebijakan pembangunan pertanian berikut ini perlu dipertimbangkan, yaitu : (1) Perluasan spektrum pengembangan irigasi dengan sasaran peningkatan produktivitas lahan beririgasi; (2) Pembaharuan arah kebijakan sebelumnya dalam rangka mengatasi kendala penawaran/produksi pertanian; (3) Reformulasi kebijakan proteksi harga melalui pembatasan impor, penegakan hukum, dan mengkaitkan program beras untuk  masyarakat miskin dengan program pengadaan gabah oleh pemerintah; (4) Mendorong diversifikasi pertanian dengan menjamin ketersediaan, akssessibilitas, dan perbaikan faktor pendukung pengembangan komoditas non-beras; dan (5) Ratifikasi perlakuan khusus (special product) bagi komoditas pertanian strategis, dan kembali kepada regulasi awal AoA-WTO berdasarkan pada komitmen dan Skedul XXI.EnglishThe objectives of the paper are to describe the state of national food security, related strategies for poverty eradication, and the respective policies on agricultural development for the benefit of the people. Over the last decade, the achievement of national food security depended on imports, indicating the instability of food security. The improvement of agricultural and rural development will contribute greatly to better food accessibility and a higher food security status of the population. There are at least four main government programs aimed at helping the poor, i.e. the provision of subsidized rice, public work programs, the empowerment program for micro-small-and medium enterprises, and low-income assistance funds to alleviate the burden of the poor. To strengthen food security and to eradicate the poverty, the following agricultural development policies should be taken into account, i.e.:  (1) The widening of the irrigation development spectrum with the main objective of improving irrigation productivity;  (2) To complete reversing the previous policy direction in order to eliminate agricultural supply constraint;  (3) The reformulation of price support policy implementing rice import through prohibition, strong law enforcement, and to integrate the rice program for the poor with the government procurement floor price policy;  (4) To enhance agricultural diversification through the availability, accessibility, and improvement of the supporting factors for non-rice commodities; (5) The ratification of special products for agricultural strategic commodities, in addition to return with the initial AoA-WTO regulation based on the commitment and Schedule of XXI
Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional Pantjar Simatupang
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 25, No 1 (2007): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v25n1.2007.1-18

Abstract

EnglishAn effective and efficient national food security strategy and policy can only be formulated using an appropriate paradigm. Food security paradigm evolves as food security context changes and in line with development of scientific understanding of the issue. This paper discusses evaluation of the food security paradigm and their application in designing strategy and framework of food security policy in Indonesia. It is shown that the national food sufficiency-oriented policy belongs to the food availability approach which has been empirically proven can not assure household or individual food security. The more appropriate paradigm is the food entitlement approach. Based on this paradigm, national food security strategy and policy should be designed comprehensively that includes food availability, access and utilization dimensions, and risk mitigation related to the three dimensions in an integrated macro-micro scale.IndonesianStrategi kebijakan ketahanan pangan nasional yang efektif dan efisien hanya dapat dirumuskan bila didasarkan pada paradigma yang tepat. Paradigma ketahanan pangan terus berkembang seiring dengan perubahan konteks permasalahan dan perkembangan pemahaman ilmiah. Tulisan ini menguraikan evolusi perkembangan paradigma ketahanan pangan dan penerapannya dalam perumusan strategi dan kerangka kerja kebijakan ketahanan pangan di Indonesia. Diungkapkan bahwa kebijakan yang berorientasi pada swasembada pangan termasuk ketegori paradigma pendekatan pengadaan pangan (food availability approach) yang secara empiris terbukti tidak menjamin ketahanan pangan keluarga atau individu. Paradigma yang lebih sesuai ialah pendekatan perolehan pangan (food entitlement approach). Untuk itu perlu disusun kebijakan komprehensif yang mencakup dimensi pengadaan, akses dan penggunaan pangan serta mitigasi atas risiko ketiga dimensi tersebut dalam skala makro-mikro terpadu.
Konsep Modernisasi dan Implikasinya terhadap Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tri Pranadji; Pantjar Simatupang
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 17, No 1 (1999): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v17n1.1999.1-13

