Claim Missing Document
Check
Articles

Found 33 Documents
Search

Striking A Balance Between Legal Certainty, Justice And Utility To End The Clash Between Bankruptcy And Criminal Proceedings In Court Decision No. 11/Pdt.Sus-Gugatan Lain-lain/2018/PN.Jkt.Pst and No. 3 K/Pdt.Sus-Pailit/2019 Nelson, Febby Mutiara; Sondang, Esther Melinia
JILS (Journal of Indonesian Legal Studies) Vol 6 No 1 (2021): Human Rights Issue in Various Context: National and Global Perspective
Publisher : Faculty of Law, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jils.v6i1.45979

Abstract

The clash between bankruptcy and criminal proceedings is one of the obstacles which has been long faced by law enforcement officials. One of many examples of the intersection of the two proceedings is the case between the Bankruptcy Trustees of KSP Pandawa Mandiri Group dan Nuryanto with Depok District Attorneys. The case caused issues with the confiscated assets that were the objects in the bankruptcy and criminal court decisions. It stemmed from the conflict between provisions in Indonesian Bankruptcy Act and Criminal Procedure Code. This Note was conducted to analyze the judges' judicial decision-making concerning the three aspects of legal certainty, justice and utility as one way to resolve the conflict of norms. Generally, the Commercial Court and Supreme Court decisions have complied with the regulations of the prevailing laws and legal principles. However, the judgments are still not comprehensive and not quite right in the decisions. The Panel of Judges should not only stick on the legal certainty aspect but also the justice and utility aspects. Concerning the three aspects, the bankruptcy assets in the case should be handed over to the Bankruptcy Trustees.
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara : Dapatkah Menggunakan Deferred Prosecution Agreement? Febby Mutiara Nelson
Simbur Cahaya VOLUME 26 NOMOR 2, DESEMBER 2019
Publisher : Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (564.448 KB) | DOI: 10.28946/sc.v26i2.459

Abstract

Penanganan kasus tindak pidana korupsi di Indonesia belum dapat menanggulangi tindak pidana korupsi, khususnya dalam mengembalikan kerugian negara secara signifikan. Walaupun sudah banyak ketentuan terkait penanganan korupsi, pada kenyataannya penanganan  tindak pidana korupsi tidak berjalan seperti apa yang diharapkan. Artikel ini membahas tentang pengembalian kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi, melalui mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA). Artikel ini membahas apakah Indonesia sebagai negara rumpun keluarga Civil Law dapat menerapkan mekanisme ini dan apakah mekanisme ini dapat mengembalikan kerugian keuangan negara. Artikel ini juga membahas pelajaran yang dapat diambil dari penyelesaian DPA yang berkembang di Amerika Serikat dan United Kingdom dalam pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Penulisan ini menggunakan studi dokumen khususnya meneliti peraturan perundang-undangan serta buku dan jurnal yang relevan. Selain itu juga menggunakan pendekatan perbandingan hukum.
PENERAPAN E-COURT PERKARA PIDANA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA TERWUJUDNYA INTEGRATED JUDICIARY DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Panji Purnama; Febby Mutiara Nelson
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional Vol 10, No 1 (2021): April 2021
Publisher : Badan Pembinaan Hukum Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (578.871 KB) | DOI: 10.33331/rechtsvinding.v10i1.661

