Claim Missing Document
Check
Articles

Found 23 Documents
Search
Journal : Forum Penelitian Agro Ekonomi

Pengaruh luas kebun dan pendapatan usahatani kelapa dalam pengolahan pasca panen kelapa di tingkat petani Budiman Hutabarat; Tri Pranadji; Aladin Nasution
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 9, No 2-1 (1992): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v9n2-1.1992.78-85

Abstract

IndonesianPengolahan pasca panen kelapa merupakan suatu pilihan yang terbuka bagi petani. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh luas kebun, pendapatan, dan faktor lain yang mempengaruhi keputusan tersebut. Penelitian dilakukan di Lampung dan Sulawesi Utara sepanjang bulan Agustus sampai Oktober 1989 dengan melakukan wawancara kepada petani-petani kelapa. Terlihat bahwa luas kebun dan pendapatan usahatani kelapa, serta pengeluaran untuk konsumsi keluarga berpengaruh nyata terhadap keputusan pengolahan kelapa.
Konsep Modernisasi dan Implikasinya terhadap Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tri Pranadji; Pantjar Simatupang
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 17, No 1 (1999): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v17n1.1999.1-13

Abstract

EnglishAs a respons to meet globalization challenges in the 21st century, agricultural modernization is considered as agribusiness adjustment process to the latest development of science and technology. In other words, agricultural modernization can be seen as ''cathing-up" process of less developed agriculture toward converging stage of agricultural development between countries or between regions within a country. Without being realized, "modernization" and "development" are often treated as too different concepts. Agricultural modernization is not always in-line with even sometimes inhibits agricultural development. Accordingly, agricultural modernization must be planned, managed, and controlled to make it in harmony with and hence condusive for agricultural development. This implies that agricultural modernization must be treated as an instrument of agricultural development. The agency for agricultural research and development (AARD) plays strategic roles for that purpose. Accordingly, the AARD should change its research strategy from "supply side approach" to "client oriented approach". The AARD programs should include three main activities: research intelligence, link and match, and intitutional coordination. IndonesianDipandang dari konsepsi untuk menghadapi tantangan globalisasi abad 21, modernisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi (pembaharuan) sektor agribisnis sehingga sesuai dengan tahapan perkembangan masa kini (up to date) temu dan teknologi serta lingkungan strategis. Dengan perkataan lain, modernisasi pertanian dapat dipandang sebagai proses untuk mensejajarkan tahapan pembangunan pertanian kita dengan pembangunan pertanian di negara-negara maju, yang sekaligus juga pemacuan dan pensejajaran pembungan antar wilayah provinsi, Walaupun kurang disadari secara kritis, modernisasi dan pembangunan hingga kini masih merupakan dua konsep yang berbeda. Modernisasi pertanian yang berjalan hingga dewasa ini tidak selalu seiring dengan pembangunan, dan (dalam beberapa hal) malah dapat berdampak negatif terhadap pembangunan pertanian. Oleh karena itu modernisasi pertanian tersebut haruslah direncanakan, dikelola dan dikendalikan sehingga seiring dan kondusif dengan pembangunan pertanian. Dengan perkataan lain, modernisasi pertanian harus dijadikan sebagai instrumen pembangunan pertanian. Badan Litbang Pertanian memegang peranan strategis dalam upaya menjadikan modernisasi pertanian sebagai instrumen pembangunan pertanian. Untuk mengisi peran strategis yang diembannya dalam pembangunan pertanian maka Badan Litbang Pertanian disarankan merubah strateginya dari pendekatan produksi Iptek (supply side approach) menjadi pendekatan klien (client oriented approach). Sehubungan dengan itu Badan Litbang Pertanian perlu melakukan tiga kegiatan pokok yaitu: intelegen penelitian (research intelegent), keterkaitan dan keterpaduan (link and match) dengan masyarakat agribisnis, dan forum koordinasi dengan instansi pemerintah terkait.
Tanah, Pertanian dan dorongan migrasi: Kasus pada dua komunitas pertanian di dataran tinggi di kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 9, No 2-1 (1992): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v9n2-1.1992.47-56