Abstract

EnglishAs a respons to meet globalization challenges in the 21st century, agricultural modernization is considered as agribusiness adjustment process to the latest development of science and technology. In other words, agricultural modernization can be seen as ''cathing-up" process of less developed agriculture toward converging stage of agricultural development between countries or between regions within a country. Without being realized, "modernization" and "development" are often treated as too different concepts. Agricultural modernization is not always in-line with even sometimes inhibits agricultural development. Accordingly, agricultural modernization must be planned, managed, and controlled to make it in harmony with and hence condusive for agricultural development. This implies that agricultural modernization must be treated as an instrument of agricultural development. The agency for agricultural research and development (AARD) plays strategic roles for that purpose. Accordingly, the AARD should change its research strategy from "supply side approach" to "client oriented approach". The AARD programs should include three main activities: research intelligence, link and match, and intitutional coordination. IndonesianDipandang dari konsepsi untuk menghadapi tantangan globalisasi abad 21, modernisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi (pembaharuan) sektor agribisnis sehingga sesuai dengan tahapan perkembangan masa kini (up to date) temu dan teknologi serta lingkungan strategis. Dengan perkataan lain, modernisasi pertanian dapat dipandang sebagai proses untuk mensejajarkan tahapan pembangunan pertanian kita dengan pembangunan pertanian di negara-negara maju, yang sekaligus juga pemacuan dan pensejajaran pembungan antar wilayah provinsi, Walaupun kurang disadari secara kritis, modernisasi dan pembangunan hingga kini masih merupakan dua konsep yang berbeda. Modernisasi pertanian yang berjalan hingga dewasa ini tidak selalu seiring dengan pembangunan, dan (dalam beberapa hal) malah dapat berdampak negatif terhadap pembangunan pertanian. Oleh karena itu modernisasi pertanian tersebut haruslah direncanakan, dikelola dan dikendalikan sehingga seiring dan kondusif dengan pembangunan pertanian. Dengan perkataan lain, modernisasi pertanian harus dijadikan sebagai instrumen pembangunan pertanian. Badan Litbang Pertanian memegang peranan strategis dalam upaya menjadikan modernisasi pertanian sebagai instrumen pembangunan pertanian. Untuk mengisi peran strategis yang diembannya dalam pembangunan pertanian maka Badan Litbang Pertanian disarankan merubah strateginya dari pendekatan produksi Iptek (supply side approach) menjadi pendekatan klien (client oriented approach). Sehubungan dengan itu Badan Litbang Pertanian perlu melakukan tiga kegiatan pokok yaitu: intelegen penelitian (research intelegent), keterkaitan dan keterpaduan (link and match) dengan masyarakat agribisnis, dan forum koordinasi dengan instansi pemerintah terkait.
Konsep Pengembangan Wilayah Berbasis Agribisnis Dalam Rangka Pemberdayaan Petani Nizwar Syafa'at; Pantjar Simatupang; Sudi Mardianto; Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 21, No 1 (2003): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v21n1.2003.26-43

Abstract

EnglishAgribusiness regional development program carried out by the government does not empower farmers. This is due to limited community involvement in planning and implementation of the program. This paper is aimed at contributing policy recommendations on agribusiness regional development concepts in order to improve community involvement. One of the concepts is one village one product movement model. This model is initiated by the local community and facilitated by the government. Three principles of this model development are development of local specific commodity with international competitiveness, decisions and initiatives carried out by local community, and human resource development.IndonesianProgram pengembangan wilayah agribisnis yang dilakukan pemerintah selama ini belum sepenuhnya dapat membuat petani lebih berdaya. Salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan program pengembangan. Tulisan ini dibuat untuk memberikan sumbang saran terhadap konsep pengembangan wilayah agribisnis yang lebih melibatkan masyarakat (petani) dalam pembangunan. Salah satu bentuk operasionalisasi konsep agribisnis yang dapat dikembangkan adalah model one village one product movement. Model ini merupakan kegiatan pengembangan wilayah yang aktivitasnya diinisiasi oleh penduduk lokal dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Tiga prinsip utama pengembangan model ini adalah (1) pengembangan komoditas unggulan daerah yang mampu bersaing di pasar internasional, (2) keputusan dan inisiatif dilakukan oleh penduduk lokal, dan (3) pengembangan sumberdaya manusia.
Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional Faisal Kasryno; Pantjar Simatupang; Effendi Pasandaran; Sri Adiningsih
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 19, No 2 (2001): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v19n2.2001.1-23

