Ibnu Radwan Siddik
Prodi Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sumatera Utara

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Akseptabilitas Alumni Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Dan Hukum Uin Sumatera Utara Pada Ujian Calon Hakim Peradilan Agama Di Mahkamah Agung Ri Tahun 2017 Ibnu Radwan Siddik; Amal Hayati
Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam Vol 2, No 2 (2019): Vol. 2, No. 2, April 2019
Publisher : Sultang Agung Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30659/jua.v2i2.4003

Abstract

Penelitian ini akan mencoba menguraikan bagaimana sebenarnya akseptabilitas alumni Al-Ahwal Syakhsiyah (AS) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara pada seleksi Calon Hakim Peradilan Agama tahun 2017. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab ketidaklulusan alumni dan solusi apa yang bisa dilakukan agar para alumni lebih banyak lagi lulus dalam seleksi Calon Hakim Peradilan Agama. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian mixed methods, yaitu suatu langkah penelitian dengan menggabungkan dua bentuk pendekatan dalam penelitian, yakni kualitatif dan kuantitaitf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat Fakultas, akseptabilitas alumni AS cukup tinggi, namun secara nasional masih relatif rendah. Di antara faktor ketidaklulusan alumni adalah karena para alumni lebih fokus dalam mempersiapkan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) yang dianggap lebih sulit daripada Seleksi Kompetensi Dasar (SKD), waktu ujian yang diberikan kepada peserta ujian SKD relatif singkat untuk menjawab soal-soal yang berhubungan dengan kompetensi dasar seperti TWK, TIU dan TKP,  soal-soal SKD yang diberikan cukup sulit untuk dijawab terlebih soal-soal yang berhubungan dengan TIU dan TKP , passing grade SKD cukup tinggi dan faktor penggunaan sistem computer (CAT) dalam ujian SKD yang belum terbiasa.
Perkawinan Beda Agama: Perspektif Ulama Tafsir, Fatwa MUI dan Hukum Keluarga Islam di Indonesia Ibnu Radwan Siddik; Turnip, Ibnu Radwan siddik
Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Vol 6, No 01 (2021): Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/at.v6i01.1337

Abstract

Diskursus tentang perkawinan beda agama masih saja menjadi topik yang selalu diperbincangkan oleh para pemikir Islam sampai saat ini seiring dengan masih banyaknya umat Islam di Indonesia yang melaksanakannya. Tulisan ini akan mencoba meneliti ulang tentang bagaimana sebenarnya status pernikahan beda agama dalam perspektif ulama tafsir, fatwa Majlis Ulama Indonesia dan hukum keluarga Islam di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan sumber data kepustakaan (library reseaach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa para ulama tafsir sepakat tentang dilarangnya bagi laki-laki muslim menikahi wanita musyrik dan kafir dan begitu pula bagi wanita muslimah dilarang dikawini oleh lelaki musyrik dan kafir. Sementara itu, ulama sepakat tentang larangan wanita dinikahkan dengan lelaki Ahli Kitab, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang status hukum seorang laki-laki muslim bila menikahi wanita Ahli Kitab. Bagi ulama yang tidak mempersamakan term Ahli Kitab dengan istilah musyrik sebagaimana yang dijelaskan pada surat al-Baqarah ayat (221) dan istilah kafir sebagaimana yang dijelaskan pada surat al-Mumtahanah ayat (10), maka menikahi wanita Ahli Kitab ini hukumnya mubah atau boleh. Akan tetapi syarat wanita yang dinikahi itu adalah wanita yang baik-baik (muhsanat), dan bagi laki-laki muslim yang menikahinya pun harus memiliki kekuatan iman yang teguh. Sebagian ulama lain melarang menikahi Ahli Kitab secara keseluruhan, baik Yahudi ataupun Kristen, karena mereka berpendapat  bahwa ayat tentang kebolehan menikahi wanita Ahli Kitab tersebut telah dihapus (mansukh). Untuk konteks Indonesia sendiri, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa tentang keharaman bagi umat Islam baik laki-laki dan perempuan untuk menikahi wanita dan laki-laki non-muslim baik mereka yang Ahli Kitab maupun tidak. Fatwa MUI ini menyatakan setelah mempertimbangkan bahwa perkawinan beda agama sering menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat dan mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam. Fatwa MUI ini masih sejalan dengan sumber hukum keluarga Islam di Indonesia yakni UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang juga melarang perkawinan beda agama.
The Current Development of Marriage Age Provisions in Indonesia and Malaysia: A Socio-Historical Approach Ibnu Radwan Siddik; Ibnu Radwan Siddik Turnip; Zainul Fuad; Nurhayati Nurhayati
Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah Vol 20, No 1 (2022)
Publisher : IAIN Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30984/jis.v20i1.1813

Abstract

This paper discusses how the current social history of Islamic law in the Southeast Asian region relates to the minimum age of marriage. Then also, it will be examined how socio-cultural and socio-political influences surround the change in the provisions of the minimum age of marriage in the two countries. This normative legal research focused on studying legal history using the social history approach of Islamic law. Data is analyzed with qualitative methods. The results showed a change in the age of marriage in Indonesia, from 19 years for men and 16 years for women to 19 years for both men and women. While in Malaysia, most states have not changed the minimum age of marriage, remaining at 18 years old for men and 16 years for women. The change in the age of marriage occurs in the state of Selangor alone, which determines the marriage age limit is 18 years for men and women. The difference in terms of the marriage age limit in these two countries is strongly influenced by the socio-cultural and socio-political dynamics in society. The aspirations of some groups of people towa  rds changing the marriage age limit in both countries have also strengthened due to the growing number of cases of child marriage, extramarital pregnancy, and the practice of abortion in both countries.