Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS SISTEM PEMILIHAN KEPALA DESA DI KABUPATEN LAMONGAN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG DESA Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 5, No 2 (2017): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v5i2.74

Abstract

Dalam melaksanakan amanat Pasal 31 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Pasal 49 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa, maka perlu diatur kebijakan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Desa yang dituangkan dalam suatu Peraturan Daerah sebagai payung hukum pelaksanaan pemilihan kepala desa. Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Desa tentunya harus disusun dengan tidak sekedar mengakomodir peraturan perundang-undangan diatasnya yang telah memberikan pengaturan secara umum, tetapi juga merinci kebutuhan penyelesaian masalah yang dapat muncul akibat pelaksanaan pemilihan kepala desa tersebut. Selain itu eksistensi Peraturan Desa setelah disahkanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bukan lagi berkedudukan sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, melainkan telah berkedudukan sebagai peraturan perundang-undangan yang diakui. Menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menghilangkan peraturan desa dari hierarki, secara tidak langsung menghilangkan eksistensi Peraturan Desa dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa.Keywords : Tinjauan Yuridis, Sistem Pemilihan Kepala Desa, Peraturan Daerah
PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DALAM PENGAWASAN TERHADAP JALANNYA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN LAMONGAN Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 4, No 1 (2016): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v4i1.42

Abstract

Sebagai wakil rakyat di daerah, maka DPRD mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengemban aspirasi rakyat yang diwakilinya. Pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah dapat pula dikatakan sebagai perwujudan dari Pasal 18 UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang organiknya, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, menekankan pentingnya otonomi daerah dalam rangka pemerataan pembangunan hingga kedaerah-daerah, demikian juga di daerah Kabupaten Lamongan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat daerah yang bersangkutanlah yang lebih tahu dan lebih mengerti dinamika daerahnya.Bahwa sebelum adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, kita ketahui bahwa peranan DPRD sangatlah minim. Artinya seakan-akan pengawasan pelaksanaan DPRD hanya diberi cap persetujuan oleh para anggota DPRD tanpa adanya suatu pertimbangan. Dengan adanya Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme serta melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan peranan atau kinerja para anggota DPRD khususnya Kabupaten Lamongan berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan masyarakat Lamongan.Keywords : Dewan Perwakilan Rakyat Daearah, Pengawasan, Otonomi Daerah
SEKRETARIS DESA DALAM PEMERINTAHAN DESA Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 1, No 2 (2013): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v1i2.11

Abstract

Setiap aturan hukum yang dibuat selalu mempunyai tujuan, yaitu kepastian hukum, keadilan dan manfaat. Bagaimanakah kedudukan Sekretaris Desa dalam pemerintahan desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa? Bagaimanakah persyaratan dan tata cara pengangkatan Sekretaris Desa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)?. Untuk mengetahui kedudukan Sekretaris Desa dalam pemerintahan desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.Untuk mengetahui tentang persyaratan dan tata cara pengangkatan Sekretaris Desa tersebut untuk menjadi PNS. Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, tentang pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok permasalahan. Sekretaris Desa yang tidak diangkat menjadi PNS mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, usia maksimum enam puluh tahun. Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2008 tentang Pemberhentian PNS usia pensiun lima puluh enam tahun. Untuk jabatan Sekretaris Desa yang kosong diisi oleh masyarakat yang bukan dari PNS akan tetapi diambil dari masyarakat setempat. Pemerintah daerah Kabupaten/Kota membuat aturan yang lebih jelas dalam hal Sekretaris Desa, khususnya tentang penarikan tanah bengkok Sekretaris Desa yang diangkat menjadi PNS.Keywords : Sekretaris desa, Pemerintahan desa.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERAN POLMAS DALAM PENERTIBAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NO 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 2, No 2 (2014): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v2i2.26