Abstract

IndonesianWalaupun "revolusi" di bidang pertanian ("revolusi hijau") telah memperlihatkan hasilnya, dan revolusi pertanahan (UU Pokok Agraria 1960) telah dibuat, tampaknya gejala adanya dorongan penduduk desa untuk bermigrasi ke luar desanya masih kuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih mendalam dan holistik kaitan antar tanah, pertanian dan dorongan penduduk bermigrasi. Dengan mengambil kasus pada komunitas pertanian di dataran tinggi (desa Kedungpoh dan Katongan), kecamatan Nglipar, kabupaten Gunung Kidul diperoleh beberapa gambaran, Pertama, sumberdaya tanah masih menjadi faktor strategis yang menentukan dinamika perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kuatnya dorongan penduduk untuk bermigrasi ke luar desanya antara lain disebabkan oleh semakin sempitnya rata-rata penguasaan tanah pertanian. Kedua, perkembangan teknologi pertanian yang ada belum cukup memebri peluang petani memperoleh pendapatan yang wajar untuk memenuhi hidup keluarganya. Dorongan melakukan migrasi ke luar, dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya, yang dialami petani perlu dipandang sebagai gejala positif. Ketiga, keinginan golongan muda pedesaan bermigrasi ke kota tampaknya sejalan dengan keinginan orangtua yang umumnya jarang yang menghendaki anaknya tetap bekerja di pertanian. Status pekerjaan di kota, terutama pegawai (pemerintah maupun swasta), dinilai mencerminkan status sosial yang terhormat. Keempat, sejauh informasi tentang daerah tujuan dianggap meyakinkan, migrasi ke desa daerah lain (misalnya: Lampung) diminati oleh penduduk (terutama) golongan diatas usia muda. Kelima, tampaknya masalah penataan pertanahan di pedesaan tetap penting untuk diperhatikan, dan diperkirakan akan tetap menjadi penentu yang sulit diabaikan bagi dinamika perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan.
Konsep Pengembangan Wilayah Berbasis Agribisnis Dalam Rangka Pemberdayaan Petani Nizwar Syafa'at; Pantjar Simatupang; Sudi Mardianto; Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 21, No 1 (2003): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v21n1.2003.26-43

Abstract

EnglishAgribusiness regional development program carried out by the government does not empower farmers. This is due to limited community involvement in planning and implementation of the program. This paper is aimed at contributing policy recommendations on agribusiness regional development concepts in order to improve community involvement. One of the concepts is one village one product movement model. This model is initiated by the local community and facilitated by the government. Three principles of this model development are development of local specific commodity with international competitiveness, decisions and initiatives carried out by local community, and human resource development.IndonesianProgram pengembangan wilayah agribisnis yang dilakukan pemerintah selama ini belum sepenuhnya dapat membuat petani lebih berdaya. Salah satu penyebabnya adalah masih terbatasnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan program pengembangan. Tulisan ini dibuat untuk memberikan sumbang saran terhadap konsep pengembangan wilayah agribisnis yang lebih melibatkan masyarakat (petani) dalam pembangunan. Salah satu bentuk operasionalisasi konsep agribisnis yang dapat dikembangkan adalah model one village one product movement. Model ini merupakan kegiatan pengembangan wilayah yang aktivitasnya diinisiasi oleh penduduk lokal dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Tiga prinsip utama pengembangan model ini adalah (1) pengembangan komoditas unggulan daerah yang mampu bersaing di pasar internasional, (2) keputusan dan inisiatif dilakukan oleh penduduk lokal, dan (3) pengembangan sumberdaya manusia.
Strategi Pengembangan Teknologi Usahatani Konservasi untuk Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan: Tinjauan untuk Mengatasi Kegagalan Adopsi Teknologi Usahatani Konservasi di Daerah Perbukitan Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 22, No 2 (2004): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v22n2.2004.113-125

