Tulisan ini menganalisis akibat hukum ketika akta yang dibuat oleh notaris tidak selaras dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pertanahan, dengan fokus pada batas kewenangan pejabat (notaris vs PPAT) dan derajat keabsahan akta otentik. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan dan konseptual, dilengkapi pembahasan praktik administrasi pendaftaran tanah. Hasil kajian menunjukkan: pertama, perbuatan hukum atas hak atas tanah (peralihan maupun pembebanan) merupakan domain khusus PPAT sebagai dasar pendaftaran pada kantor pertanahan; kedua, akta yang dibuat oleh notaris di luar kompetensi materiil atau tidak memenuhi formalitas mengakibatkan hilangnya keotentikan dan menurunkan kekuatan pembuktian menjadi akta di bawah tangan sebagaimana rezim Pasal 1868–1869 KUH Perdata; ketiga, secara keperdataan hubungan obligatoir para pihak dapat tetap mengikat sepanjang syarat sah perjanjian terpenuhi, namun tanpa instrumenum yang sah, peralihan hak tidak dapat didaftarkan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan risiko terhadap pihak ketiga. Implikasi tanggung jawab meliputi ganti rugi perdata serta sanksi administratif/etik terhadap notaris sesuai UU Jabatan Notaris. Rekomendasi kebijakan dan praktik mencakup due diligence kewenangan sebelum penandatanganan, pembuatan ulang akta oleh PPAT sebagai dasar pendaftaran, penguatan dokumentasi transaksi, serta pengaturan alokasi risiko dalam perjanjian pendahuluan. Kontribusi artikel ini adalah memperjelas garis batas kewenangan dan menyediakan kerangka kepatuhan yang operasional bagi praktisi untuk menjaga kepastian hukum transaksi pertanahan. Kata kunci: Notaris, PPAT, akta otentik, keabsahan, pendaftaran tanah, kewenangan pejabat, KUH Perdata, UUJN.