Abstract

Dalam pengaturan lalu lintas dan angkutan jalan, undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 dilakukan melalui bebrapa manajemen antara lain:A. Manajemen kebijakan. Dalam rumusan ini dijelaskan tentang hal hal yang berpotensi untuk menunjang terciptanya sebuah arus lalu lintas yang aman, nyaman tertib , dondusif dan dinamis dana atau segala sesuatu yang berpotensi untuk menghambat. Selain itu dalam hal ini juga dijelaskan strategi-setrategi untuk mengatasi dan atau untuk menyikapi semua potensi yang ada. Antara lain dengan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan tindakan evaluative.B. Manajemen tugas. Dalam rumusan ini dijelaskan kewenangan dan tanggung jawab atas pelaksanaaan bagian dari  setrategi-setrategi yang ada. Hadirnya Petugas pembantu polisi  dalam satuan tugas kepolisian sebagai upaya membangun kemitraan antara petugas dan masyarakat merupakan langkah yang baik guna menciptakan suasana lalulintas yang tertib dan aman. Namun karena kurang jelasnya dan atau kurang memadahinya instrument pelaksana, menjadikan tugas dan proses pelaksaan tanggung jawab kian kaburKeywords : Polmas,Penertiban Lalu Lintas, Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009.
Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan MPR Dalam Melakukan Perubahan Undang-Undang Dasar Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 1, No 1 (2013): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v1i1.4

Abstract

In a lawful country, the existence of constituent is one of the most important requirements to control a country. Hence, it is also required for Indonesia; which had put its society life rules fully in a constituent (UUD 1945). By far, Indonesia has faith that the importance of a constituent‟s existence will take effect for a greater life in nation society‟s needs. The change in a constituent or UUD in a country, for instance, will be done by a competent national bureau. In Indonesia, such competency is obtained by Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Meanwhile, the reformation era takes its role in year 1998, and then MPR held the court to discuss about the change in UUD 1945 for some times ahead; at 19th of October 1999, the first change had done, at 18th of August 2000, the second change had done, and also, at 10th of November, the third change had done, and finally at 10th of August 2002, the fourth change had done too.Keywords : Juridic observation, MPR Rights, The Change in UUD
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD 1945 Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 3, No 1 (2015): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v3i1.36

Abstract

Salah salah satu berkah reformasi adalah perubahan Undang Undang Dasar 1945 dimana salah satu perubahan yang mendasar adalah menyangkut kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang lembaga Negara salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR tidak lagi memegang kedaulatan tertinggi akan tetapi kedaulatan tersebut berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurul Undang-undang Dasar sebagaimana Pasal 1 ayat (2) amandemen UUD 1945. Begitu juga kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga Tertinggi Negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 (sebelum amandemen), tetapi berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara dengan kedudukan yang sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dan merupakan lembaga gabungan dari DPR dan DPD. Produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR berupa ketetapan MPR dimana berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011  Tap MPR kedudukanya dibawah UUDKeywords : Tap MPR
UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 3, No 2 (2015): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v3i2.41

Abstract

Pailit  sebagaimna  tercermin  dalam  pasal  2  ayat  (1)  Undang  Undang  Nomor  .37  tahun 2004 adalah suatu  keadaan dimana debitor tidak membayar lunas  sedikitnya  satu  utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dan dinyatkan pailit dengan putusan pengadilan. Dalam  putusan  pengadilan  tentunya  ada  pihak-pihak  yang  merasa  tidak  puas  dengan putusan pengadilan terutama pada pihak yang kalah sehingga ada peluang upaya hukum.Dalam  Undang-undang  Kepailitan  terdapat  dua  kemungkinan  upaya  hukum  yang  dapat ditempuh oleh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pernyataan pailit, yaitu upaya kasasi atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. (pasal 11 ayat (1), pasal 14, pasa 295 ayat (1) UU No.37/2004)lKeywords : Pailit
KEDUDUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMERINTAHAN DESA (Studi di Desa Deket Wetan Kecamatan Deket Kabupaten Lamongan ) Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 5, No 1 (2017): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v5i1.64