Abstract

EnglishEnvironmental degradation, especially upland area agro ecosystem, is a serious threat to both current and future generations. Failure of conservation farm management technology development in upland rural areas is the breakdown of environmental improvement. This is an incoming danger to overall people especially those in rural areas. This paper describes strategy to develop conservation farm management technology for sustainable rural development. Through agriculture industrialization strategy based on sustainable rural development, it is expected that development of conservation farm management will be successful. Strategy of the technology development needs to consider some aspects, such as producing high value-added agricultural products and environmental services, conducive to local capital resources and economic development, favorable to young rural labor, encouraging modern farm management innovation, and contributing to established agribusiness organization and institution.IndonesianKerusakan lingkungan, khususnya agroekosistem kawasan perbukitan (upland area) harus dipandang sebagai ancaman serius bagi kehidupan masa kini dan terutama bagi generasi mendatang. Gagalnya pengembangan teknologi usahatani konservasi di pedesaan lahan kering perbukitan dan dataran tinggi dapat dipandang sebagai bobolnya upaya perbaikan lingkungan dan khususnya kawasan perbukitan. Hal ini dapat dimaknai sebagai semakin mendekatnya ancaman terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan, terutama masyarakat pedesaan. Tulisan ini berupaya merumuskan strategi pengembangan teknologi usahatani konservasi untuk pembangunan pedesaan berkelanjutan. Dengan strategi industrialisasi pertanian dalam bingkai pembangunan pedesaan berkelanjutan, pengembangan teknologi usahatani konservasi diharapkan akan mencapai hasil yang lebih baik. Strategi pengembangan teknologi tersebut perlu memperhatikan berbagai aspek yaitu diarahkan untuk menghasilkan produk pertanian dan jasa lingkungan yang bernilai tambah tinggi, kondusif terhadap tenaga kerja muda pedesaan, kondusif terhadap sumberdaya kapital dan pengembangan ekonomi setempat, kondusif terhadap inovasi usahatani mutakhir, serta terbangunnya keorganisasian dan kelembagaan bisnis pertanian.
Sistem Pemasaran Udang Windu Tambak Rakyat di Jawa Timur Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 7, No 1 (1989): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v7n1.1989.13-23

Abstract

IndonesianBesarnya permintaan udang internasional membuka peluang bagi peningkatan devisa negara dan peningkatan pendapatan petani tambak udang windu. Penelitian ini mempelajari sampai sejauhmana sistem pemasaran udang windu yang ada saat ini berjalan, terutama dikaitkan dengan upaya peningkatan devisa dari ekspor udang dan sekaligus pendapatan petani tambak. Dengan mengadakan pengamatan semi terstruktur dibantu metode survai cepat (quick survey) terhadap petani tambak, pendega, pedagang udang, prosesor udang, dan eksportir udang di Jawa Timur diperoleh gambaran, bahwa:pertama, secara umum dapat dikatakan bahwa sistem pemasaran udang windu tambak rakyat berjalan cukup efisien. Kedua, peran pedagang, eksportir dan cold storage cukup mendukung kelancaran pemasaran. Ketiga, penanganan pasca panen, terutama limbah kepala udang belum cukup ditangani. Keempat, petani tambak belum sepenuhnya mampu memanfaatkan terbukanya apsaran ekspor udang. Untuk itu perlu lebih diperhatikan penajaman pelaksanaan program Intam (Intensifikasi tambak). Disamping itu, pengembangan kolektivitas petani hamparan tambak perlu dikaitkan dengan peningkatan keragaan KUD Mina.
Penguatan Kelembagaan Gotong Royong dalam Perspektif Sosio Budaya Bangsa: Suatu Upaya Revitalisasi Adat Istiadat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 27, No 1 (2009): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v27n1.2009.61-72

Abstract

EnglishGotong royong is social capital found in most of Indonesian sub-cultures. In gotong royong instituion we find social values, collective spirit, mutual collective trust, and organization aimed at common progress. Roles of gotong royong are significant in alleviating Indonesian from undeveloped economy of basic needs and foreign dominance. Gotong royong institution revitalization is necessary to involve people through deep participation in order to implement good governance. Upper aspect of gotong royong is norms. It is possible to improve social structure through gotong royong both at local and national levels. Collective, focused movement of this institution enables the government to establish self-reliance society based on social justice. Therefore it needs political will from all stakeholders both at regional and central levels. IndonesianGotong royong bukan saja merupakan kekayaan sosio-budaya, melainkan juga ”modal sosial” yang hampir secara merata dijumpai pada setiap sub-kultur masyarakat Indonesia. Dalam kelembagaan gotong royong terkandung unsur visi nilai kehidupan sosial (”ideologi”), spirit perjuangan kolektif, semangat saling menghargai (mutual collective trust), dan keorganisasian kerjasama yang kompatibel terhadap kemajuan masyarakat (bangsa). Tanpa kekuatan kelembagaan gotong royong, mustahil masyarakat Indonesia dapat melepaskan diri dari keterpurukan ekonomi kebutuhan dasar, dominasi bangsa asing, serta penjajahan politik dari bangsa lain. Revitalisasi kelembagan adat gotong royong dapat dijadikan wahana untuk meningkatkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh (deep participation) dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance). Aspek hulu dari kekuatan gotong royong adalah tata-nilai yang hidup dan berkembang pada masyarakat adat. Jika terhadap tata-nilai adat-istiadat dapat dilakukan pengembangan melalui prekayasaan sosio-politik yang terarah, maka melalui kelembagaan gotong royong dapat dibangun kompetensi SDM yang lebih baik, perubahan struktur masyarakat (ke arah yang lebih egaliter; tidak polaristik), manajemen sosial yang lebih sehat, serta kepemimpinan sosio-politik yang merepresentasikan kemajuan bersama baik dalam tingkat komunitas lokal maupun nasional. Gerakan kolektif dalam penguatan kelembagaan gotong royong secara terarah akan memudahkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan kemandirian (masyarakat) bangsa yang dilandaskan pada keadilan sosial. Berkaitan dengan itu dibutuhkan dukungan kemauan politik (”political will”) yang kuat dari kalangan elit kepemimpinan pemerintahan, partai politik, masyarakat adat, serta masyarakat bisnis di tingkat daerah dan pusat.
Diagnosa Kerapuhan Kelembagaan Perekonomian Pedesaan Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 21, No 2 (2003): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v21n2.2003.128-142