Abstract

Persidangan elektronik (e-court) merupakan proses persidangan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, audio visual dan sarana elektronik lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan e-court perkara pidana, e-court sebagai peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan serta implementasi e-court di Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menerapkan tiga pendekatan, yaitu: pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Pertama, pengaturan e-court perkara pidana sudah baik dalam mengisi kekosongan hukum dan tidak bertentangan dengan undang-undang di atasnya. E-court ini harus diatur di dalam KUHAP, Undang-Undang tentang Peradilan Umum dan Undang-Undang Peradilan lainnya yang memerlukan mekanisme persidangan elektronik. Kedua, e-court merupakan representasi dari peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Sehingga tetap perlu dikembangkannya teknologi informasi yang compatible dan berbasis jaringan. Ketiga, implementasi e-court di setiap negara memiliki perbedaannya masing-masing, yang mana di Indonesia memungkinkan semua perkara pidana untuk disidangkan secara elektronik. Sehingga perlu ada pembedaan untuk tindak pidana yang berat atau dengan ancaman maksimal 10 (sepuluh) tahun, 15 (lima belas) tahun, 20 (dua puluh) tahun dan seumur hidup atau pidana mati. Selain itu perlu dibentuk tim khusus yang terdiri dari teknisi, ahli teknologi informasi dan komponen Sistem Peradilan Pidana (polisi, jaksa, hakim, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai metode perbaikan berkelanjutan.
PERJANJIAN NOMINEE DALAM HUKUM PERTANAHAN INDONESIA Annisa Maudi Arsela; Febby Mutiara Nelson
PALAR (Pakuan Law review) Vol 7, No 4 (2021): Volume 7, Nomor 4 Oktober-Desember 2021
Publisher : UNIVERSITAS PAKUAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (831.625 KB) | DOI: 10.33751/palar.v7i2.4370

Abstract

ABSTRACT In the use of nominee agreements, it should be strictly regulated and prohibited in land legislation in Indonesia. This is considered to be the spearhead of the protection and legal certainty of land ownership rights. The use of this nominee agreement is considered to have violated the land registration system and the land publication system that has been regulated in Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations and Government Regulation of the Republic of Indonesia Number 24 of 1997 concerning Land Registration. However, in practice this nominee agreement is deemed to have developed and will continue to develop in people's lives in Indonesia, bearing in mind that in social life there will continue to be interactions and socializing. In this case, this interaction will lead to a collaboration between individuals which will be stated in an agreement that can lead to nominee agreements, especially in the land sector in Indonesia. Given that there is a principle of freedom of contract in the legal system adopted in Indonesia, it is undeniable that in practice in society we can find the development of nominee agreements that will develop and increase in number if there is no regulation regarding this matter which is contained in positive law in effect in Indonesia. Key words: Agreement, Nominee, Land. ABSTRAK Dalam penggunaan perjanjian nominee seharusnya diatur dan dilarang secara tegas dalam perundang-undangan pertanahan di Indonesia. Hal ini merupakan ujung tombak dari perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak kepemilikan atas tanah. Penggunaan perjanjian nominee ini dirasa telah menyalahi sistem pendaftaran tanah dan sistem publikasi tanah yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam prakteknya perjanjian nominee ini dirasa telah berkembang dan akan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, mengingat dalam kehidupan bermasyarakat akan terus melakukan interaksi dan bersosialisasi. Dalam hal ini dengan adanya interaksi tersebut akan menimbulkan suatu kerjasama antar individu yang akan dituangkan dalam suatu perjanjian yang dapat menimbulkan perjanjian nominee terlebih dalam bidang pertanahan di Indonesia. Mengingat bahwa terdapat asas kebebasan berkontrak dalam sistem hukum yang dianut di Indonesia maka tidak dapat dipungkiri dalam praktiknya di masyarakat dapat kita temukan perkembangan perjanjian nominee yang akan semakin berkembang dan semakin banyak apabila tidak ada pengaturan mengenai hal tersebut yang dituangkan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia. Kata kunci: Perjanjian, Nominee, Pertanahan.
Penerapan Asas Audi Et Alteram Partem dalam Perkara Permohonan Pemberian Izin Poligami Emilka Nuradanta; Febby Mutiara Nelson
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (160.235 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v7i6.8034