Abstract

Badan Permusyawaratan Desa belum berpengalaman dalam memahami dan merumuskan agenda-agenda yang diharapkan secara efektif untuk menciptakan pembaruan di desa. Anggota Badan Permusyawaratan Desa di Desa Deket cukup banyak yang belum memahami hak dan tanggungjawabnya sebagai kekuatan legislasi dan pengontrol. Hal inilah yang menjadi alasan masyarakat Desa Deket menyalurkan aspirasinya hanya melalui Kepala Desa. Wajar bila kemudian, dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Kepala Desa masih lebih dominan dari pada Badan Permusyawaratan Desa. Dari uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1) Bagaimanakah Kedudukan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pemerintahan Desa ? 2) Bagaimana Tata Cara Pengangkatan Badan Permusyawaratan Desa ? sedangkan Tipe penelitian hukum yang di lakukan adalah yurdis nomatif (hukum normatif). Metode penelitian nomaatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normative.Kedukan Badan Permusyawaratan Desa dalam pemerintahan desaadalah sebagai jembatan antara elemen masyarakat dan Pemerintah Desa, dan merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi pancasilan dan kedudukannya dalam pemerintahan desa adalah sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Desa.Keywords : BPD, Pemerintahan Desa
PEMBAGIAN KEKUASAAN ANTARA MPR, DPR, DAN DPD DALAM MEWUJUDKAN SISTEM KETATANEGARAAN YANG BERKEDAULATAN RAKYAT Munif Rochmawanto
Jurnal Independent Vol 2, No 1 (2014): Jurnal Independent
Publisher : Universitas Islam Lamongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30736/ji.v2i1.14

Abstract

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen, sistem parlemen di Indonesia adalah satu kamar (monocameral), meski terdapat dua badan perwakilan yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam sistem parlemen ini kekuasaan legislasi diletakkan kepada DPR bersama-sama Presiden. Seiring dengan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia, berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sistem satu kamar tersebut berubah menjadi sistem parlemen dua kamar (bicameral), yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal ini berarti bahwa kekuasaan legislasi berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).Perubahan mendasar terjadi pada Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi “Kedaulatan di tangan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, berubah menjadi “Kedaulatan Rakyat berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perubahan yang sangat mendasar terhadap Pasal 1 ayat (2) telah menimbulkan reaksi keras dari Gerakan Nurani Parlemen, Forum Kajian Ilmiah Konstitusi, sekelompok purnawirawan ABRI dan akademisi yang menentang rumusan itu. Mereka menilai perubahan itu telah mengubah dasar “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pennusyawaratan atau perwakilan”, dan meniadakan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Tetapi pandangan tersebut ditolak oleh sebagaian kelompok lain, bahwa eksistensi MPR tidak akan hilang tetapi berubah fungsi sebagai forum, dan bukan lagi sebagai lembaga. Karena forum, maka MPR tidak perlu lembaga, tetapi hanya merupakan sidang gabungan (joint sesion) antara DPR dan DPD, yang dirumuskan dalam pasal 2 (Rancangan perubahan Keempat). MPR mengubah diri sebagai parlemen bicameral.Keywords : Pembagian Kekuasaan, Sistem Ketatanegaraan, Berkedaulatan Rakyat
Analisis Yuridis Normatif Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan, Ditinjau Dari Hukum Positif (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lamongan. Nomor: 53/PID.SUS/2018) Muhammad Yanto; Munif Rochmawanto
Jurnal Humaniora : Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi dan Hukum Vol 6, No 2 (2022): Oktober 2022
Publisher : Center for Research and Community Service (LPPM) University of Abulyatama

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30601/humaniora.v6i2.3523

Abstract

Children are the next generation of the nation's ideals, therefore the commitment and treatment to pay attention to the development and role of children as the next generation of the nation is something that must be held by the government. Children who are not yet mature mentally and physically, their needs must be fulfilled, their opinions must be respected and given a correct and conducive education, because children in the period of personal and psychological growth and development can grow and develop into children who can be cared for. pkan as the nation's successor. The author wants to take an approach by examining the normative juridical concept of criminal cases of obscenity of minors (pedophilia). Case Study Verdict Number: 53/Pid.Sus/2018/PN.Lmg. The type of research used is a descriptive type of research, to provide a complete picture of a positive legal review in this case Law Number: 35 of 2014 Amendments to Law Number: 23 of 2002 concerning Child Protection and also in the criminal act of obscenity against minors (pedophilia). Children who are victims of obscenity are entitled to treatment, rehabilitation, psychologist assistance, assistance from investigation, prosecution to court, this is stated in Article 69A, and victims who are entitled to apply for restitution rights are regulated in Article 71D.  Special protection for children victims of sexual crimes as referred to in Article 59 Paragraph Letter j is carried out through efforts, namely education about reproductive health, religious values, and moral values; social rehabilitation; psychosocial assistance at the time of treatment to recovery, and; providing protection and assistance at every level of examination ranging from investigation,  prosecution, to examination in court siding and the existence of criminal sanctions that imposed on the perpetrators contained in Article 82 of Law Number 35 of 2014 concerning Child Protection..