Abstract

EnglishInstitutional brittleness could be considered as the major cause of rural economy development failure, and ultimately it is reflected in national economy that have been hit economic crisis. In addition, the economic, financial and industrial designers have less understanding on how important agricultural sector in supporting national economy (agricultural development policy makers tend to follow them), and they also possess less knowledge of how important institutional roles in rural economy development. If only at the initial stage, the rural economic institutional had been firmly established and then established an agricultural endowment richness based national economy development, then not only rural communities will be free of the tempestuous economic crisis (as still takes place up to date) but also the national economy will describe the greatness of rural community’s economy transformation with a good sample of social system for many countries. Rural economy institutional fragility is indicated by ineffective leader factor empowerment (as a progress mover) in rural areas, let values and norms leading for rural economic progress undeveloped, rural economic organization and structure had been let to be flimsy, autonomy aspect had not lifted rural community’s political power in economic activities and ignored rural human resource competence factors.IndonesianKerapuhan kelembagaan bisa dipandang sebagai “biang keladi” kegagalan pengembangan perekonomian pedesaan, yang pada gilirannya hal ini tercermin pada perekonomian nasional yang tidak dapat mengelak dari krisis. Selain para perancang pembangunan di kalangan EKUIN (dan kalangan ahli dan pemegang kebijakan pembangunan pertanian) dinilai kurang paham terhadap pentingnya sektor pertanian dalam menopang perekonomian nasional, juga dinilai kurang paham tentang pentingnya peran kelembagaan dalam pengembangan perekonomian pedesaan. Jika sejak awal kelembagaan perekonomian pedesaan dibangun secara mantap dan kekayaan alam pertanian dijadikan basis pengembangan perekonomian nasional, maka bukan saja masyarakat pedesaan akan terbebas dari krisis ekonomi yang gawat (seperti yang terjadi hingga saat ini), melainkan juga perekonomian nasional kita akan dapat mengambarkan kehebatan transformasi perekonomian masyarakat pedesaan yang dihiasi tatanan sosial yang patut dicontoh masyarakat di banyak negara. Kerapuhan kelembagaan perekonomian pedesaan ditunjukkan oleh tidak efektifnya pemberdayaan faktor kepemimpinan (sebagai penggerak kemajuan) di pedesaan, tidak terbangunnya tata nilai yang menggerakkan kemajuan ekonomi (pertanian di) pedesaan, struktur dan keorganisasian ekonomi pedesaan yang dibiarkan rapuh, otonomi yang tidak mengangkat kedaulatan (politik) masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi serta dibiarkannya faktor kompetensi sumberdaya manusia pedesaan terbengkalai.
Beberapa aspek sosial ekonomi kegiatan pengeringan padi Tri Pranadji; Budiman Hutabarat
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 6, No 2 (1988): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v6n2.1988.53-60

