Zarisnov Arafat
Universitas Buana Perjuangan Karawang

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

TANGGUNG JAWAB NOTARIS ATAS AKTA KETERANGAN WARIS YANG MENIMBULKAN SENGKETA DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS Irma Garwan; Zarisnov Arafat; Kristiani
Justisi: Jurnal Ilmu Hukum Vol 6 No 1 (2021): Justisi: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan Karawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36805/jjih.v6i1.1422

Abstract

Permasalahan waris merupakan salah satu permasalahan yang sampai saat ini sering menimbulkan sengketa yang menyebabkan perpecahan dalam keluarga bahkan tidak jarang masalah waris menjadi alasan setiap orang untuk menghilangkan nyawa orang lain.Adapun permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini adalah bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum dalam mempertanggungjawabkan isi akta keterangan waris yang menimbulkan sengketa dalam pembagian harta warisan dan akibat hukumnya.Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum dalam mempertanggungjawabkan isi akta keterangan waris yang menimbulkan sengketa dalam pembagian harta warisan dan akibat hukumnya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Metode Pendekatan Yuridis Normatif. Adapun hasil penelitian penulis adalah Tanggung Jawab notaris dalam membuat akta keterangan waris didasarkan pada 3 (tiga) hal, yaitu tanggung jawab secara Undang-undang Jabatan Notaris,Tanggung Jawab secara Hukum Pidana, dan tanggung jawab secara Hukum Perdata. Jika seorang notaris dalam pembuatan aktanya menimbulkan sengketa, maka notaris harus mempertanggungjawabkannya secara pidana maupun perdata, atau akta yang dibuatnya bisa dibatalkan atau batal demi hukum. Kata Kunci : Waris, Tanggung Jawab Notaris, Notaris
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN MENGENAI KLAIM ASURANSI ATAS BARANG YANG HILANG DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Putusan Nomor 9/Pdt.G.S/2019/PN SDA) Tanti Alfareza Herdianti; Muhamad Abas; Zarisnov Arafat
Justisi: Jurnal Ilmu Hukum Vol 8 No 1 (2023): Justisi: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Program Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan Karawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36805/jjih.v8i1.4878

Abstract

Asuransi adalah sebuah perjanjian antara dua orang atau lebih di mana pihak tertanggung membayarkan iuran / kontribusi / premi untuk mendapat penggantian atas resiko, kerugian, kerusakan, atau kehilangan yang dapat terjadi akibat peristiwa yang tidak terduga. Asuransi memiliki fungsi pengalih resiko. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sebagai payung hukum, Undang-Undang Perlindungan Konsumen disahkan untuk memberikan perlindungan berupa hak dan kewajiban kepada konsumen. Permasalahn dalam penelitian ini yaitu Bagaimana akibat hukum bagi pelaku usaha pada asuransi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Bagaimana pertimbangan hakim pada putusan nomor 9/Pdt.G.S/2019/PN SDA. Sedangkan Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui akibat hukum bagi pelaku usaha pada asuransi menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen dan memahami pertimbangan hakim pada perkara putusan Nomor 9/Pdt.G.S/2019/PN SDA. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif. Adapun kesimpulan penelitian ini adalah dalam penyelesaian klaim asuransi atas hilangnya kendaraan bermotor yang bertentangan dengan dengan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah Hak-hak konsumen dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen termasuk melindungi dari adanya perilaku negatif dari pelaku usaha. Selanjutnya Pertimbangan Hakim dalam Putusan mengacu pada pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”. Kemudian dalam pertanggung jawaban pelaku usaha telah dikualifikasi melakukan perbuatan melawan hukum, karena tidak melakukan kewajibannya selaku pelaku usaha sehingga hak- hak konsumen tidak terpenuhi.
Suntik Mati (Euthanasia) dalam Perspektif Kesehatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Sartika Dewi; Lia Amaliya; Zarisnov Arafat; Muhammad Gary Gagarin Akbar
JURNAL HUKUM PELITA Vol. 6 No. 1 (2025): Jurnal Hukum Pelita Mei 2025
Publisher : Direktorat Penelitian dan Pengabdian (DPPM) Universitas Pelita Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37366/jhp.v6i1.5781

Abstract

The development of treatment or medical procedures is greatly utilized by humans to cure diseases and even to end a person's life or death. If a human experiences pain and there is no longer any hope for him to recover, plus several other factors that aggravate his situation, it can give rise to thoughts of ending his life. With advances in technology in the health sector, someone who can no longer stand the pain they are suffering from can ask a doctor to end their life. In medical terms, a person's request to a doctor to end their life because they can no longer stand the pain is usually called euthanasia. Lethal injection (Euthanasia) is the act of ending the life of a person who is experiencing very severe suffering (illness) and is medically incurable. This research aims to determine the regulations for lethal injection (euthanasia) from a positive health and legal perspective in Indonesia. The research method uses a normative juridical approach which is descriptive. Data sources consist of secondary data, namely primary, secondary and tertiary legal sources. The data collection method is literature study, then the data is analyzed qualitatively. Euthanasia, whether active or passive, is contrary to human rights. Doctors must not carry out any action that could take the patient's life, because the patient's health and safety is the highest law for doctors. Indonesia does not recognize the right to die as reflected in Article 461 of the Criminal Code, so a patient does not have the right to determine his death even if the request is based on the patient's sincerity