Abstract

EnglishRapid rice production growth leading to the achievement of rice self sufficiency in 1984 came from productivity and harvested area which both had been growing rapidly as the results of technological break through (the Green Revolution), infrastructure development, rice field extensification and comprehensive incentive as well as facilitating policies. It was a phenomenal achievement. The rice self sufficiency was proven not sustainable, however. This review shows that since mid 1980's rice production growth has been slowing down and increasingly unstable value to innovation stagnation, over intensification syndrome, over extensification and land conversion, declining incentives and institutional fatigue. Indonesia has become rice net importer since early 1990's and even the largest world rice importer since late 1990's that undermines national food security. Revitalization of trend rice sector has become an imperative strategic national policy agenda. The paper also discusses some policy options for revitalizing the rice sector. IndonesianPesatnya pertumbuhan produksi beras yang memungkinkan Indonesia meraih swasembada beras pada tahun 1984 berasal dari pertumbuhan produktivitas dan luas panen sebagai hasil dari terobosan teknologi (Revolusi Hijau), pembangunan infrastruktur, perluasan areal, dan kebijakan insentif maupun fasiltasi yang komprehensif. Keberhasilan tersebut sungguh fenomenal. Namun demikian, swasembada berat tersebut terbukti tidak berkelanjutan. Ulasan ini menunjukkan bahwa sejak pertengahan tahun 1980'an pertumbuhan produksi beras telah mengalami perlambatan dan semakin tidak stabil pula sebagai akibat dari stagnasi inovasi, sindrome over intensifikasi, over ekstensifikasi dan konversi lahan, penurunan insentif dan kelesuan institusional. Indonesia telah menjadi importif netto beras sejak awal tahun 1990-an dan bahkan menjadi importif terbesar di dunia sejak akhir tahun 1990'an sehingga ketahanan pangan nasional semakin rawan. Revitalisasi sektor perberasan nasional merupakan salah satu agenda kebijakan strategis mendesak. Makalah ini juga membahas beberapa opsi kebijakan dalam rangka revitalisasi sektor perberasan nasional.
Industrialisasi Berbasis Pertanian sebagai Grand Stratedy Pembangunan Ekonomi Nasional Pantjar Simatupang; Nizwar Syafa'at
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 18, No 1-2 (2000): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v18n1-2.2000.1-15

Abstract

EnglishAs a developing economy Indonesia, should have a comprehensive integrated long-term development plan which may be used as the guideline in implementing its national economic development as well as an instrument for evaluating government accountability and credibility. The New Order regime had prepared its first and second long-term development plan for 1969-1993 and 1993-2018 successively. The twin plans, however, has led Indonesia to the 1997-1999 multi dimensions crises and is considered in appropriate in the existing new era of total reformation. It must be totally reconstructed. For this, public discussions on the need for the government to formulated the new grand strategy of national development have emerged, but up and down, in the last two years. As an active contribution to the public debase, this paper reviews previous, Indonesia development plans, others' countries experiences as well as grand theories of economic development. Then it is suggested that the agricultural based industrialization may be the most suitable one for Indonesia. The new grand strategy should be decided based on a national concensus in order to avoid the practice of just for political rhetoric's as was during the New Order regime. IndonesianBagi negara berkembang seperti indonesia, rencana pembangunan jangka panjang komprehensif-integratif sangat di perlukan sebagai acuan pelaksanaan pembangunan dan sebagai salah satu instrumen akuntabilitas dan kredibilitas pemerintah. Pemerintahaan Orde Baru telah menyusun rancangan pembangunan jangka panjang tahap I dan II masing-masing untuk peiode 1969-1993 dan 1993-2018. Rencana jangka panjang yang disusun rejim Orde Baru tersebut terbukti membawa Indonesia kedalam krisis tahun 1997-1999 dan sudah tidak sesuai dalam era Reformasi sehingga perlu dirancang ulang. Dalam dua tahun terakhir sesungguhnya telah muncul wacana publik yang menuntut agar pemerintah segera menyusun grand strategy ( strategi besar ) pembangunan nasional. Sebagai bagian dari wacana tersebut, tulisan ini mereview tentang konsepsi strategi pembangunan selama Orde Baru, pengalaman beberapa negara lain pemikiran teoritis tentang strategi pembangunan ekonomi. Berdasarkan hasil review tersebut, disarankan agar industrialisasi berbasis pertanian (agricultural based industrialization) dijadikan sebagai strategi besar (grand strategy) pembangunan nasional. Strategi tersebut haruslah dijadikan sebagai konsensus nasional, sehingga tidak sekedar retorika politik seperti pada masa Orde Baru.
Sistem gaduhan sapi tradisional Bali: faktor pendorong, penopang dan karakteristiknya Pantjar Simatupang; Erizal Jamal; M. H. Togatorop
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 12, No 2 (1994): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v12n2.1994.50-55

Abstract

IndonesianSistim gaduhan sapi tradisional merupakan salahsatu bentuk lembaga usaha ternak yang berkembang luas di pulau Bali. Dalam tulisan ini diuraikan bahwa sistim gaduhan sapi tradisional tersebut berkembang karena didorong oleh adanya kebutuhan ekonomi dan ditopang oleh nilai sosial yang disebut karmaphala. Masyarakat Bali berpendapat bahwa sistim gaduhan sapi tradisional tersebut lebih baik daripada pola gaduhan modern seperti PIR karena lebih adil, lebih kooperatif, personal dan transparan. Oleh karena itu lembaga ekonomi formal seperti pola usaha Bapak-Angkat kiranya direkayasakan dengan mengacu pada sistim gaduhan sapi tradisional tersebut.