Abstract

IndonesianPenelitian tentang pengeringan padi yang sebelumnya dilakukan kebanyakan masih bersifat teknologis atau baru pada tingkat uji laboratorium. Penelitian yang mengkaji aspek sosial ekonomi kegiatan pengeringan padi ini disajikan dalam bentuk analisis deskriptip, dengan beberapa alat bantu tabulasi silang sederhana. Dengan lokasi di daerah-daerah produsen padi, yang diwakili oleh Karawang Jawa Barat dan Jember Jawa Timur. Pertama, petani lemah dalam pengelolaan ekonomi dan pemasaran. Kedua, kegiatan pengeringan padi sebagai bagian dari unit bisnis penggilingan padi lebih banyak dikuasai oleh PPK (Pabrik Penggilingan Kecil), PBB (Pabrik Penggilngan Besar) dan KUD besar, dan nilai tambahnya tidak jatuh ke petani. Ketiga, koordinasi yang bersifat kelembagaan antara Departemen Pertanian, Perindustrian, Koperasi, dan BULOG perlu lebih diserasikan agar memberi iklim yang lebih merangsang bagi perkembangan KUD dan organisasi-organisasi yang mendukungnya. Keempat, penggunaan jenis teknologi lantai jemur untuk kegiatan pengeringan padi dalam sepuluh tahun mendatang agaknya masih sebagai alternatif teknik termurah dan memenuhi patokan pasaran umum (kota besar) dan BULOG.
Kerangka Kebijakan Sosio-Budaya Menuju Pertanian 2025 ke Arah Pertanian Pedesaan Berdaya Saing Tinggi, Berkeadilan dan Berkelanjutan Tri Pranadji
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 22, No 1 (2004): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v22n1.2004.1-21

Abstract

EnglishThe condition of rural agriculture recently facing some big problems in particular the weakness of social capital, poverty and environmental degradation which are progressively on large scale. Vision of agricultural development 2025 is sustaining rural welfare which is characterized by highly competitive, equity and sustainable. One of very important agricultural policies is how to improve rural socio-culture regarding to most of rural people good opportunity in higher level of quality of life. Therefore, agricultural development 2025 will strongly require a comprehensive framework of socio-culture policy. There are five primary elements of socio-culture which must be developed in agricultural development 2025, that are human competency (or high quality of human capital), strong local leadership, value system, health agribusiness organization (and management) at village level, and equal social structure (being based on agrarian resources domination). It is highly recommend that framework of socio-culture policy is constructed by combination between time reference of change and level of society in one side, and elements of socio-culture which are being transformed in the other side. Social capital, such as  rural law enforcement and governmental decentralization at rural level, have to be considered as the key to success in achieving rural community welfare. Some important aspects which must be paid attention to arrange good condition for running agriculture vision 2025 are to shift development orientation (from urban bias of non-agricultural resources based and footloose industrialization) toward rural industrialization base on local natural and human resources; agrarian reform base; strengthening of social control based on civil society; harmonization of partnership among government, rural-agricultural economic actors and community; and political arrangement which farmers have higher influence in political decision.IndonesianPertanian pedesaan saat ini masih menghadapi tiga masalah besar, yaitu lemahnya modal sosial, kemiskinan dan kerusakan sumberdaya pertanian yang semakin membesar. Visi pembangunan pertanian 2025 yang sesuai adalah pertanian pedesaan yang berdaya saing tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan pembangunan pertanian yang penting adalah kebijakan pemberdayaan sosio-budaya pedesaan. Oleh karena itu pembangunan pertanian 2025 membutuhkan kerangka kebijakan sosio-budaya yang komprehensif. Ada lima elemen sosio-budaya utama yang harus dikembangkan, yaitu: kompetensi SDM, kepemimpinan lokal, tata nilai, keorganisasian (dan manajemen) usaha tingkat desa dan struktur sosial (berbasis penguasaan sumberdaya agraria). Kerangka kebijakan sosio-budaya mengacu pada kombinasi antara tingkat masyarakat dan jangka waktu di satu sisi, dan elemen sosio-budaya yang ditransformasikan di sisi lain. Modal sosial, seperti penegakan sistem hukum pedesaan dan desentralisasi pemerintahan hingga tingkat desa, harus dianggap sebagai kunci sukses pencapaian kesejahteraan masyarakat pertanian pedesaan berkelanjutan. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mengkondisikan visi pertanian 2025 terwujud, yaitu: perlunya mengubah orientasi pembangunan (dari industrialisasi non-pertanian yang footloose dan bias kota) menjadi yang memihak pada industrialisasi pedesaan berbasis pertanian dan perbaikan sumberdaya agraria di pedesaan; pentingnya reformasi keagrariaan; pengembangan kekuatan kontrol masyarakat madani (civil society); sinergi (harmonis) atau partnership antara pemerintah, pelaku usaha pertanian di pedesaan dan masyarakat lokal; dan tatanan politik yang memberi posisi layak bagi petani pedesaan.