Tindak pidana penganiyaan adalah bentuk suatu tindak kejahatan yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan baby blues syndrome adalah bentuk dari sebuah gangguan jiwa yang dialami oleh ibu pasca melahirkan. KUHP mengatur bahwa gangguan jiwa tidak dapat dipidana ketika melakukan sebuah tindak pidana, termasuk penganiayaan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali apakah pelaku tindak pidana penganiyaan yang mengidap baby blues syndrome dapat dipidana ataukah tidak, mengingat selain KUHP, pengaturan tentang Pertanggungjawaban hukum bagi pelaku yang mengalami gangguan jiwa juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Kesehatan Jiwa). Penelitian ini juga menggali mengenai bentuk pertanggungjawaban hukumnya. Metodologi penelitian ini menggunakan yuridis normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pengumpulan data diperoleh dengan cara studi kepustakaan dan wawancara. Metode analisa data dalam penelitian ini menggunakan deskriptif analisis secara kualitatif terhadap data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaku pengidap baby blues syndrome ketika melakukan tindak pidana penganiayaan tidak dapat dipidana dikarenakan alasan pemaaf berdasarkan Pasal 44 ayat (1) KUHP yang merupakan pengecualian bagi cacat jiwa. Bentuk pertanggungjawaban hukumnya ialah bukan di pidana, tetapi di rehabilitasi dalam masa penyembuhannya, serta diberikan edukasi terkait penyakit jiwa yang diderita. Penanganan terhadap perkara dan pelaku serta lingkungan sekitar pelaku harus diperhatikan agar dapat dipastikan memang benar pelaku penganiayaan mengidap baby blues syndrome dan penanganan terhadap pelaku harus maksimal agar angka pelaku kejahatan dengan mengalami gangguan jiwa semakin menurun.Kata Kunci: Penganiayaan, Baby Blues Syndrome, Alasan Pemaaf.