Abstract

Prinsip audi et alteram partem merupakan prinsip dalam Hukum acara perdata yang hakikatnya bermakna hakim harus mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara di dalam persidangan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Isu hukum yang diangkat dalam tulisan ini adalah penerapan asas audi et alteram partem dalam perkara perdata terkait permohonan pemberian izin poligami. Berjenis penelitian hukum Normatif, dan akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil pembahasan menunjukan bahwa dalam praktiknya penerapan asas audi et alteram partem ini belum terlaksana dengan baik dikarenakan masih ditemukan dalam peradilan perkara perdata tidak berimbangnya pertimbangan hakim terkait pernyataan yang diberikan oleh kedua belah pihak dalam memutus suatu perkara. Adanya putusan yang tidak menerapkan atau mengesampingkan asas audi et alteram partem ini antara lain, keterangan salah satu pihak tidak dipertimbangkan dalam putusan bahkan dikesampingkan (tidak didengar) dan hal ini merupakan kewenangan hakim.
Prinsip Kehadiran Terdakwa pada Persidangan Pidana Elektronik di Masa Pandemi Covid-19: Perbandingan Indonesia dan Belanda Edwin Ligasetiawan; Febby Mutiara Nelson
Undang: Jurnal Hukum Vol 5 No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.5.1.69-103

Abstract

The COVID-19 pandemic has caused changes to the criminal justice system in many countries in the world, one of which is the trial methods using electronic devices such as videoconferencing. This change has an impact on the fulfillment of the defendant’s right of presence before the court as regulated in the Indonesia Criminal Procedure Code. The presence of the defendant is one of the basic rights in a trial, which also ensures the implementation of a fair trial because it is related to the evidentiary process. In this article, the principle of the defendant’s presence in electronic criminal trials is discussed by comparing Indonesian and Dutch laws. This study demonstrates that electronic criminal trials in Indonesia are only regulated in a Supreme Court Regulation and they are in conflict with the Indonesia Criminal Procedure Code; whereas in the Netherlands, despite its regulation in the Dutch Criminal Procedure Code, the use of videoconferencing is considered a violation of the provisions of the European Convention on Human Rights. This article argues that an electronic criminal trial requires the defendant’s agreement or provision that guarantees the rights of the defendant, because this trial overrides the defendant’s right of presence before the court. Abstrak Pandemi covid-19 turut memengaruhi perubahan sistem peradilan pidana pada berbagai negara di dunia, salah satunya adalah metode persidangan bersaranakan alat elektronik seperti videoconference. Perubahan ini berdampak pada hak terdakwa untuk hadir di muka pengadilan, yang di Indonesia diatur dalam KUHAP. Kehadiran terdakwa ini merupakan salah satu hak dasar terdakwa dalam suatu persidangan, yang turut menjamin pelaksanaan peradilan yang adil (fair trial) karena berkaitan dengan proses pembuktian. Dalam artikel ini prinsip kehadiran terdakwa dalam persidangan pidana elektronik dibahas melalui perbandingan hukum Indonesia dan Belanda. Hasil kajian menunjukkan, sidang pidana elektronik di Indonesia hanya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung dan ini berbenturan dengan KUHAP; sedangkan di Belanda, sekalipun telah dituangkan dalam KUHAP, penggunaan videoconference dianggap melanggar ketentuan European Convention on Human Rights. Artikel ini berpendapat, persidangan pidana secara elektronik memerlukan persetujuan terdakwa atau ketentuan yang menjamin seluruh hak-hak terdakwa dapat dipenuhi, sebab persidangan demikian itu mengenyampingkan hak terdakwa untuk hadir di muka sidang.
Tindak Pidana Penyalahgunaan Senjata Api dan Senjata Tajam Dalam Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 dikaitkan dengan Faktor Korelatif Kriminalisasi Leonardus Agung Putra Utama; Febby Mutiara Nelson
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 9, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v9i2.25115

Abstract

The main difference between the Emergency Law 12/1951 and the law that came before it is how punishments work. A sentence of 4 (four) years will be given if someone transfers guns without permission from the Chief of Police in Article 4c and Article 3 of Law 8 of 1948. When it comes to the Emergency Law 12/1951, it is punishable by death, life imprisonment, or a temporary prison sentence of up to twenty years. The difference in punishments is big because of the state's security situation at the time the emergency law was passed. However, do these sanctions still make sense in light of the current situation? People who do this kind of research call it "normative" or "library law research." When reviewing and analyzing library materials or secondary data that are related to research materials, the normative approach is used. This approach is used to look at primary legal materials, secondary legal materials, and third-party legal materials. Other laws and regulations that deal with guns and sharp weapons, like Regulation of the Head of the Indonesian National Police Number 18, 2015, which deals with licensing, supervision, and control of non-organic firearms of the Indonesian National Police/Indonesian National Armed Forces for Self-Defense and Regulations of the Head of the Indonesian National Police.Keywords: Firearms; Sharp Weapons; Criminalization AbstrakPerbedaan antara Undang-Undang Darurat 12/1951 dengan Undang- Undang sebelumnya yang paling terlihat adalah tentang sanksi. Sebagai contoh, dalam Pasal 4c jo Pasal 3 UU No. 8 Tahun 1948 bila terjadi pemindahtangan senjata api tanpa tanpa ijin dari Kepala Kepolisian maka akan dikenakan pidana selama 4 (empat) tahun. Sementara dalam Pasal 1 ayat (1) UU Drt 12/1951, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun. Perbedaan sanksi yang signifikan mengingat situasi keamanan negara pada saat dibuatnya UU darurat. Namun apakah sanksi tersebut masih relevan bila dibandingkan dengan kondisi saat ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Peraturan mengenai sejata api dan senjata tajam selain Undang- Undang Darurat 12/1951 seperti contohnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Non organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia untuk Kepentingan Bela Diri dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.enjaKata Kunci: Senjata Api; Senjata Tajam; Kriminalisasi
In Search of a Deferred Prosecution Agreement Model for Effective Anti-Corruption Framework in Indonesia Febby Mutiara Nelson
Hasanuddin Law Review VOLUME 8 ISSUE 2, AUGUST 2022
Publisher : Faculty of Law, Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20956/halrev.v8i2.3292

Abstract

To help reduce the corruption in the criminal justice system, Indonesia should consider implementing a Deferred Prosecution Agreement (DPA) mechanism. DPA would not only aiming for punishment to corporations, especially in special and general deterrence, but also could accommodate in returning state assets from perpetrators. Indonesia could learn from the DPA models applied in the U.K. and U.S., as well as the proposed model in Australia. DPA models could be noteworthy in making the criminal justice process more effective, efficient, and less time-consuming, as well as resolving the problems of significant caseloads and ongoing corruption. 
Principle of Simple, Speedy, and Low-Cost Trial and The Problem of Asset Recovery in Indonesia Nelson, Febby Mutiara; Santoso, Topo
Indonesia Law Review Vol. 11, No. 2
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This article discusses whether simple, speedy and low-cost principles have been implemented in the criminal justice in Indonesia and the obstacles faced by the Indonesian criminal justice system, especially in terms of returning state losses due to corruption cases. The findings indicate that such principles are yet to be effectively implemented in the criminal justice system in Indonesia. Some obvious issues have emerged as an area for attention; first, that law enforcement in corruption cases takes a long time, remains complicated, and is also high-priced. Second, there are a number of obstacles confronted by the Indonesian criminal justice system, especially in terms of returning state losses due to corruption that should be able to follow the concept of justice in a simple, speedy manner and at low cost.
DUE PROCESS MODEL DAN RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA: SUATU TELAAH KONSEPTUAL Febby Mutiara Nelson
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol 1 No 1 (2020): Jurnal Mahupiki Oktober 2020
Publisher : Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (253.11 KB) | DOI: 10.51370/jhpk.v1i1.5

Abstract

Artikel ini membahas kaitan antara penyelesaian perkara pidana di luar sidang (khususnya model restorative justice) dan due process model. Masalah utamanya adalah apakah restorative justice itu bertentangan dengan due process atau tidak. Artikel ini membahas model-model sistem peradilan pidana dan konsep tentang penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, dalam konteks di sini dibatasi dengan restorative justice, termasuk mediasi penal. Selanjutnya, dibahas tentang bagaimana penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, yang telah dilaksanakan di Indonesia dan di Belanda, khususnya dari segi konsep dan regulasinya. Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa secara konseptual, penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan restorative justice mendapat kritik karena ada potensi ketidaksesuaian dengan beberapa unsur dari due process of law, sehingga ada hal-hal yang harus dipertimbangkan serta diperkuat dari penyelesaian di luar sidang itu agar kompatibel dengan due process of law.